My Coldest CEO

Enam puluh delapan



Enam puluh delapan

0Pada tengah malam ini, ruang kamar yang di dominasi dengan warna merah dan hitam itu terlihat sangat berantakan. Sudah hampir seluruh barang ia keluarkan dari tempatnya, tapi gadis itu belum juga menemukan apa yang ia cari.     

"Huh, kemana ya benda itu?"     

Ia mulai bergerak ke tempat lain, kali ini nakas dan laci menjadi tujuan dirinya. Ia mengeluarkan segala dokumen dari yang penting dan tidak penting dari dalam laci, lalu menaruhnya kembali kala tidak melihat tujuannya.     

"Kalau seperti ini, nanti pasti Tuan Vrans marah pada ku dan mungkin saja akan memecat ku? Oh tidak!" Ucapnya sambil mengusap wajahnya pelan. Ia terlihat kebingungan menatap kesana dan kesini.     

Gadis itu, siapa lagi kalau bukan Allea Liagrelya? Ia tadi dengan bodohnya menaruh asal flashdisk yang berisi pekerjannya saat di kantor tadi. Karena belum sempat terselesaikan, ia berpikiran untuk lembur di rumah saja. Namun dengan segala kecerobohan, ia lupa meletakkan benda itu dimana. Seingatnya ia setelah pulang dengan taxi sehabis berbelanja bersama Xena dan Orlin, ia langsung menuju ke kamarnya. Jadi sangat tidak mungkin jika flashdisk-nya berada di tempat lain.     

"Ayolah keajaiban, setidaknya bantu aku." Gumamnya sambil menggembungkan kedua pipinya. Bisa-bisa ia membuat kamarnya ini terlihat sebelas dua belas dengan bangkai kapal, alias benar-benar terlihat berantakan seperti tidak pernah di rapihkan.     

Karena benda yang ia cari tidak kunjung ditemukan, akhirnya dengan helaan napas Allea melempar tubuhnya ke atas kasur. "Sudah lelah tapi tidak membuahkan hasil, dasar Allea yang ceroboh." Ucapnya merutuki diri sendiri sambil memukul pelan kepalanya berkali-kali. Ia sudah kehabisan ide untuk berpikir dimana kira-kira flashdisk itu berada. Karena benda itu satu-satunya yang paling terpenting di dalam kehidupannya.     

Merasa tidak akan ketemu dengan apa yang ia cari, dengan segera Allea langsung saja menyambar ponsel yang bertepatan di samping badannya. Ia mulai menatap layar ponsel dengan harapan dapat merilekskan kinerja otaknya yang terpakai habis karena hal ini. Astaga, bahkan ia masih penasaran dimana letak flashdisk-nya itu?     

Sebenarnya ia tidak masalah untuk mengerjakan ulang dokumen menumpuk Luis Company itu, tapi yang membuat dirinya khawatir adalah sesuatu di dalamnya yang bernotabene sebagai privasi miliknya.     

Ting     

+1.... added you     

Allea menaikkan sebelah alisnya kala mendapatkan notifikasi seperti itu. Ia membuka aplikasi bertukar pesan, lalu disana sudah ada sebuah grup dengan 7 anggota dengan dirinya. Ia membaca setiap username yang ada disana, ternyata itu grup milik Xena. Dengan segera, ia mulai menamai seluruh kontak tersebut. Dari Xena, Orlin, Erica, bahkan ada tiga cowok bernama Vrans yang tentunya ia kenal karena laki-laki itu bernotabene sebagai atasannya di kantor, Ada yang bernama Niel, dan satu lagi bernama Sean. Sepertinya mereka sudah saling berpasangan, iya kan?     

Xena : Selamat datang ya Allea di grup yang paling gempar di seluruh Amerika Serikat.     

Orlin : Tidak perlu seperti itu, Xena. Sangat berlebihan.     

Erica : 2     

Xena : Apa nya yang 2 sih? @Erica     

Erica : itu siapa?     

Allea yang membaca itu langsung saja mengetikan beberapa rangkaian kata, untuk membalas ucapan Erica. Setidaknya itu terdengar lebih sopan.     

Allea : Aku karyawan staff baru di Luis Company, satu ruangan dengan Orlin     

Erica : Oh     

Dengan sebelah alis yang terangkat, ia menatap pesan singkat yang di balas Erica untuk dirinya. Apa gadis ini benar-benar sedingin itu sampai tidak tersentuh oleh siapapun?     

Allea : Belum pada tidur?     

Xena : Ini sudah ingin tertidur dengan bosayang, sampai jumpa ya semua, mimpiin aku!     

Orlin : Aku bahkan tidak ada waktu untuk mimpiin kamu, Xena.     

Vrans : Tidur @Xena     

Niel : Tidur @Orlin     

Sean : Tidur, gadis manis ku @Erica     

Ternyata tembakan Allea benar, mereka sudah berpasang-pasangan. Lalu mengapa dirinya masuk ke dalam grup mereka? Supaya iri melihat momen yang belum bisa ia rasakan saat ini?     

Dengan malas, ia langsung saja menaruh ponsel di saku celana miliknya. Memangnya apa alasannya ia membaca grup yang mungkin sekarang berisi perhatian kecil sang kekasih pada teman-teman barunya?     

Ah membahas tentang teman baru, ia jadi teringat sifat Erica yang seperti itu. Apa dirinya terlihat tidak seru saat di ajak bicara? Atau memang gadis itu benar-benar tidak tersentuh seperti apa yang di jelaskan Orlin sebelumnya?     

Astaga, ia menjadi tambah penat mengingat hal ini.     

Dengan gerakan malas, ia akhirnya memutuskan untuk turun dari kasur, dan melangkahkan kakinya keluar kamar. Tengah malam adalah waktu yang paling tepat untuk mengemil sesuatu yang manis, contohnya es krim atau mungkin camilan lainnya?     

Ia dengan pelan menuruni satu per satu anak tangga. Seluruh lampu di rumah ini di biarkan menyala di setiap sudutnya.     

"Nona belum tidur?"     

Allea menolehkan kepalanya ke sumber suara. "Astaga, kamu mengejutkan ku, Tamica." Ucapnya sambil menghembuskan napas seperti merasa lega jika suara itu bukanlah berasal dari sesuatu yang kini terlintas di pikirannya.     

Seorang gadis yang berumur tepat 25 tahun itu tersenyum kecil. "Maaf nona. Apa nona ingin dibuatkan makan malam?" Tanyanya sambil menghampiri Allea.     

Allea menggelengkan kepalanya, memberitahu Tamica jika ia menolak penawarannya. Tidak, bukan ia tidak sopan. Tapi siapa yang makan berat pada tegah malam seperti ini? "Membuang-buang waktu saja, lebih baik kamu tidur." Ucapnya sambil kembali melangkahkan kaki masuk ke area kitchen dan pergi menuju kulkas, tujuan utamanya turun ke lantai dasar.     

"Aku belum mengantuk." Ucap Tamica sambil menyandarkan dirinya di pembatas antara area kitchen dan pantry.     

Allea menaikkan sebelah alisnya. Tidak biasa seorang Tamica yang bernotabene sebagai maid yang paling akrab dengannya ini belum tertidur sampai larut malam. Pasalnya, gadis ini terlalu mudah mengantuk, tapi kenapa sekarang justru terlihat seperti terkena insomnia?     

"Memangnya kenapa? Ada masalah?" Tanya Allea menerka-nerka apa yang terjadi.     

Tamica terlihat menghembuskannya napasnya perlahan lalu memberikan Allea seulas senyum yang terlihat di paksakan. "Tidak ada, hanya gangguan tidur saja."     

"Apa orang tua mu meminta uang lagi?" Tanya Allea merasa belum puas dengan jawaban Tamica, ia cukup memiliki rasa empati pada seseorang yang sudah dekat dengannya.     

Tamica terkekeh kecil. "Come on, I don't have any problem." Ucapnya sambil kembali menegakkan tubuhnya. Ia membenarkan letak kunciran rambutnya yang turun, mengikat rambut menjadi satu membentuk seperti ekor kuda.     

"Baik, aku tidak akan memaksa. Jika masalahnya itu, aku bisa menggaji mu dengan nominal bonusan." Ucap Allea dengan seulas senyuman. Baginya, membantu Tamica adalah hal yang tergolong mulia.     

Tamica membelalakkan matanya, lalu dengan segera ia menggelengkan kepala. "Ah, tidak perlu nona. Satu bulan sepuluh juta saja sudah lebih dari cukup."     

"Benar?" Tanya Allea sambil menaikkan sebelah alisnya. Ia mulai menyipitkan mata, mencari keseriusan di dalam kedua manik mata gadis itu.     

"Iya, nona." Ucap Tamica sambil mengangguk mantap.     

"Ya sudah, aku naik ke atas lagi. Oh ya jangan lupa kamar ku yang satunya berantakan, tolong di rapihkan ya." Ucapnya sambil membawa beberapa bungkus camilan manis dan satu cup berukuran sedang yang berisi es krim.     

Allea melangkahkan kakinya setelah melihat Tamica menganggukkan kepalanya patuh. Ia berjalan menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamar yang berada tepat di seberang kamarnya.     

Ia memiliki dua kamar. Yang tadi ia buat kacau itu adalah kamar kedua, biasa ia gunakan jika sedang bekerja lembur menyelesaikan dokumen kantor. Di kamar itu terdapat fasilitas yang memadai, entah itu komputer sampai alat untuk foto copy ada di sana.     

Setelah berhasil membuka pintu kamar utamanya, ia langsung saja menguncinya kembali. Karena kamar ini, memiliki banyak barang yang tidak boleh di sentuh orang lain selain dirinya. Ia bahkan sampai membersihkan ruang kamarnya ini sendirian, tanpa bantuan siapapun.     

"Movie time." Gumamnya sambil menaruh seluruh camilan itu di atas tempat tidurnya. Ah iya, ia juga tidak lupa membawa satu botol air mineral berukuran sedang dan satu botol lagi berisi minuman soda.     

Dengan pakaian santainya, Allea mulai mendaratkan bokongnya di atas kasur king size. Duduk bersila sambil menatap lurus ke arah televisi yang kini sudah ia kendalikan dengan remote. Film bergenre romansa menjadi pilihannya saat ini. Biasanya ia akan menonton film bergenre action, tapi tidak untuk malam ini. Setelah menemukan film yang is cari, Allea mulai membuka bungkusan berwarna biru yang terdapat biskuit hitam dengan lapisan putih manis di tengahnya.     

Film The Fault in Our Stars menjadi pilihannya saat ini. Film yang bercerita tentang Hazel ( mengidap kanker ) yang jatuh cinta kepada Gus. Hazel merasa bahwa Gus amat mengerti dirinya. Sepertinya film ini sangat cocok untuk menemani malamnya, mengingat dirinya bosan melihat acara televisi yang menurutnya sangat membosankan.     

Drtt...     

Drtt...     

Allea berdecak sebal. Baru saja ia menonton film, ponselnya yang berada di saku celana bergetar menandakan masuknya panggilan telepon. Ia dengan cepat langsung mengambil ponselnya, merasa lebih baik menjawab panggilan tersebut daripada harus menundanya lagi.     

"Halo?" Ucap Allea saat menarik tombol hijaunya ke atas, menjawab panggilan telepon itu.     

"Allea belum tertidur?"     

"Kalau sudah, aku tidak akan menjawab panggilan telepon kamu, Xena." Ucap Allea sambil terkekeh, matanya masih menatap layar televisi walau kini perhatiannya juga harus mendengarkan seseorang yang berbicara di seberang sana.     

"Kalau begitu, yasudah."     

Allea menaikkan sebelah alisnya. "Terus kenapa kamu menelepon ku?"     

"Hanya iseng saja." Terdengar kekehan kecil dari seberang sana, hal itu membuat dirinya langsung menyunggingkan senyuman.     

"Aku ingin melanjutkan menonton film dulu ya." Ucap Allea sambil menggigit kecil di tepi bulatan biskuit tersebut.     

"Sampai jumpa besok ya!"     

Pip     

Panggilan sudah di matikan langsung dari seberang sana. Allea melempar asal ponsel ke belakang tubuhnya. Lalu dengan kembali mencari posisi nyaman, ia kembali memfokuskan tatapannya pada layar televisi dengan tenang. Sepertinya, ia akan tidur tepat pada jam 3 dini hari.     

Ia sudah terbiasa insomnia seperti ini karena otaknya terlalu banyak memikirkan kegiatan yang harus ia lakukan pada detik ini juga. Dan kini, ia sudah terhanyut pada film romansa yang popular ini sambil mengunyah camilan manisnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.