My Coldest CEO

Tujuh puluh satu



Tujuh puluh satu

0Erica kini sampai di kediaman rumah milik Sean Xavon. Ia tengah duduk di ruang televisi, menonton serial film bergenre action sambil menyesap coklat panas yang telat di buatkan Jeremy untuk dirinya. Saat ini, ia tengah merajuk kala Sean dengan seenaknya menyuruh supaya ia tidak masuk kerja terlebih dahulu karena ada yang ingin laki-laki itu bicarakan. Dan kini, ia sudah menunggu hampir dua jam, tapi Sean tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Sepertinya laki-laki itu tengah sibuk berlatih panah di ruangannya.     

Ia menghela napas, lalu menatap ke arah lantai dua tepat dimana ruangan merah hitam berada. Ia memutar kedua bola matanya. Oh ayolah, apa dirinya harus menyusul Sean supaya ini semua cepat selesai? Ia ingin pulang ke rumah, berendam di bathtub, lalu mengistirahatkan diri di kamar. Walaupun Sean mengatakan jika ia harus terbiasa menganggap rumah ini sebagai rumahnya, tapi tetap saja beda.     

Tidak mau ambil pusing, akhirnya Erica berjalan ke arah speaker kecil yang waktu awal pertama kali ia kesini, saat Sean berbicara padanya. Ia mengambil napas panjang, speaker ini menghubungkan ke setiap ruangan yang sering kali di pakai oleh laki-laki itu.     

Erica mengambil napas panjang. "YOU STILL WANT TO TRAIN ARROWS OR I'M GOING FROM HERE?!" Pekiknya dengan nada kesal sambil menghembuskan napasnya. Ia benar-benar sudah hilang kesabaran, rasanya ia ingin mendorong Sean ke jurang, itu lebih baik.     

Terdengar suara kekehan ringan dari speaker itu, ia tahu jika itu pasti suara Sean. "Tunggu sayang, aku akan segera ke bawah menghampiri dirimu." Ucapnya sambil memberikan sebuah nada kecupan ringan untung Erica, membuat cewek itu mendengus lalu berjalan kembali ke arah sofa yang sedaritadi menemani kebosanannya.     

Daripada dirinya terlarut dalam emosi, akhirnya Erica memilih untuk segera menyesap coklat hangatnya sampai habis. Rasa manis dan ciri khas coklat langsung menyapa dinding tenggorokannya, ini terasa lebih menenangkan jika di bandingkan dengan melihat wajah konyol dan tingkah laku aneh milik Sean.     

"Sudah menunggu lama?"     

Erica menatap sinis Sean yang kini sudah mendaratkan bokongnya di sofa, tepat di samping tubuhnya. Ia menaruh kembali cangkir yang berada di tangannya ke tempat semula, lalu mulai menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Menurut kamu?" Tanyanya dengan tatapan mematikannya. Sungguh, ia benar-benar dalam mode kesal.     

Sean yang melihat itu langsung saja terkekeh geli. "Kenapa kesal? Aku hanya berlatih panah. Dan itu hanya sebentar." Ucapnya sambil menyibakkan jambul ke belakang. Ia tersenyum manis, lalu mengecup singkat pipi kanan gadisnya.     

"Sebentar? Mungkin jika aku tidak menegur mu aku akan lumutan karena terlalu lama menunggu." Ucap Erica dengan dengusan kecil.     

"Maaf tadi busur panahnya tidak nyaman di pakai."     

"Jangan alasan."     

"Memangnya siapa yang beralasan?"     

"Kamu."     

Erica menurunkan silangan tangannya, lalu menyandarkan tubuh pada kepada sofa. Ia kini memusatkan perhatian pada layar televisi, tidak berniat untuk meladeni Sean yang tengah mengambil jemari tangannya lalu di kecup dengan sangat lembut. Ah, ia bukanlah gadis yang mudah luluh hanya karena diberi perlakuan manis.     

"Ayolah, aku minta maaf." Ucap Sean sambil menatap lekat wajah Erica dari samping. Namun gadis itu tetap bergeming tidak berniat untuk membalas ucapannya, atau pun memaafkan dirinya. Toh benar tadi ia berkali-kali mengganti busur panah karena tidak nyaman di genggaman tangannya membuat dirinya berkali-kali meleset tidak mencapai target sasaran.     

"Kalau gitu, aku akan mencium mu." Pada akhirnya, Sean mengucapkan kalimat itu hanya untuk mengancam Erica. Senyumnya mulai merekah kala melihat gadisnya menoleh ke arahnya, ah iya jangan pernah melupakan raut wajah yang terlewat dingin itu.     

"You are crazy!" Pekik Erica sambil menarik tangannya kembali supaya laki-laki itu tidak menciumi punggung tangannya terus menerus. Bagaimanapun juga, ia tetaplah gadis yang malu jika di ancam seperti itu. Lagipula memang dirinya jarang sekali berciuman dengan laki-laki, dan Sean adalah laki-laki yang paling sering mencium dirinya di sepanjang hidupnya.     

"Kalau aku gila karena kamu, itu tidak masalah." Ucap Sean sambil mengerling jahil, menaik turunkan alisnya seperti memang berniat untuk menggoda Erica. Oke, sekarang ia menjadi seorang laki-laki yang menyebalkan.     

"You are weird!"     

"Terus? Apalagi julukan untukku?"     

"Sudah, hanya gila dan aneh bercampur menjadi satu." Ucap Erica dengan sinis, ia mendorong bokongnya menjauhi jarak duduknya dengan Sean. Ia selalu waspada jika laki-laki itu selalu berbuat aneh-aneh pada dirinya, menyebalkan.     

Sean terkekeh geli, lalu dengan cepat mengambil pinggang ramping Erica, menyebabkan gadis itu kini sudah berada tepat di atas pangkuannya. "Mau kemana kamu? Kenapa menjauhiku?" Ucapnya sambil mencubit gemas hidung Erica.     

"Jangan bertindak tidak jelas." Ucap Erica sambil berusaha melepaskan diri dari Sean. Lihat, memangnya siapa yang tidak kesal jika berada di posisinya ini?     

Sean terus menerus mengikat diri Erica dengan pelukan kedua tangannya yang melingkari pinggang gadisnya. "Memangnya siapa yang tidak jelas? Aku jelas-jelas mulai menyukai mu." Ucapnya sambil mengecup singkat pipi kanan Erica.     

Mendengar ucapan Sean, Erica segera bertindak seolah-olah ia mual. "Tidak pantas pembunuh bayaran merayu." Ucapnya sambil memutar kedua bola matanya dengan malas. Ia heran dengan laki-laki ini, profesi dengan sifatnya benar-benar beda jauh. Hanya sama saat ingin membunuh dan menyiksa target sasarannya sana, di luar dari itu maka Sean akan bertingkah tidak jelas.     

"Pantas saja jika untuk dirimu." Ucap Sean sambil mengedipkan sebelah matanya pada Erica.     

Lagi dan lagi, Erica memutar kedua bola matanya dengan malas. Tidak ingin mendengar kalimat basa basi Sean, ia segera meninju kencang perut laki-laki itu.     

Bugh     

Sean meringis kecil. Walaupun tidak berada apapun bagi dirinya, tapi membuat Erica merasa menang dengan tindakannya, itu bukan masalah besar kan?     

"Awsh.. Kenapa kamu memukul ku?"     

"Pikir saja sendiri."     

"Karena kamu ingin aku segera menuntaskan ucapan tidak berbobot ini?"     

"Iya."     

"Dan segera mencium diri mu?"     

Erica menatap Sean dengan tajam. "Berbicara aneh sekali lagi, aku akan memukul mu lebih dari tadi."     

Pada detik itu juga, Sean tertawa terbahak. "Manis sekali gadisku ini." Ucapnya sambil menoel dagu Erica dengan senyum yang mengembang.     

"Berisik." Ucap Erica dengan mulut yang berdesis sinis. Ia selalu tidak memperdulikan Sean yang bersifat selalu menggodanya itu.     

Setelah puas bermain-main dengan Erica, Sean kini mulai mengangkat gadis itu untuk kembali duduk di samping dirinya. Ia sudah mengubah ekspresi wajahnya dengan raut yang lebih serius. Sedangkan Erica yang melihat perubahan itu rasanya ingin tertawa karena ayolah Sean lebih pantas dengan wajah konyol daripada wajah yang menegangkan seperti itu, tapi ia terlalu malas untuk menunjukkan tawanya, mungkin lain kali ia akan tertarik untuk menertawakan laki-laki itu.     

"Sepertinya ada seseorang yang mengincar Xena." Ucap Sean pada akhirnya. Ia menunjukkan sorot mata meyakinkan, terlebih lagi wajahnya kini tidak menunjukkan jika apa yang ia ucapkan ini sebuah kebohongan.     

Erica yang mendengar itu terkekeh kecil, hanya tiga detik saja. "Lucu, siapa kah dia?" Ucapnya dengan datar. Menurutnya, ucapan Sean benar-benar seperti seseorang yang tengah mengigau di dalam mimpinya. Ada orang yang ingin mengincar sahabatnya, lagi? Ah, sepertinya otak Sean sedang mengalami masalah. Karena, setahu ia, Xena tidak pernah menaruh dendam atau benci kepada orang lain yang membuat orang itu akan memberi perhitungan. Dan kini, Sean berbicara seperti itu? Membuat rongga dadanya geli.     

"Seharusnya kamu tidak tertawa." Ucap Sean sambil menghembuskan napasnya.     

"Lalu? Aku harus menangis?" Ucap Erica sambil menaikkan sebelah alisnya.     

Sean berdehem, pertanda ia menginterupsi keadaan membuat Erica pada detik itu juga langsung terdiam. "Aku mempunyai keahlian graphology. Saat kemarin kamu menunjukkan surat yang difoto oleh Orlin dan di kirimkan kepadamu, aku tahu siapa orang itu, Erica." Ucapnya sambil menganggukkan kepalanya, mencoba meyakinkan gadis di sampingnya ini.     

//Fyi; graphology adalah suatu ilmu yang mempelajari tulisan tangan untuk mengetahui kepribadian si penulis.//     

Erica menaikkan sebelah alisnya. "Keren." Ucapnya sambil sedikit berdecak kagum. Karena ayolah, tidak banyak orang yang mampu mempelajari ilmu itu, nahkan sangat sulit. Dan ternyata, Sean benar-benar memiliki segalanya dalam kehidupannya. Tapi sayang, laki-laki itu tidak berniat untuk bekerja yang lebih legal daripada menerima bayaran hasil membunuh seseorang. Padahal jika di tekuni lagi, mungkin Sean bisa menjadi laki-laki yang sukses, jauh lebih sukses daripada Damian. Mungkin?     

Sekarang, Sean yang memutar kedua bola matanya dengan kesal. "Bukan itu arah pembicaraan kita." Tegurnya saat mendengar sebuah kalimat pujian yang dilontarkan Erica untuk dirinya, sangat keluar dari topik pembicaraan saat ini.     

"Iya aku tahu, tapi itu keren." Ucap Erica yang masih dibuat kagum oleh keahlian Sean. Ia sama saja bertemu dan kenal dengan orang yang berbahaya sekaligus pintar dalam segala bidang. Apa ia harus merasa beruntung, atau sebaliknya? Tapi tetap saja sifat menyebalkan Sean membuat dirinya harus mengubur niat dalam-dalam untuk memuji lebih jauh laki-laki itu.     

Sean langsung saja mengambil ponsel milik Erica yang berada di atas meja, lalu membuka ruang pertukaran pesan antara gadisnya dengan Orlin. Ia kembali meneliti tulisan tangan itu, jika dirinya mungkin salah atau memang benar? Ia hanya ingin memastikannya lagi.     

Erica yang melihat itu hanya diam saja, menunggu kelanjutan dari Sean yang sudah memfokuskan titik pandangnya ke layar ponsel miliknya itu.     

Sean kini terlihat sedang meneliti surat itu dari segi tekanan pena, jarak huruf, dan masih banyak lagi tulisan yang mungkin menjadi ciri khas orang yang ia maksud saat ini.     

"So, what do you think, Mr. weirdo?" Tanya Erica sambil meniup ujung jemarinya dengan pelan, ia melihat raut wajah Sean yang sedang berpikir keras seperti tengah menerka-nerka apa yang ada di dalam otaknya saat ini.     

Kedua manik mata Sean berkilap, menunjukkan jika pada detik ini pemikirannya sudah tepat. "Hana Xavon." Gumamnya dengan nada sepelan mungkin, namun justru masih terdengar oleh indra pendengaran gadisnya itu.     

Pada detik itu juga, Erica langsung membelalakkan kedua matanya merasa sangat terkejut dengan apa yang diucapkan Sean barusan.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.