My Coldest CEO

Empat puluh sembilan



Empat puluh sembilan

0"Sean, makan taco yuk!"     

Sean menaikkan sebelah alisnya, ia menatap papan dart yang menggantung di dinding kamarnya. "Jangan bercanda, Erica. Aku pembunuh bayaran, tidak makan makanan seperti itu."     

Ia melempar misil kecil ke papan dart,     

Gotcha!     

Tepat pada target melingkar bagian tengah.     

//Fyi; Darts adalah olahraga di mana dua atau lebih pemain melemparkan misil kecil, juga dikenal sebagai dart, pada target melingkar, yang dikenal sebagai papan dart.//     

"Yasudah aku ingin pulang." Ucap Erica di seberang sana dengan nada yang masih sama dinginnya. Sean hampir tidak percaya jika gadis inilah yang ingin mengajari dirinya cinta dan kasih sayang.     

Sean meneguk red wine yang memang selalu tersedia di kamarnya. "Kalau begitu, akan ku yakin kan jika ini hari terakhir kamu bisa menyapa dunia."     

Erica bergeming.     

"Kamu masih disana?" Ucap Sean sambil melempar misil kecilnya kembali. Kali ini meleset.     

"Aku tidak takut dengan ancaman mu."     

Sean memutar bola matanya lalu berjalan ke dekat gantungan baju, ia memakai jaket bewarna army. "Gadis merepotkan." Decaknya sambil berlari keluar kamar. Entah kenapa ia melakukan hal ini.     

Ia menuruni satu per satu anak tangga, lalu sorot matanya menajam kala melihat sosok yang menjadi alasannya meninggalkan kamar sedang mengobrol dengan salah satu maid yang ada di rumah ini.     

"Siapa yang mengizinkan kamu untuk berbicara dengan tamu ku?" Ucap Sean membuat maid yang tengah terkekeh kecil menjadi diam membeku seketika.     

"Dan siapa yang mengajarkan kamu memiliki sifat tidak beretika ini, Sean? Minta maaf!" Ucap Erica dengan tatapan datar. Ia tidak pernah setuju jika orang lain bertindak seenaknya kepada seseorang yang berumur lebih tua. Sangat tidak sopan walaupun Sean adalah pembunuh bayaran.     

Sean menatap Erica yang memegang gelas berisi sangria. "Sudah minumnya? Ayo kita pergi ke toko taco." Ucapnya dengan kesal. Ia telah di bohongi oleh gadis satu ini dengan mengancam jika dia ingin pulang.     

"Berubah pikiran, Tuan Assassin?"     

Sean hanya berdehem.     

"Kalau gitu, minta maaf dulu dengan Jeremy." Ucap Erica sambil melirik ke arah maid yang tadi sedang mengobrol ringan dengan dirinya.     

Sean menaikkan sebelah alisnya. "Untuk? Lagipula itu peraturan di rumah ini. Bahkan aku juga tidak pernah berbicara dengan mereka jika bukan untuk hal yang penting." Ucapnya.     

Erica meneguk minumannya setelah itu menaruh gelas yang sudah kosong kembali ke meja. "Terimakasih ya, Jeremy. Minuman ini sangatlah enak. Aku permisi dulu, sampai jumpa." Ucapnya sambil beranjak dari duduk lalu melangkah menuju pintu keluar rumah besar ini tanpa melihat ke arah Sean sedikit pun.     

"Sial." Umpat Sean.     

"Baik baiklah aku akan meminta maaf, puas?!" Ucap Sean lantang dengan nada sedikit tidak terima atas keinginan Erica padanya. Bayangkan saja sifatnya mungkin akan berbeda 180° setelah ini.     

Erica menghentikan langkahnya lalu membalikkan badan menatap Sean seakan-akan berbicara 'apa kamu bersungguh-sungguh?'.     

Sean memutar bola matanya. "Jika bukan karena gadis sialan itu, aku yakinkan jika aku akan membunuhmu pada detik ini juga." Bisik Sean kepada Jeremy yang kini wajahnya berubah menjadi lebih pucat dari yang sebelumnya. Mustahil jika siapapun yang bekerja disini tidak tau siapa itu Sean yang sebenarnya. Mereka bersedia bekerja untuk laki-laki itu, maka artinya sama dengan merelakan nyawa mereka yang terrenggut jika Sean berada dalam mode menyeramkan. Karena Jeremy sudah bekerja cukup lama dengan Sean, ia bahkan pernah melihat laki-laki itu membunuh salah satu maid hanya karena maid tersebut kurang bersih memoles secangkir gelas yang ia gunakan. Mungkin sepele, tapi menurut Sean kesalahan tersebut sangat fatal.     

"Aku mendengar bisikkan kamu pada Jeremy." Ucap Erica sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia menatap datar Sean, menunggu kelanjutan dari laki-laki itu.     

Sean menghembuskan napas kasar. "Maafkan aku."     

Lalu dengan segera ia berjalan menuju Erica sambil mengeluarkan tali yang sebelumnya pernah mengikat kaki gadis itu. "Karena kamu sudah berani membuatku melakukan hal rendahan, berarti hari ini kamu berada dalam kendali ku." Ucapnya dengan cepat mengikat tangan Erica, dengan posisi tangannya di depan.     

Erica membelalakan matanya. "Hei! Dasar laki-laki menyebalkan! Ini diluar dari perjanjian."     

"Kamu pikir meminta maaf pada Jeremy itu termasuk di dalam perjanjian kita? Tidak. Dan aku pantas mendapatkan apa yang aku mau dari mu." Ucap Sean dengan bisikan. Ia mengelus pipi kanan Erica lalu menjilatnya.     

"Menjijikkan." Ucap Erica sambil mendorong dada Sean.     

Sean terkekeh kecil lalu menggendong Erica ala bridal style, ia tidak dalam keadaan bagus untuk pergi makan keluar dan yang pastinya bertatapan muka dengan banyak orang. Karena ia harus memakai penyamaran supaya status dirinya yang sangat dikenal sebagai adik Hana si terbaik masih melekat kuat.     

"Turunkan aku. Bukankah kita ingin pergi makan taco? Lalu kenapa sekarang kamu menggendong ku seperti ini? Lepaskan!" Pekik Erica sambil meronta-ronta. Ia kesal dengan sifat Sean yang masih seenaknya.     

Sean berjalan menaiki anak tangga. "Kita ke ruangan penyiksaan. Aku yakin kamu ingin berkenalan dengan alat-alat canggih ku, bukan?"     

"Tidak, tidak minat." Ucap Erica yang sekarang sudah lebih tenang daripada tadi. Lagipula percuma dirinya meronta-ronta, hanya membuang tenaga karena pada dasarnya tenaganya kalah dengan tenaga Sean.     

Sean menampilkan senyum miringnya. "Sekalian aku ingin mencoba peralatan membunuh baru ku pada kamu. Tertarik?" Ucapnya sambil membuka pintu bewarna merah gelap dengan tangan kirinya.     

Erica memutar bola matanya, ia sedikit menyesal ketika menawarkan laki-laki ini untuk mempelajari arti cinta yang sesungguhnya. "Aku lapar, Sean. Setidaknya beri aku energi dulu baru deh kamu boleh membunuhku."     

"Mau makan apa?"     

"Taco."     

"Kenapa harus makanan itu?" Tanya Sean sambil meletakkan tubuh Erica di sofa merah kebanggaannya. Hanya dirinya dan seorang maid kepercayaan yang boleh menginjakkan kaki ke dalam ruangan ini. Semuanya di desain sangat rapih. Mulai dari penataan peralatan canggih yang tentunya diletakkan di lemari kaca dengan akses kode canggih untuk membukanya, sampai kotak panjang yang memiliki desain dari kaca tebal tepat di tengah ruangan, berisi beberapa pistol termahal sedunia. Bahkan Revolver 7 mm Lefaucheux, terpajang jelas disana.     

//Fyi; Revolver 7 mm Lefaucheux merupakan senjata berupa pistol berjenis ini merupakan salah satu senjata termahal di dunia. Bukan karena kehebatannya memuntahkan peluru, banyak orang yang rela merogoh kocek sampai Rp 2,6 miliar untuk memilikinya. Terjual dengan harga Rp 2,6 miliar, pistol ini menjadi mahal karena sejarahnya yang kelam. Dimana, melalui pistol inilah seorang seniman besar dunia yaitu Vincent Van Gogh mengakhiri (diakhiri?) hidupnya pada tahun 1890.//     

Erica mengangkat bahunya. "Tidak tau, aku suka makan taco bersama sahabat ku." Ucapnya dengan nada tidak peduli. Ia menyandarkan tubuhnya merasa kesal dengan Sean yang lagi-lagi mengikat dirinya seperti ini.     

"Kalau begitu cobalah makan sesuatu yang lain."     

"Tidak mau."     

"Dasar gadis dingin keras kepala."     

"Dasar Tuan pembunuh tidak punya perasaan." Ucap Erica sambil menunjukkan pergelangan tangannya yang diikat menjadi satu.     

Sean menaikkan sebelah alisnya. "Terserah aku. Lagipula kamu yang meminta, kamu yang menerima konsekuensinya."     

Kini Erica yang memutar kedua bola matanya. "Apa tidak ada hal hebat yang lebih menyenangkan daripada menatap segala peralatan ini begitu saja? Membosankan."     

Sean yang tengah menatap Drone yang baru saja di belinya minggu lalu dengan perantara seseorang. "Mau belajar menembak jarak jauh?"     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.