My Coldest CEO

Empat puluh tujuh



Empat puluh tujuh

0Bahu Xena merosot sempurna kala melihat Sean yang kini sedang memegangi kakinya yang tertembak oleh Erica. Ia menahan napasnya kala melihat sahabatnya yang kini sibuk berancang-ancang menyodorkan pistol ke arah Sean dengan sorot wajah yang berkilat marah.     

"BANGUN, DASAR PEMBUNUH BAYARAN LEMAH!" Teriak Erica sambil menendang tubuh Sean yang terjatuh di lantai, ia benar-benar marah ketika melihat beberapa bagian tubuh Xena yang dilumuri darah.     

"Shit."     

Sean mengarahkan pergelangan tangannya ke arah Erica, lalu dari balik lengan jaketnya, ia mengeluarkan semacam tali pengikat yang langsung mengenai kedua kaki gadis itu. Membuat kaki Erica terikat sempurna dan langsung membuat dirinya kehilangan keseimbangan.     

DOR     

Karena Erica tidak bisa menahan keseimbangan tubuhnya, ia jatuh ke lantai membuat dirinya secara tidak sengaja menembakkan pistol ke langit-langit gedung.     

Sean tidak menyia-nyiakan waktu ini. Ia beranjak dari jatuhnya dengan kaki yang sudah dibanjiri darah. Ia berdecih melihat Erica yang kini kembali menyodorkan pistol ke arahnya. Ia masih berpikir bagaimana bisa gadis ini memecahkan sandi brangkas yang sudah ia buat serumit mungkin? Bahkan Hana saja tidak dapat memecahkan sandi yang ia buat sebelumnya.     

"Tembak aku atau akan aku setrum Xena dengan listrik beraliran tinggi yang terdapat di borgolnya, bagaimana?"     

Xena membelalakkan matanya, lalu ia menangis kencang sambil berusaha melepaskan borgol ini dari tangannya, tapi usahanya sia-sia.     

"Turuti Sean saja, Ca. Kamu jangan ikut campur, aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa." Lirih Xena yang sudah merasa lelah. Ia rasa tenaganya sudah terkuras habis untuk hal seperti ini.     

Setengah jam lagi matahari akan terbenam. Ia merapalkan beribu kata permohonan supaya dirinya selamat.     

Erica masih mempertahankan pistolnya di udara, menghadap Sean seperti tidak ingin melepaskan laki-laki itu dalam keadaan apapun.     

"Tidak, dia pantas untuk mati, Xena."     

Sean merobek kaos yang di pakainya lalu menahan luka tembak dengan kain tersebut. "Jangan drama, waktu kalian tinggal dikit lagi." Ucapnya dengan santai tanpa merasa sakit sedikitpun. Ia selalu mempunyai obat penetral rasa sakit ketika terjadi hal-hal seperti ini.     

Xena mengusap bahunya yang gemetar, ia tidak ingin membuat sahabatnya berada dalam bahaya.     

"Setidaknya, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk sahabatku. Kamu, seorang assassin tidak pernah merasakan persahabatan, kan?" Ucap Erica dengan senyuman miring. Ia sama sekali tidak takut jika Sean saat ini mungkin saja bisa mengeluarkan trik untuk membunuhnya. Yang terpenting, ia sudah berusaha untuk menyelamatkan Xena. Karena tidak dapat di pungkiri lagi, ia memang pandai dalam logika, namun untuk bertarung ia sangat kalah.     

Sean berdecih. "Melihat kalian saja seperti membahayakan satu sama lain, untuk apa merasakan persahabatan? Tidak penting." Ucapnya sambil mengambil sebatang rokok dan mematiknya saat itu juga.     

Sedangkan Xena? Ia menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya sambil melihat interaksi antara Erica dengan Sean.     

"Hana, bahkan dengan kakak mu sendiri kamu menebar kebencian dari kecil, benar? Surat yang kamu tulis, ingin membunuh dia, itu sangat tidak keren." Ucap Erica sambil memandang remeh Sean. Kini ia sudah bangkit dari jatuhnya, lalu duduk lengan kaki yang masih terikat. Alat-alat Sean sangat canggih, lihat saja tali ini tidak bisa di lepas dengan mudah hanya dengan tangan kosong.     

Sean mengepulkan asap ke udara. "Kamu gadis yang pintar, bagaimana jika kamu menjadi kaki tanganku?"     

Xena dari kejauhan menatap Erica dengan sorot mata memohon supaya tidak bertindak lebih jauh dari ini lagi. Sudah cukup, semakin lama pasti Sean akan mencuci otak sahabatnya itu.     

"Tidak, seperti ini saja. Bagaimana jika kamu menjadi sekretaris saja di perusahaan ternama milik kekasih Xena? Pemikiran kamu lumayan bekerja, siapa tau banyak perusahaan menanamkan saham nantinya." Ucap Erica yang belum mengurungkan niatnya untuk menurunkan pistol dari tangannya.     

"Menarik sih, tapi tidak ada aksi pembunuhan." Ucap Sean sambil memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celana.     

"Kamu pikir memangnya cara bersenang-senang hanya dengan membunuh orang saja?"     

Erica menurunkan pistolnya lalu menatap Sean dengan sorot yang sangat lekat. Ia mendekati laki-laki itu yang kini menatapnya dengan alis yang mengernyit, seakan-akan tidak bisa menebak apa yang akan di lakukan oleh gadis di hadapannya ini.     

Sama dengan Sean, Xena sudah memekik histeris memperingati supaya Erica menghentikan langkahnya dan harus segera menjauh dari laki-laki itu. Tapi usahanya sia-sia, ia seperti pemandu sorak yang payah, tidak dipedulikan keberadaannya.     

Erica mengambil sebatang rokok itu dari tangan Sean, lalu membuangnya ke lantai dan langsung ia injak sampai hancur lebur. "Aku tidak suka dengan laki-laki yang merokok."     

"Bukan urusan kamu."     

"Urusan aku dong. Karena kamu mencemari udara yang aku hirup saat ini."     

Tunggu sebentar, kenapa Erica berubah menjadi gadis yang sedikit cerewet dari biasanya?     

Xena menghentikan tangisnya, ia kini menahan sakit yang luar biasa, siapapun segeralah menolongnya saat ini. Vrans, atau siapapun.     

"Tau apa kamu tentang udara yang tercemar?" Tanya Sean sambil tersenyum miring. Ia mendorong pelan bahu Erica dengan jari telunjuknya.     

Erica berhenti tepat di hadapan Sean, ia benar-benar mengikis jarak di antara keduanya. "Tidak keren jika teknologi kamu di gunakan untuk mengecoh korban. Lebih baik gunakan untuk hal yang bermanfaat dan dapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pada ini." Ucapnya sambil membersihkan noda kotor yang terlihat di rahang kokoh Sean.     

Sebenarnya Sean terlihat tampan jika pakaian yang ia kenakan saat ini di ganti dengan tuxedo formal yang biasa di pakai oleh Vrans. Apalagi jika rambut laki-laki tersebut di sisir dan di beri sedikit pomade. Pasti banyak yang memuja dirinya.     

"Bagiku tidak ada hal yang lebih keren daripada membunuh orang."     

"Tapi kamu serius tidak ingin memberi tempat untuk cinta di hidup kamu? Cobalah, jika kamu tidak suka, kamu boleh pergi."     

"Maksud kamu?"     

"Aku akan memberitahu cara untuk menebarkan kasih sayang." Ucap Erica dengan pelan. Ia mengelus rahang Sean, lalu mengecupnya dengan singkat. Entah kenapa, awalnya memang wajah Sean benar-benar menyebalkan. Tapi saat dirinya tau jika laki-laki itu memiliki masalah sejak kecil, membuat dirinya tertantang secara tiba-tiba untuk mendapatkan hati laki-laki itu. Lagipula, mendapatkan hati seorang pembunuh bayaran sangatlah keren.     

"TIDAK, AKU TIDAK SETUJU!!!"     

Erica dan Sean secara bersamaan melihat ke arah Xena yang kini sedang menampilkan sorot sedih dan khawatir. Tanpa sepengetahuan Sean, Erica mengedipkan sebelah matanya seolah-olah memberitahu Xena jika semua ini akan baik-baik saja.     

Sean mengalihkan pandangannya, lalu menatap Erica sambil tersenyum miring. "Jika kamu tidak berhasil, aku memiliki hak untuk membunuhmu, iyakan?"     

Erica menganggukkan kepalanya. "Kalau aku berhasil, tinggalkan pekerjaan ini dan carilah pekerjaan yang lebih berbobot." Ucapnya dengan nada datar. Walaupun sikap dan kosa kata bicaranya yang berbeda dari biasanya, ia masih tetap mempertahankan nada dingin yang memang merupakan ciri khasnya.     

"Tidak seru, aku bahkan belum menyelesaikan permainan ini. Seperti berhenti di tengah jalan, apalagi aku belum sempat membuat Vrans bingung di ruangan kaca."     

"Jangan berani untuk mencelakai Vrans-ku!!" Pekik Xena dengan mata yang sudah memerah karena marah.     

"Gadis cerewet." Balas Sean sambil menoleh ke arah Xena yang meringis kesakitan.     

Erica menaikkan sebelah alisnya. "Lepaskan borgol di tangan Xena, dan lepaskan tali ini dari ku." Ucapnya.     

Sean menghela napas kasar. Jujur saja ia ingin sekali menghabisi Xena dan juga Erica di satu waktu. Tapi ia juga sedikit tergiur dengan apa yang di tawarkan Erica untuknya. Ia mengecek jam di tangannya yang menjadi pusat kendali seluruh peralatan canggih miliknya. Ia membebaskan alat yang menahan kedua gadis itu, ah tidak lupa juga ia sudah melepas keamanan gedung ini.     

"Xena sayang, terimakasih ya sudah ingin bermain-main dengan ku." Ucapnya sambil tersenyum miring ke arah Xena yang menatap dirinya dengan horror.     

"Aksinya hanya sampai sini saja? Yasudah aku ingin menghilang dulu, nanti aku kembali untuk kamu, Erica." Sambung Sean yang masih memasang senyum miringnya.     

Erica hanya menatap datar laki-laki itu, lalu menghiraukan kepergian Sean yang sudah menghilangkan di balik dinding yang langsung terkunci rapat. Ia berjalan ke arah Xena dengan mimik wajah yang khawatir. "Ini harus segera aku obati, Xena. Aku akan segera menghubungi yang lainnya."     

Xena menatapnya marah dengan mata yang siap meluncurkan air mata. "KAMU GILA, ERICA. KAMU TIDAK BERPIKIR HAL APA YANG AKAN TERJADI SELANJUTNYA! KAMU PIKIR MUDAH UNTUK MELULUHKAN--"     

"Itu urusanku, Xena. Hitung-hitung supaya aku merasakan bagaimana memiliki seseorang yang sangat berarti di kehidupan seperti kamu dan juga Orlin."     

"Aku hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa."     

"Dan itu akan terkabul, Xena."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.