My Coldest CEO

Lima puluh lima



Lima puluh lima

0Erica menatap bangunan yang tidak terawat tepat berada di depannya. Berdebu, bertuliskan dilarang masuk dilengkapi dengan rantai besar plus gembok, dan cat yang sudah pudar menjadi daya tarik awal bagi siapapun yang melihat ini. Ia menatap Sean yang kini sedang membuka gembok tersebut.     

"Kamu punya akses masuk ke bangunan ini?" Tanya Erica dengan heran. Pasalnya, setelah ia dibawa berkendara di atas motor kurang lebih dua jam lamanya, ternyata tujuan mereka kesini?     

Sean mengangkat bahunya acuh. "Mungkin, mereka yang memberikan aksesnya padaku."     

"Mereka? Siapa?"     

Pertanyaan Erica tidak di gubris sama sekali oleh Sean. Laki-laki itu membuka pintu lebar-lebar, menampilkan isi bangunan yang berisi beberapa orang yang sedang menangani sesuatu.     

"Sean, apa ini tempat penjualan senjata illegal?"     

Tanpa menjawab pertanyaan Erica yang tepat sasaran, Sean langsung menggenggam tangan gadis itu dengan erat. "Jangan jauh-jauh dariku, atau kamu siap terbunuh."     

Erica memutar bola matanya merasa sifat protektif yang ditunjukkan Sean, namun tidak ayal ia mengikuti setiap langkah laki-laki itu yang mulai masuk gedung.     

"Yo, Xavon!"     

Sean dan Erica dengan serempak menoleh ke arah seorang laki-laki yang berjalan ke arah mereka sambil menggenggam senjata Rheinmetall MG 3 di tangan kanannya. Baiklah, Erica kini menatap laki-laki itu dengan sorot mata yang sangat tajam.     

//Fyi; Rheinmetall MG 3 diproduksi oleh Jerman yang dilengkapi dengan kartrid NATO 7.62 × 51mm. MG 3 ini adalah senjata di balik garda depan. Dia mampu menjadi senapan mesin ringan ataupun berat. Desain senjata ini berasal dari senapan mesin serba guna MG 42 di era Perang Dunia II, yang dapat menembakkan peluru Mauser 7.92 × 57mm.//     

"Maxon, apa kabar?" Ucap Sean sambil berhigh five dengan laki-laki yang ia panggil Maxon tersebut, tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Erica sama sekali.     

"Seperti yang kamu lihat, sangat baik. Kesuksesan ini membuat hidupku terasa sangat sempurna." Ucapnya sambil di selingi tawa ringan. Ia melihat ke arah Erica dengan alis yang menyatu menjadi satu. "Siapa dia? Target tembak selanjutnya?"     

Sean melirik ke arah Erica. Pasti gadis itu kini sedang berpikiran yang tidak-tidak. "Bukan dan tidak akan pernah. Kalian menyentuh gadis ini, akan aku rombak habis-habisan bangunan ini."     

Maxon terkekeh. "Seberapa penting gadis itu untuk kamu? Bukankah hidupmu hanya tentang membunuh tanpa memperdulikan siapapun?"     

"Memang seperti itu dan tidak akan pernah berubah."     

"Ini baru Xavon yang sesungguhnya."     

"Tapi mencoba sekali, tidak masalah kan?"     

Maxon mengangguk, lalu menepuk pundak Sean. "Aku harus kembali mengemasi ini, sudah ditunggu orangnya."     

Sean mengangguk, lalu melihat kepergian Maxon.     

"Apa maksudnya laki-laki tadi?" Tanya Erica dengan nada dingin. Sasaran tembak? Apa itu cara mereka untuk menguji seberapa pantas senjata di gudang ini untuk di pasarkan di pasar gelap?     

Sean mengangkat bahunya acuh. "Tidak tau, aku bukan orang dalam dan bukan pekerja disini."     

"Kal bagai---"     

"Jangan jadi cerewet, lebih baik kamu tetap menjadi gadis yang dingin dan tidak banyak tanya." Ucap Sean sambil kembali menuntun Erica untuk tetap berada satu langkah dengan dirinya.     

Ia membuka pintu besi dengan satu tangannya. Lalu disana terlihat banyak sekali berbagai macam pistol dari yang standar sampai yang benar-benar sangat mempesona.     

"Woah." Erica menatap kagum sekelilingnya. Jujur saja, baru pertama kali ia melihat ruangan yang di penuhi berbagai macam jenis pistol. Bahkan ruangan merah yang berada di dalam rumah Sean terlihat kalah jauh jika di bandingkan dengan ini.     

Sean melepaskan genggaman tangannya pada jemari Erica. Ia mulai berjalan seperti pandu yang berada di tempat wisata.     

"Welcome to the deadly room." Ucap Sean dengan lantang, ia benar-benar terlihat seperti seorang ahli pandu wisata saat ini. Membayangkannya saja membuat perut Erica terasa tergelitik.     

"Jangan terlihat seperti itu, tidak pantas."     

Sean terkekeh mendengar ucapan Erica.     

"Kalau begitu, silahkan pilih senjata yang kamu suka."     

Erica membelalakan matanya. "Apa kamu sudah gila?"     

"Gila? Memangnya kenapa? Hanya memilih saja, bukan?"     

Dengan satu tarikan napas kasar, Erica mulai meneliti seluruh pistol, mencari yang menurutnya terlihat menakjubkan.     

Sean melihat Erica dengan tatapan yang sangat sulit untuk diartikan. Entah kenapa ia membawa gadis itu ke tempat seperti ini. Tapi menurutnya, sebelum gadis itu memasuki kehidupannya untuk lebih lanjut, dia harus mengetahui kejamnya lingkungan yang ada di hidupnya. Itu saja.     

Kembali pada Erica, dia kini sedang berdiri tepat di salah satu pistol yang di tempati di kotak kaca kecil. "Sepertinya aku suka dengan yang satu ini." Ucapnya sambil menoleh ke arah Sean.     

Sean menaikkan alisnya lalu berjalan ke arah Erica. Ia melihat sebuah pistol Colt 1911.     

//Fyi; Colt 1911 sudah menjadi semacam legenda yang lekat dengan militer Amerika. Colt 1911 berisi 7 buah peluru dan setiap satu butirnya bisa dimuntahkan dengan kecepatan 1.225 kaki per detik. Salah satu pistol mematikan sedunia.//     

"Pilihan yang bagus, sayang."     

Erica bergeming, tidak membalas ucapan Sean yang kini laki-laki itu tengah mengambil pistol yang di pilih olehnya.     

"Kamu tau? Aku punya satu yang seperti ini. Namun terjatuh begitu saja saat mengintai salah satu bos di perusahaan terkenal."     

"Aku tidak bertanya."     

Sean menatap Erica. "Kalau begitu, aku hanya memberi tahu dirimu."     

"Dan aku tidak peduli."     

Gadis yang menyebalkan. Seketika bisa berubah menjadi cerewet dan banyak bertanya, sedetik kemudian bisa menjadi gadis dingin yang menyebalkan.     

Sean mendekati wajahnya pada Erica. Hembusan napas hangatnya langsung menyapa permukaan kulit wajah Erica. Dengan perlahan, ia melumat bibir mungil gadis tersebut.     

Erica membelalakan matanya, namun ia tidak meronta meminta supaya laki-laki itu melepaskan ciumannya. Namun ia juga tidak membalas ciuman itu.     

"Buka mulut mu, Erica."     

Erica bergeming.     

Lalu dengan segala akal yang dimiliki Sean, laki-laki itu kini menggigit kecil bibir dalam Erica. Membuat gadis itu langsung membuka mulutnya.     

Dengan gerakan cepat, Sean berhasil menyapu seluruh rongga mulut Erica dengan lidahnya.     

"Lep--haskan, damn y-you." Erang Erica sambil memukul punggung Sean. Ia sebal dengan laki-laki yang selalu melakukan hal seenaknya.     

Sean menahan kepala belakang Erica, membuat gadis itu tidak bisa bergerak kemanapun. Astaga, ia kalah dan mulai mengikuti alur ciuman yang di buat laki-laki itu.     

Cukup lama mereka berciuman, lalu Sean memutuskan untuk menyudahinya. "Bibir kamu manis, sama seperti orangnya."     

Erica menonjok perut Sean dengan kencang. "MESUM!"     

Sean meringis sambil memegang perutnya. Tenaga Erica sangat pantas jika dibandingkan dengan satu bodyguard yang badannya kekar. "Apanya yang mesum? Hanya berciuman saja."     

Erica menatap Sean dengan sinis, lalu merebut pistol yang berada di tangan laki-laki itu. "Berani mencium ku lagi, akan aku tembak kamu."     

"Tidak takut dan tidak peduli."     

"Weird man!"     

Sean terkekeh, lalu dengan gerakan cepat ia menangkup wajah Erica dengan kedua tangannya. "I'm not weird, but I like playing with you, baby."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.