My Coldest CEO

Enam puluh tujuh



Enam puluh tujuh

0"Ada apa sih?"     

Erica berdecak kesal karena sedari tadi Sean masih menunjukkan raut wajah dengan urat yang menonjol seperti itu. Baginya, aura pembunuhnya benar-benar menyeruak kental dari dalam tubuhnya. Tapi satu hal yang ia tidak mengerti, kenapa laki-laki itu masih saja mendiami dirinya?     

"Aku ada salah?" Tanya Erica sekali lagi. Ia sangat bingung jika dalam posisi seperti ini. Menurutnya, Sean yang sudah kelewat cerewet ini dan tiba-tiba menjadi sosok yang pendiam terlihat sangatlah tidak pantas.     

Sean bergeming, ia sama sekali tidak berniat untuk membalas pertanyaan Erica sama sekali.     

"Sean?" Panggilnya kembali sambil menatap lekat Sean yang tengah berada di seberangnya. Mereka sudah berada di dalam jet pribadi yang di pinjam laki-laki itu. Ia merasa kesal karena semenjak ia menunjukkan pesan Orlin kepada Sean, pada saat itu juga dia terus menerus diam dan berbicara dengan seperlunya saja.     

Sean mengerjapkan kedua bola matanya. "Apa, sayang?" Tanyanya sambil memberikan seulas senyuman terbaik miliknya.     

"Kamu kenapa?"     

"Tidak, hanya kepikiran sesuatu saja."     

"Dan apa itu?"     

"Tidak, aku tidak ingin memberitahu mu. Aku takut jika firasat ku ini salah."     

"Memangnya apa?"     

"Bukan apa-apa."     

Kesal. Satu perasaan yang memenuhi relung hatinya saat ini. Memangnya siapa yang tidak kesal di diami selama berjam-jam? Ia rasanya ingin memaki Sean saja, tapi tidak bisa, terlalu membuang-buang tenaga dan juga waktu.     

"Terserah." Ucap Erica sambil menaruh gelas kembali ke atas meja. Ia menyandarkan tubuh, lalu memejamkan matanya. Lebih baik ia tidur saja, iyakan?     

Sedangkan Sean, laki-laki itu menatap cemas ke arah keluar jendela jet pribadi. Ia seperti sedang mengingat-ingat apa yang bisa membuat dirinya menjadi seperti ini. Satu hal yang terlintas di kepalanya, tapi ia menentang itu semua.     

Bingung dan bimbang adalah satu perasaan yang sama, namun beda artian. Bingung dipahami sebagai suatu ketidakmampuan untuk memilih, tetapi dalam level lebih rendah dibandingkan dengan bimbang. Dan ia seperti merasakan keduanya dalam satu waktu.     

"Erica?" Panggilnya sambil beranjak dari duduk, ia memilih untuk menghampiri gadisnya dan berdiri tepat di belakang kursi gadis itu. "Hei." Ucapnya kembali karena Erica tidak kunjung menghiraukan keberadaannya.     

"Maafkan aku." Ucap Sean melangkah mendekati Erica, ia berdiri tepat di samping gadis itu, lalu berjongkok supaya dapat melihat lebih jelas wajah gadisnya dari bawah.     

"Kalau tidak membuka mata, aku akan mencium mu." Ucap Sean lagi sambil meraih tangan kanan Erica, mengecup kecil punggung tangan gadisnya dengan sangat hangat.     

Mendengarkan hal itu, Erica langsung sama membuka matanya. "Sudah selesai mendiami diriku?!" Tanyanya dengan nada tinggi. Ia begitu kesal karena seperti mengajak ngobrol angin tanpa ada kalimat balasan.     

Sean terkekeh mendengar nada kesal yang di lontarkan Erica. Lalu ia sedikit mencondongkan tubuhnya, untuk memeluk tubuh mungil itu. "Nanti aku jelaskan jika sudah sampai di rumah." Ucapnya sambil mengecup pelan perut rata Erica.     

"Geli, Sean!" Ucap Erica sambil mendorong pelan wajah Sean supaya tidak terlalu dekat dengan perutnya.     

"Supaya kamu tertawa." Ucap Sean sambil mendongakkan kepalanya, menatap wajah Erica yang jauh terlihat lebih cantik dengan polesan make up.     

"Jangan bercanda, tidak lucu."     

"Memangnya siapa yang mengajakmu bercanda?"     

Skakmat. Kali ini Erica mengaku kalah dari Sean, ia mengalihkan perhatian ke arah manapun selain ke arah Sean. Baginya, kini laki-laki itu bukan hanya bertingkah aneh, namun juga sangat menyebalkan. Sudah mendiami dirinya, setelah itu menggoda dirinya dengan trik seperti ini.     

"Aku ingin tidur." Ucap Erica pada akhirnya. Ia sengaja belum menolehkan kepalanya pada wajah Sean, membiarkan laki-laki itu melihat rahang tirusnya dari bawah sana.     

Sean yang melihat itu hanya terkekeh geli, lalu berdiri tegak. "Bukankah sebentar lagi sampai?" Tanyanya dengan satu alis terangkat.     

"Memangnya tidak boleh?" Tanya Erica. Kali ini ia menolehkan kepalanya, membuat kedua manik matanya bertubrukan dengan mata dengan netra tegas milik Sean Xavon.     

"Boleh saja." Ucap Sean sambil mengedipkan sebelah matanya. Ia menatap lekat ke arah gadisnya, lalu tanpa aba-aba langsung saja mengangkat tubuh mungil itu untuk masuk ke dalam gendongannya.     

"SEAN, APA YANG KAMU LAKUKAN!" Teriak Erica, ia dengan gerakan refleks langsung saja mengalungkan kedua tangannya pada leher laki-laki itu. Ia seperti habis mengadakan senam jantung, terbukti dari degup jantungnya yang memompa cepat saat ini.     

Sean mengecup bibir Erica. "Berisik." Ucapnya sambil menampilkan senyuman miring. "Aku hanya tidak ingin kamu kelelahan berjalan ke kamar utama." Ucapnya yang mulai melangkahkan kaki menuju kamar utama yang terletak di bawah cockpit.     

Percuma saja jika Erica meronta minta di lepaskan dari gendongan Sean, kini ia lebih memilih untuk berdiam diri saja. Membiarkan laki-laki itu melakukan apa yang diinginkannya. Daripada tenaganya habis terkuras untuk meronta-ronta tidak jelas dan tidak membuah kan hasil, lebih baik ia menurut saja. Ah, Sean memang sangat pintar dalam membuat dirinya kalah, tidak berkutik, dan tidak mampu melawan.     

Akhirnya mereka sampai di salah satu ruangan yang di dominasi warna putih dan coklat. Terlihat sederhana, namun masih terdapat unsur elegan. Tadinya Erica terlihat biasa saja, tapi saat masuk lebih dalam ke ruangan kamar utama ini, kedua bola matanya berbinar bersamaan dengan decakan kagum yang keluar dari mulutnya.     

"Woah, keren." Gumam Erica.     

Sean menundukkan kepalanya, menatap wajah Erica yang terlihat sangat menggemaskan. Tidak ada wajah dingin lagi, semuanya berganti dengan decak kagum. "Apa kamu tidak pernah masuk ke dalam jet pribadi sebelumnya?" Tanyanya dengan heran. Tidak, bukan maksudnya ia menganggap Erica sebagai gadis yang berlebihan. Tapi mengingat bagaimana luasnya rumah gadis itu membuat dirinya penasaran tentang kehidupan Erica. Apa iya, rumah sebesar itu dengan banyaknya barang mewah di dalamnya, sang pemilik rumah tidak memiliki jet pribadi?     

Sean menaruh tubuh Erica dengan pelan di atas kasur yang empuk berukuran king size itu sambil melepas high heels yang berada di kaki gadisnya.     

Erica berdehem dengan wajahnya yang kembali dingin. "Aku tinggal sendiri di New York, hanya di tinggalkan dua buah mobil dan rumah ini." Ucapnya.     

"Memangnya kemana kedua orang tua mu?" Tanya Sean semakin penasaran dengan kehidupan Erica. Ia ikut menidurkan diri di samping gadis itu, tentu saja ia juga sudah melepaskan pantofel kulit yang seharian ini melekat pada kakinya.     

Erica menatap langit-langit atap jet dengan sorot mata menerawang, seperti tengah teringat pada kejadian masa lalunya     

Throwback     

Erica yang masih berusia tujuh belas tahun itu menatap kedua orangtuanya yang sedang berbincang suatu hal. Masing-masing ekspresi mereka menunjukkan kekhawatiran, tapi daddy-nya masih bersikeras dengan keputusannya.     

"Kamu ingin bagaimana?"     

"Erica butuh masa depan yang cerah."     

"Memangnya di Russia saja tidak cukup pendidikannya?"     

"Tidak, ia harus pergi ke negeri yang lebih maju."     

"Tapi--"     

Erica menghela napasnya. "Erica ikut dengan keputusan daddy saja, mommy. Aku tidak masalah menetap sendirian di New York." Ucapnya sambil memberikan sebuah senyuman kecil yang terlihat menyembunyikan kesedihannya. Memangnya siapa yang ingin di kirim ke negara lain pada umur yang bahkan belum genap delapan belas tahun?     

"Apa kamu siap? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada dirimu? Mommy khawatir."     

"Memangnya aku gadis yang payah?"     

Throwback off     

Erica tersenyum kecil saat mengingat jawabannya dulu sewaktu kecil. "Seluruh keluarga ku berada di Russia, aku di New York sendiri." Ucapnya sambil menolehkan kepala ke arah Sean. Terlihat laki-laki itu sedang menatapnya seperti meminta penjelasan lebih tentang ucapannya.     

"Sudahlah, lupakan saja." Ucap Erica sambil menarik selimut putih bersih itu, membuat tubuhnya dan juga Sean tenggelam di baliknya.     

Sean menaikkan sebelah alisnya. "Apa mereka tidak khawatir? Euhm maksud ku kamu kan seorang gadis remaja pada usia itu, apa kamu tidak takut."     

"Takut? Untuk apa? Hanya orang payah yang takut pada kejamnya dunia."     

"Kamu benar tidak takut?"     

"Tidak?"     

"Dengan apapun?"     

"Iya."     

"Bagaimana jika aku membunuhmu pada detik ini juga?" Tanya Sean sambil mengambil pistol berjenis Desert Eagle dari dalam saku jaketnya.     

//Fyi; Senjata buatan Israel ini sudah punya pamor yang mendunia akan kemampuan mematikannya. Mampu membuat obyeknya tertusuk dan meledak dan dilihat dari tampilannya sih sangat klasik, tapi pistol ini sangat ikonik dan keren. Desert Eagle yang sering disebut Deagle ini hanya memuat 7 peluru saja, padahal pistol biasanya mampu memuat 15 bahkan 20.//     

Erica menyunggingkan senyum miring, lalu menjulurkan lidahnya ke arah Sean yang tepat berada di sebelahnya. "Lakukan saja, aku tidak takut. Kalaupun kamu ingin membunuhku, sudah seharusnya dari kemarin kamu melakukannya." Ucapnya dengan nada meledek, tatapannya juga seperti merendahkan Sean.     

Mendengar hal itu, Sean menarik senyumnya ke atas. "Gadis yang pintar, dan ini gadisku."     

"Jangan berharap."     

"Kalau terwujud?"     

"Tidak akan." Ucap Erica sambil membalikkan tubuhnya, memunggungi Sean dan ia langsung saja memejamkan kedua matanya. Walaupun hanya mendapatkan waktu satu jam untuk tertidur, baginya itu tidak masalah. Ini lebih baik daripada dirinya kelelahan karena terlalu keras dalam beraktivitas.     

"I will get you, cold woman." Gumam Sean sambil menatap punggung Erica. Lekuk tubuh gadis itu terlihat sangat sempurna, seperti tidak pernah mengkonsumsi makanan dengan kalori yang tinggi.     

"I didn't hear it, weird man!" Pekik Erica dengan kesal. Sepertinya gadis ini masih menyimpan perasaan itu pada laki-laki ini. Memang Sean Xavon si pembunuh yang menyebalkan!     

Mendengar Erica yang menyahuti ucapannya, membuat ia terkekeh kecil. "Tidak baik menguping ucapan seseorang, gadis dingin."     

"Siapa yang menguping? Dasar terlalu percaya diri." Ucap Erica dengan mata yang masih terpejam.     

"I will prove it to you." Ucap Sean sambil mengulum sebuah senyuman. Ia memikirkan tentang peningkatan kinerja emosinya sejak gadis itu datang.     

"Up to you, i'm sleepy, Sean." Ucap Erica dengan malas. Ia benar-benar tidak ingin menghiraukan ucapan Sean, tapi laki-laki itu terlewat menyebalkan.     

"I'm trying to love you." Gumam Sean dengan nada sangat menggoda. Ia menarik tubuh Erica supaya lebih dekat dengan dirinya, masuk ke dalam dekapan yang mengahangat kan tubuh gadis itu.     

"SEAN, LEPASKAN AKU! KAMU LAMA-LAMA MENYEBALKAN DAN SUKA MERAYU!"     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.