My Coldest CEO

Lima puluh satu



Lima puluh satu

0"Bosayang, untuk apa kita ke museum? Aku kan mau makan taco." Ucap Xena sambil menatap Vrans dengan senyum yang ditekuk. Padahal ia sudah meminta supaya Vrans mengantar dirinya ke kedai taco yang biasa ia kunjungi. Tapi entah atas dasar apa, laki-laki itu membawanya kesini.     

Metropolitan Museum of Art atau sering dikenal dengan sebutan The Met, New York City, Amerika Serikat     

Metropolitan Museum of Art merupakan salah satu museum seni terbesar dan terbaik di dunia yang didirikan pada tahun 1870. Museum ini mempunyai koleksi lebih dari 2 juta karya seni yang berasal dari kurun waktu 5000 tahun dari seluruh dunia. Koleksi dari Metropolitan Museum of Art meliputi karya seni dari zaman kuno klasik dan Mesir kuno, lukisan serta patung dari seniman Eropa.     

Vrans terkekeh kecil melihat Xena yang terlihat sudah sedikit membaik dari lukanya yang diakibatkan oleh Sean. "Supaya kamu mengenal lebih banyak karya seni."     

"Tapi kan aku lapar, Vrans."     

"Sudah sangat lapar atau hanya ingin mengemil ringan? Tadi kamu baru saja makan steak, sayang. Jangan berbohong, ayo kita mempelajari sesuatu dulu disini."     

"Dasar tidak bisa terbantahkan, huh!"     

Vrans tersenyum lalu menangkup wajah Xena. "Senyum ya, kamu terlihat lebih cantik jika tersenyum." Ucapnya sambil menarik pelan kedua sudut bibir gadisnya supaya tersenyum.     

Pipi Xena mulai memerah. Astaga Vrans benar-benar sangat manis. Ia mempertahankan senyumannya. "Siap laksanakan, bosayang yang sangat menyebalkan!"     

"Bukannya terbalik? Kamu yang menyebalkan, sayang." Ucap Vrans sambil mengecup pipi kanan Xena lalu beralih menggenggam tangan gadisnya dengan erat. "Tetap disisi ku dan aku akan selalu menjagamu."     

"Kamu sekarang ahli merayu ya. Aku kan jadi malu!" Ucap Xena sambil mencium gemas punggung tangan Vrans yang menggenggam erat tangannya. Ia sangat-sangat beruntung memiliki Vrans dalam hidupnya. Saat dirinya terluka, bahagia, maupun sedih, laki-laki itu selalu ada untuknya.     

Mereka mulai memasuki museum dengan tatapan Xena yang sudah memandang takjub desain bangunan tersebut. Sekian lama ia tinggal di New York, baru pertama kali ini menginjakkan kaki disini. Astaga ia terasa seperti orang asing di negaranya sendiri. Bahkan orang asing saja mungkin pernah berkunjung kesini.     

"Ingat ya, jangan pernah menyentuh karya seni yang terpajang. Itu menyalahi aturan, nanti kamu bisa di keluarkan oleh pihak museum." Ucap Vrans sambil menatap Xena dengan serius. Ia sangat cemas jika gadisnya bertindak konyol dan tidak menahan keinginannya untuk menyentuh beberapa karya seni yang mungkin menarik perhatiannya.     

Xena menjulurkan lidahnya ke arah Vrans. "Bagaimana pun juga, aku selalu paham aturan di museum, bosayang. Aku memang konyol, tapi aku pintar kalau kamu lupa." Ucapnya sambil tersenyum lebar.     

Vrans hanya menggelengkan kepalanya saja. Ia menuntun Xena untuk melihat-lihat beberapa lukisan yang perpajang rapih di dinding. Yang merupakan karya seni milik Michelangelo, Leonardo da Vinci, Giambattista Pittoni dan Rembrandt.     

"Kamu tau tidak? Sebenarnya dulu aku bercita-cita ingin menjadi pelukis." Ucap Xena tiba-tiba saat melihat sebuah lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci.     

Vrans menaikkan sebelah alisnya. "Serius kamu?"     

"Bercanda lah! Buat sketsa saja menyerah." Ucap Xena sambil terkekeh. Ia berusaha mengecilkan volume suaranya supaya tidak mengganggu pengunjung lainnya.     

Vrans ikut terkekeh. "Dasar gadis pluto."     

"Dasar bosayang yang sangat aku sayang!"     

Vrans mengacak gemas rambut Xena. "Habis ini kita ke kedai taco ya, sayang."     

...     

Disinilah Erica. Masih bersama Sean, lagi dan lagi. Entah kenapa ia sedikit muak dengan sifat laki-laki itu yang sedikit cerewet. Terlebih lagi dirinya yang tidak peduli dengan sekitar merasa seperti membuat kesalahan besar dengan menawarkan kasih sayang pada Sean.     

"Aku mau pulang, lapar."     

"Kan bisa makan di rumah ku. Kenapa harus pulang? Kan aku sudah bilang untum tetap berada disini. Aku butuh objek untuk membantu melukis."     

"Tidak peduli, Sean."     

Erica menatap malas ke arah Sean yang kini sedang menata pistol barunya di salah satu lemari. "Kamu payah dalam membuat kode keamanan. Sangat mudah di tebak." Ucapnya dengan nada mengejek. Memang benar, bukan? Sean payah dalam membuat kode akses. Atau karena dirinya yang terlewat cerdas logikanya?     

Sean berdecih. "Berisik. Lama-kelamaan kamu yang akan aku awetkan di dalam lemari ini." Ucapnya sambil mengunci kembali lemari yang ia buka tadi. Ia melihat ke arah Erica yang sedang tiduran di atas sofa, kali ini tali yang ia ikatkan pada pergelangan tangan gadis itu sudah tidak ada lagi.     

"Kamu assassin, bukan psikopat. Tolong bedakan." Ucap Erica sambil memainkan game di ponsel Sean. Game seperti tembak menembak musuh bersama dengan beberapa partner teman.     

"Menurutku sama saja. Pembunuh bayaran termasuk psikopat. Mereka menyalurkan hobi membunuhnya dengan masuk ke dalam organisasi assassin, mendapatkan banyak keuntungan." Ucap Sean sambil tersenyum miring. Ia menyandarkan tubuhnya sambil menyilangkan tangan di dada, menatap Erica dengan alis terangkat.     

"Aku sedang fokus bermain game, lebih baik kamu berbicara saja dengan Jeremy."     

"Jangan harap, Erica." Ucap Sean sambil memutar bola matanya. "Kamu bahkan tidak bisa memainkan game tersebut."     

"Memecahkan permainanmu saja mudah, lalu kenapa kamu dengan percayalah dirinya jika aku tidak bisa menyelesaikan game ini? Bodoh." Ucap Erica dengan datar tanpa melihat ke arah Sean sedikitpun.     

Sean terkekeh kecil. "Gadis pintar."     

"Aku tidak menerima pujian, Sean. Basi."     

"Dan aku juga tidak menerima komentar atas apa yang aku ucapkan." Ucap Sean sambil berjalan menuju Erica. Gadis itu dengan wajah datarnya bermain game yang menurutnya bisa saja membuat seseorang berteriak histeris karena tertembak mati yang artinya 'game over'.     

"Hm." Dehem Erica tanpa berniat menimpali ucapan Sean.     

Sean menarik kursi kecil dan duduk di samping tubuh Erica. Gadis itu tampak terlihat tidak menggairahkan dibandingkan dengan gadis di luar sana. "Kamu tidak berniat mengganti penampilan mu?"     

"Memangnya kenapa dengan penampilanku?"     

"Kurang feminim. Tidak menarik di mata laki-laki manapun."     

Erica menoleh ke arah Sean dengan tatapan tajam, ia membiarkan visual dirinya di game tertembak begitu saja. "Aku hidup seperti apa yang aku inginkan. Bukan seperti apa yang mata mesum laki-laki inginkan." Ucapnya dengan sangat datar. Ia memang tidak pernah berniat untuk memakai dress ataupun pakaian feminim lainnya seperti Xena dan Orlin. Ia lebih nyaman memakai tank top di lapisi dengan kemeja atau cardigan dengan celana jeans.     

"Oke tidak perlu marah, lagipula aku hanya bertanya."     

"Pertanyaan konyol. Aku harap hanya ada satu assassin yang sifatnya seperti kamu."     

Erica bangkit dari tidurnya di sofa, lalu menatap Sean tanpa ekspresi, lagi. "Aku lapar, bye." Ucapnya sambil melangkah pergi meninggalkan Sean dan ruangan merah hitam ini. Entah mengapa ruangan ini menjadi tempat yang paling asyik untuk dikunjungi olehnya.     

Sedangkan Sean, kini laki-laki itu menatap Erica dengan tatapan tertarik. "Sepertinya saat ini aku sudah mengerti kenapa dia menawarkan aku hal ini. Karena dia, berbeda dari gadis lainnya, termasuk Hana."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.