My Coldest CEO

Lima puluh



Lima puluh

0Orlin menatap tubuh Xena dari atas sampai bawah. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit yang ditahan sahabatnya saat itu. "Masih sakit, Na?"     

Xena yang kini sedang makan dengan lahap di suapi oleh Vrans pun langsung mengangguk. "Sakit banget! Lihat nih pipi aku jadi berbekas deh nantinya, pasti." Ucapnya dengan nada yang sangat tidak bersemangat. "Pasti Vrans sehabis ini akan mencari pengganti yang jauh lebih cantik." Sambungnya sambil menatap Vrans.     

"Kata siapa?" Ucap Vrans dengan nada serius. Ia paling tidak suka saat Xena merasa kurang pada dirinya sendiri. Jika ia melihat cinta dari segi fisik, lalu untuk apa hati diciptakan jika hanya mata yang menilai rasa cinta?     

Xena tersenyum konyol. "Kata aku barusan, kamu tidak mendengarnya?"     

Vrans menaruh piring yang berada di tangannya ke atas nakas. Ia menatap lekat wajah Xena. "Mau bagaimana pun wajah kamu nantinya, itu tidak akan pernah mengurangi rasa sayang aku sama kamu. Karena aku mencintai kamu apa adanya dengan artian yang sesungguhnya." Ucapnya sambil tersenyum sangat manis. Ia benar-benar mengatakan ini tulus dari relung hatinya yang paling dalam. Ia sangat senang mengetahui gadisnya selamat, walaupun ada beberapa luka cukup serius di tubuhnya.     

Xena yang merasakan ketulusan dari ucapan Vrans barusan merasa terharu begitu juga dengan Orlin yang kini menunjukkan senyum hangatnya. Ia merasa senang jika Xena kembali mendapatkan keceriaannya lagi. Terlebih lagi Tasya dan Liam yang masih disibukkan dengan pekerjaan. Mereka dengan rapat menutupi perihal penculikan Xena yang terjadi dua kali lebih parah daripada sebelumnya, atas permintaan gadis itu sendiri. Dan berakhir Vrans yang menjelaskan kecerobohan bohong yang di lakukan Xena sehingga mendapatkan luka seperti itu.     

Lagipula Xena percaya pasti Erica bisa mengubah Sean menjadi lebih baik dari sebelumnya. Semoga saja.     

"Sejak kapan kamu jadi romantis, bosayang?" Tanya Xena sambil menangkup gemas wajah Vrans.     

Orlin yang melihat itu hanya menggelengkan kepala. Menurutnya, Xena dan Vrans tidak berbeda jauh dengan dirinya dan Niel yang mungkin jauh lebih termakan oleh cinta. Jadi, ia tidak perlu merasa risih dengan pemandangan seperti ini. Tidak seperti Erica yang sangat anti dengan cinta pada laki-laki namun menawarkan Sean untuk kenal dengan yang namanya cinta. Apa tidak salah?     

"Aku senang kamu baik-baik aja, Na. Tapi aku tidak setuju mengenai Erica yang kini berada dalam kendali Sean. Aku takut dia kenapa-kenapa." Ucap Orlin dengan lemas. Walaupun ia tidak terlalu dekat dengan Erica karena mereka memang tidak satu ruang kerja, tapi tetap saja Erica adalah gadis yang paling mengajarkan mereka berdua kalau bersikap tenang itu perlu diterapkan. Ya setidaknya hanya itu yang bisa ia simpulkan.     

Xena menurunkan kedua tangannya dari rahang kokoh Vrans. Ia menatap ke arah Orlin yang kini tengah menekuk senyumnya. "Apa yang Erica janjikan sama kamu?" Tanyanya balik.     

Orlin mengingat sekitarnya perkataan Erica padanya yang memberitahukan dalam tersirat untuk janjinya.     

'Dengar, Orlin. Walaupun aku terlihat cuek dengan kamu dan Xena, bukan berarti aku tidak peduli pada kalian. Aku tidak akan membiarkan kalian berada dalam masalah, karena aku masih butuh kalian. Tetap disini dan berjanjilah untuk baik-baik saja.'     

Ucapan Erica waktu itu terlintas di pikirannya. "Erica berjanji untuk baik-baik saja."     

Xena tersenyum manis. "Nah, ini saatnya untuk kira percaya dengan apa yang dijanjikan Erica untum kita! Kapan lagi dia mau dekat sama seorang laki-laki? Ini kesempatan bagus kali saja nanti mereka jodoh dan aku akan mendukungnya!" Ucapnya dengan semangat. Bahkan ia sudah membayangkan bagaimana penampilan Erica jika sudah menjadi kekasih Sean. Astaga, ia benar-benar selalu berpikir jauh.     

Vrans hanya mendengarkan percakapan kedua gadis itu dengan seksama. Walaupun ia cuek dengan gadis lain, tidak dapat dipungkiri juga jika dirinya sedikit merasa khawatir dengan keadaan Erica. Apalagi gadis itu sampai sekarang belum menjenguk Xena sama sekali. Bagaimana pun Sean adalah Sean. Pembunuh bayaran yang patut untuk di waspadai.     

"Apa sebaiknya kita laporkan Sean saja?" Tanya Vrans di tengah-tengah pembicaraan kedua gadis itu yang sedang mendebatkan seperti apa nantinya jika Erica bersama Sean. Yang satu sangat mendukung, yang satu lagi menolak keras karena Sean sudah tercap jelek di pikirannya. Dasar gadis.     

Karena ucapan Sean, Orlin dan Xena serempak menoleh pada laki-laki itu.     

"JANGAN DONG!" Protes Xena tidak terima. Ia sangat menghargai usaha Erica untuk mengubah Sean.     

Vrans mengernyit, merasakan telinganya yang berdengung. "Jangan teriak, memangnya pipi kamu tidak perih?" Tanyanya sambil mengelus pipi Xena yang di beri kasa dan plester.     

"Tidak, habisnya sudah terlanjur emosi sama pertanyaan kamu, bosayang! Erica tuh tau apa yang terbaik untuk semuanya. Kita hanya harus mendukung keputusannya tau!"     

Orlin mengangguk setuju atas ucapan Xena. "Iya benar, aku juga berpikir mungkin Sean masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik."     

Vrans menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Baiklah, aku ingin duduk di sofa dan memeriksa dokumen perusahaan. Kalian lanjut mengobrol saja." Ucapnya dengan pasrah. Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikir kedua gadis itu. Lebih baik ia terhanyut dalam kesibukan pekerjaan saja.     

Ia membuka email pada ponselnya, membaca berkas yang dikirim oleh Erica beberapa menit lalu. Ia menaikkan sebelah alisnya. Bahkan disaat gadis itu mengurus pembunuh bayaran, dia masih bisa mengerjakan pekerjaannya secara baik? Erica benar-benar gadis yang hebat. Kenapa Leo justru memberikan posisi sekretaris utama kepada Xena yang bahkan malas-malasan mengerjakan tugasnya? Ah iya, ia lupa, Xena kan gadis dengan 1001 tingkah yang mampu menyihir kesadaran orang lain termasuk dirinya.     

Jika seperti itu, tandanya Erica baik-baik saja, bukan?     

Kembali lagi pada Xena yang tengah menatap Orlin dengan serius.     

"Semua akan baik-baik saja, Lin. Tenang, jangan khawatir. Kalau Sean macam-macam, biar Vrans yang turun tangan."     

Orlin terkekeh. "Kirain aku, kamu ingin bilang jika kamu sendiri yang turun tangan."     

"Aku? Mengajak Sean main ludo saja aku sudah disiksa seperti ini. Dasar assassin psikopat!" Ucap Xena dengan sebal. Ia meraba pipi dan lengannya yang terdapat luka akibat perbuatan laki-laki itu.     

Orlin meringis melihatnya. "Ngilu Na liatnya."     

Xena mengangguk, "Apalagi aku yang merasakannya. Pisau milik Sean itu kecil tapi benar-benar tajam. TAPI KAMU HARUS TAU LIN KALAU KEMARIN AKU SEPERTI SEDANG BERADA DALAM FILM ACTION!"     

Orlin menggelengkan kepalanya. Ia tidak habis pikir dengan Xena yang tidak pernah kehabisan energi untuk tetap bergerak aktif. "Kamu lagi sakit, Na. Beruntung ruangan ini kedap suara, kalau tidak pasti kamu sudah ditendang keluar oleh pihak rumah sakit."     

"Kan ada bosayang tercinta, jadi mereka tidak akan pernah berani untuk macam-macam dengan aku!"     

Vrans yang mendengar ucapan Xena hanya bisa tersenyum dalam diam. Bahkan untuk rasa sayang ini pada gadis itu kian membesar setiap harinya. Entah kenapa, Xena mampu menyaingi Klarisa tanpa harus merendahkan harga dirinya seperti gadis lain.     

"Untuk sebuah alasan yang tidak pernah aku temukan, aku akan tetap mencintai kamu tulus dari hatiku."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.