My Coldest CEO

Enam puluh tiga



Enam puluh tiga

0Erica menatap datar wajah Sean yang kini dengan tidak sopannya sedang menatap dirinya secara intens. Ia berdecak kesal, lalu mendorong tubuh laki-laki itu supaya segera menjauh dari dirinya.     

"Kenapa sih?" Tanyanya dengan nada kesal. Pasalnya, semenjak ia bermain ponsel dan membuka sosial media, laki-laki itu langsung mendekati dirinya dan mencuri pandang ke arah ponselnya.     

Sean mengangkat bahunya, seakan-akan hal itu bukanlah masalah bagi dirinya. "Tidak, hanya penasaran saja." Ucapnya sambil menampilkan senyum konyol andalannya. Lihat, laki-laki pembunuh yang aneh itu bahkan bertindak bodoh saat di dekat Erica.     

Mendengar jawaban aneh Sean, Erica memutar bola matanya lalu menatap laki-laki itu dengan jengkel. "Lebih baik kamu melakukan hal yang bermanfaat, Sean." Ucapnya.     

"Bagiku, kamu sangat bermanfaat." Ucap Sean sambil menaik turunkan kedua alisnya bermaksud untuk menggoda gadis itu.     

"Hm."     

Erica tidak memperdulikan ucapan Sean yang terdengar sangat menggelikan. Matanya kini lebih terfokuskan pada notifikasi yang baru di tampilkan pada layar ponselnya, pertanda pesan masuk.     

Orlin     

Erica, aku butuh kamu     

Orlin     

Ada hal penting yang aku ingin beritahu     

Membaca isi pesan yang di kirimkan oleh Orlin, ia mulai menaikkan sebelah alisnya dengan pikiran yang sudah menerka-nerka hal apa yang ingin dibicarakan sahabatnya itu.     

Sedangkan Sean, kini laki-laki itu sudah melangkah menuju rak yang berisi semua pistol kebanggaannya. Sepertinya laki-laki itu ingin mengganti senjata untuk membunuh target sasarannya, padahal satu hari yang lalu dia sudah mengganti pistol yang lain juga. Ah dasar, laki-laki memang cepat merasa bosan.     

Orlin     

Send a picture     

Dengan segera, Erica membuka media yang dikirimkan Orlin untuknya. Alisnya kian menyatu karena merasa bingung dengan apa yang tertulis di surat tersebut. Ia sempat berpikir yang tidak-tidak, namun ia langsung menepis semua pikiran itu. Jangan bersalah sangka, lagipula orang itu sudah tiada, bukan?     

Dengan segala pikiran positif yang berusaha ia tanamkan di otaknya, jemari lentik Erica mulai menari-nari di atas layar ponselnya.     

Erica     

Itu dari siapa?     

Ia kembali menerawang jauh tentang siapa yang mengirim surat itu. Walaupun pikirannya berusaha untuk menariknya ke dalam zona positif, tapi hatinya merasa jika ia harus mencari tahu hal ini. Bagaimana jika hal itu kembali membahayakan hidup seseorang? Atau mungkin mengincar Xena kembali melalui pesan perantara dari orang-orang terdekat gadis itu?     

Orlin     

Tidak tahu, tadi ada seseorang.yang menaruh itu dari balik celah pintu ruang kerjaku     

Erica menaikkan sebelah alisnya merasa aneh dengan sang pengirim surat ini. Kenapa tidak masuk ke dalam dan langsung memberikannya kepada Orlin? Atau kenapa tidak langsung saja berbicara dengan sahabatnya itu?     

Erica     

Mungkin hanya jahil?     

Pikiran Erica kembali tetap positif. Bagaimanapun juga ia tidak bisa menyalahkan siapapun jika belum mendapatkan bukti dan kebenaran.     

Orlin     

Pesan-pesan ini terlihat nyata, Erica!     

Erica kembali membaca isi surat tersebut yang tadi di foto oleh Erica dan di kirimkan padanya melalui aplikasi kirim pesan.     

"Masih ada disini dan sudah mempersiapkan segalanya?" Gumam Erica dengan nada kebingungan. Ia sama sekali belum paham dengan apa yang tertuliskan di surat itu.     

Erica     

Baiklah, nanti aku akan memeriksa tulisan tangan itu.     

Dengan helaan napas, ia menyandarkan tubuhnya pada kepala sofa. Ia sedikit memijat pangkal hidungnya yang terasa sangat berdenyut.     

Beruntung ia cukup mahir dalam melacak tulisan tangan seseorang. Hal itu ia pelajari saat sejak masih remaja dari almarhum sang grandpa yang memang mantan anggota FBI. Jadi, ia sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Ditambah lagi ia pandai bela diri dan melakukan aksi berbahaya lainnya.     

"Minum dulu, jangan terlalu dipikirkan."     

Erica tersentak kaget saat segelas jus dingin hinggap di permukaan kulit pipi kanannya. Ia menatap Sean dengan sebal. "Jangan seperti itu!" Pekiknya sambil mengambil gelas jus yang telah di sodorkan laki-laki itu di hadapannya.     

Sean terkekeh kecil lalu duduk tepat di samping Erica dengan tangan yang sudah memegang gelas yang berisi Bombay Sapphire Revelation.     

//Fyi; Bombay Sapphire Revelation ini sudah dikenal sebagai salah satu merek yang memiliki kualitas gin yang paling tinggi. Dengan harga yang terbilang fantastis (200.000 USD), minuman beralkohol ini mempunyai desain yang super mewah dengan kristal baccarat, berlian, dan batu safir yang di rancang sempurna oleh Karim Rashid seorang seniman yang karyanya sudah diakui oleh kalangan jet set.//     

"Ada masalah?" Tanya Sean to the point sambil meneguk minuman beralkohol itu, membiarkan setiap tetes dari Bombay Sapphire Revelation menyapa dinding tenggorokannya. Ia melihat raut wajah gadisnya yang seperti sedang berpikir keras.     

Erica tanpa ingin menjawab ucapan Sean hanya memberikan ponselnya pada laki-laki itu, membiarkan Sean membaca apa yang membuat dirinya menjadi seperti ini. Ia menyesap sedikit jus yang tadi dibawakan oleh Sean, lalu menaruhnya di atas meja yang berada tepat dihadapannya.     

Cukup lama semenjak Sean mengambil alih ponsel dari tangan Erica, tapi laki-laki itu tidak berkomentar apapun lagi membuat dirinya mau tidak mau harus menatap ke arah Sean.     

"Sean?" Panggil Erica saat melihat laki-laki yang ada tepat di sampingnya ini hanya bergeming menatap ke layar ponsel. Hal tersebut membuat dirinya langsung menaikkan sebelah alisnya merasa heran. "Jangan tidak jelas deh." Sambungnya sambil memutar kedua bola matanya. Ia beranjak dari duduknya lalu berjalan menatap serangkaian rak kayu yang kini berisi beberapa peralatan canggih yang biasa di pakai oleh para agen rahasia.     

Saat ini mereka sedang berada di Kanada, mengunjungi salah satu rumah mewah milik satu-satunya teman yang Sean miliki. Awalnya ia marah karena dibawa ke Negara orang lain tanpa memberitahu maksud dan tujuannya sedikitpun. Tapi kini, ia merasa tidak masalah dengan hal itu sama sekali. Ia benar-benar di buat takjub dengan ruangan persenjataan yang terbilang lebih dari kata lengkap ini. Bahkan ruang merah Sean pun hanya memiliki tidak mencapai sebagian pistol yang ada disini.     

Ia meneliti satu persatu peralatan itu. Sangat menakjubkan, bahkan kedua manik matanya selalu berbinar melihat ini.     

"Ingin memiliki beberapa peralatan itu?"     

Erica memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara. Ia dengan wajah datarnya menampilkan sebuah anggukan kecil antusias. "Kalau boleh, tentu saja mau!" Ucapnya dengan lumayan bersemangat. Ia memang tidak pernah bisa meninggalkan raut wajah kakunya walaupun ia ingin sekali berekspresi lebih.     

Laki-laki itu berdehem lalu berjalan mendekati rak yang sedari tadi menjadi daya tarik Erica.     

"Mau pilih sendiri atau aku yang dengan sukarela memberikannya padamu?" Tanya D. Krack memberi pilihan pada Erica. Lagipula, menurutnya gadis ini tidak pernah membocorkan tentang segala kehidupan yang berkaitan dengan Sean. Anggap saja hal ini sebagai imbalan karena Erica sangat pandai tutup mulut. Menurutnya, Sean beruntung bertemu dengan gadis seperti Erica.     

Erica mengangkat bahunya acuh. "It's up to you, D. Krack." Ucapnya sambil tersenyum simpul, ia benar-benar bertingkah sewajarnya meskipun hatinya kini sudah meronta seperti jatuh cinta pada ruangan ini.     

D. Krack mengangguk saja, lalu mulai memilih peralatan yang sekiranya cocok untuk di berikan pada gadis manis yang terlihat lugu namun berbahaya seperti Erica.     

Ia memusatkan pandangannya pada sebuah wadah bedak atau yang biasa disebut dengan perang dingin. "Sepertinya ini cocok untukmu." Ucapnya sambil menyodorkan benda itu ke hadapan Erica.     

Erica yang melihat itu langsung saja mengambilnya dengan alis yang menyatu. "Apa kegunaannya?"     

"Pernah merasa penasaran mengapa wanita agen rahasia dalam film sering sekali masuk ke kamar mandi wanita untuk memasang bedak di hidung?" Tanya D. Krack sambil membenarkan topi yang menghiasi kepalanya.     

Erica menggeleng kecil dengan raut wajah yang dingin. Gadis itu tampak menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh laki-laki yang berada di hadapannya saat ini.     

"Wadah bedak mereka mungkin berisi pesan atau informasi bersandi rahasia. Salah satu yang ada dalam museum adalah wadah bedak dengan kode yang terbaca jika cerminnya dimiringkan dengan sudut tertentu. Jadi, jaga itu baik-baik." Ucapnya sambil menunjuk wadah bedak yang sudah berada pada genggaman tangan gadis Erica.     

Erica mengangguk paham, lalu memasukkan wadah bedak itu ke dalam tas sling bag miliknya.     

"Dan ini, Insectothopter." Ucap D. Krack sambil memberikan sebuah kotak kecil berwarna hitam yang terlihat sangat elegan ke hadapan Erica.     

"Apa? Bagaimana aku menyebutnya?" Tanya Erica yang mendengar nama benda tersebut yang sulit untuk diucapkan.     

D. Krack mengulangi nama bendanya lagi, lalu pada yang kali kedua ini, Erica berhasil menyebutkan nama Insectothopter dengan benar.     

Erica membuka kotak kecil tersebut, lalu melihat sebuah benda yang menyerupai dragonfly. "Apa fungsinya?" Tanyanya dengan penasaran. Pasalnya, bentuk dari alat ini sangatlah unik dan baru pertama kali ia melihat yang seperti ini.     

"Perangkat ini merupakan drone yang di desain menyerupai dragonfly, dibuat untuk membuktikan konsep UAV atau biasa disebut dengan unmanned aerial vehicles ukuran mikro sebagai perangkat pengumpul intelijen." Jelas D. Krack dengan sangat lancar. Sepertinya laki-laki ini mengetahui semua peralatan yang ada disini dengan sangat baik. Terbukti dari dirinya yang tidak terbata saat menjelaskan benda-benda ini pada Erica.     

Kedua manik mata Erica berbinar sempurna mendengar penjelasan D. Krack. Dengan segera, ia langsung menutup kotaknya kembali dan memasukkannya ke dalam sling bag-nya.     

"Ada lagi yang cocok untukku?" Tanya Erica.     

Terlihat D. Krack yang meneliti susunan peralatan itu dengan seksama. "Sebentar, nanti aku beritahu mu lagi." Ucapnya sambil berjalan menjauh dari Erica. Laki-laki itu kini mencari di sisi rak lainnya.     

"Pesan surat itu, darimana?"     

Erica menoleh ke arah Sean, dan menemukan laki-laki itu yang menyodorkan kembali ponsel miliknya.     

Dengan cepat, ia kembali mengambil ponsel tersebut lalu di masukkan ke dalam sling bag miliknya. "Orlin, memangnya ada apa?"     

"Kamu sudah melihat-lihatnya atau sedang menunggu sesuatu dari D. Krack?" Tanya Sean.     

"Sedang menunggu. Kenapa sih kamu?" Tanya Erica dengan heran melihat urat wajah Sean tercetak jelas, pertanda laki-laki itu sedang menahan rasa kesalnya.     

Sean berdehem, lalu menggerakkan deretan giginya dengan gemas. "Kita harus segera kembali ke New York, Erica." Ucapnya dengan nada yang di pertegas. Tidak ada lagi raut wajah menyebalkan ataupun konyol.     

"Loh, kenapa? Apa ada masalah?" Tanya Erica sambil mengambil helaian rambut halus miliknya yang menjuntai ke belakang telinga.     

Sean menganggukkan kepalanya dengan mantap, ia sudah cukup yakin dengan apa yang dipikirkannya saat ini. "Dia masih hidup, dan akan kembali mendatangkan masalah baru."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.