My Coldest CEO

Tujuh puluh dua



Tujuh puluh dua

0Orlin kini menyesap segelas jus semangka dengan sangat tenang, kedua sorot matanya terus menerus menatap ke arah bingkai foto yang terdapat hasil potret dirinya pada Niel. Tampan, itulah satu kalimat yang terlintas di benaknya ketika melihat wajah itu. Walaupun hasil potret-nya tidak sebagus yang ia bayangkan, tapi cukup memuaskan karena foto tidak kabur terlebih lagi buram tidak terlihat jelas.     

"Apa foto di bingkai itu kekasihmu?" Tanya Allea yang sedaritadi melihat ke arah Orlin yang tampak senyum-senyum sendiri melihat ke arah bingkai foto yang terdapat di atas meja kerja temannya itu. Ia pikir tadi Orlin sedang melihat film lucu di ponsel, tapi ternyata gadis itu hanya sibuk memandangi bingkai foto.     

Orlin menoleh ke arah Allea dengan senyuman yang masih merekah, namun sedetik kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Bukan." Ucapnya.     

Mendengar hal itu, Allea merasa kebingungan. Jika bukan kekasihnya, lalu mengapa Orlin sedari tadi menatap foto seorang laki-laki itu dengan hangat di tambah sorot mata penuh kecintaan?     

"Kalau bukan, lalu siapa?" Tanya Allea sambil menaikkan sebelah alisnya. Ia mengambil sebuah tisu yang berada di atas mejanya, ia sedang makan churros dan sepertinya saus coklat mengotori ujung bibirnya.     

//Fyi; Churro adalah sebuah makanan ringan berbahan dasar pastri dough goreng, biasanya choux. Churro adalah hidangan tradisional di Spanyol dan Portugal, dimana hidangan tersebut berasal, serta Filipina dan Ibero-Amerika.//     

Orlin terkekeh geli melihat raut wajah Allea. "Astaga, dia calon suami ku." Ucapnya sambil menopang dagu dengan tangan kanannya. Ia lagi-lagi membayangkan bagaimana kehidupan setelahnya saat sudah berhasil menjalin kasih dengan Nathaniel Gio Alvaro dalam status berumah tangga, apalagi mengingat baby yang sangat mungkin hadir di tengah mereka, hal itu membuat dirinya merasa ingin terbang sampai ujung langit.     

"Astaga, sama saja, Orlin." Ucap Allea sambil terkekeh kecil. Ia benar-benar merasa terhibur dengan gadis itu yang terlewat suka sekali menyampaikan apa yang ia pikirkan dengan teramat jujur dan hal itu memicu pada sifat polosnya.     

"Tidak sam--"     

Drtt...     

Drtt...     

"Tunggu sebentar." Ucap Orlin sambil mengambil ponselnya yang berada di atas meja tepat di samping laptop. Ia melirik siapa yang meneleponnya kali ini, disana terlihat nama Niel dengan emoticon love merah yang memenuhi layar ponselnya. Dalam detik itu juga, sebuah senyuman mulai kembali mengembang sempurna. "Niel menelpon ku!" Pekiknya sambil meninju tangan ke udara seperti sangat bahagia akan hal ini.     

Mengingat Niel yang sibuk, membuat laki-laki itu jarang sekali menelpon dengannya. Biasanya, jika ingin melepas rindu, salah satu dari mereka pasti berkunjung ke rumah. Tidak ada rasa gengsi yang tinggi, keduanya teramat pengertian.     

Allea yang melihat itu langsung tersenyum senang. "Really? pick up the call." Gumamnya.     

Orlin mengangguk, lalu segera mengangkat panggilan telpon tersebut. "Hai, do you miss me, huh?"     

Terdengar kekehan kecil di seberang sana. "What do you think?"     

Orlin terkekeh. "You miss me too, right?" Ucapnya sambil mengulum sebuah senyuman. Ia benar-benar merasa bahagia hanya dengan dering telpon dari kekasihnya ini.     

Lagi dan lagi terdengar suara kekehan di lengkapi dengan sebuah suara kecupan. "Iya, aku merasa merindukan mu pada detik ini dan detik selanjutnya. Bagaimana kalau nanti kita bertemu?"     

Mendengar hal itu, Orlin menahan pekikannya yang mungkin ingin segera meluncur saat ini juga. "ASTAGA? APA KAMU SERIUS?!"     

"Tentu saja." Balas Niel.     

Orlin mengembangkan senyumannya. "How about talking about marriage?" Tanyanya dengan nada sedikit rendah, rona merah tercetak jelas di pipinya, menjalar sampai ke telinga. Ia bahkan masih sangat tidak percaya jika ia sudah di lamar oleh seorang laki-laki yang ia cintai. Awalan pahit yang berbuah manis, takdir memang tahu apa yang terbaik.     

Sampai sekiranya Orlin larut dalam pembicaraan yang mulai membahas bagaimana konsep pernikahan mereka nanti sampai gaun seperti apa yang diinginkan olehnya.     

Allea beranjak dari kursi, lalu berpamitan tanpa suara kepada Orlin. Ia ingin mencati sesuatu di ruang kerja milik Xena, siapa tahu apa yang ia cari ada disana, kan? Mengingat kemarin dirinya dan Orlin yang menyusul Xena --untuk mengajak ke pusat perbelanjaan-- di ruang kerjanya karena gadis itu masih belum selesai dengan tumpukan dokumen. Beberapa karyawan mulai menyapa dirinya karena parasnya yang tidak dapat dipungkiri lagi itu tak ayal memang menjadi titik pusat semua orang, terlebih ia adalah karyawan baru, pasti menjadi pembicaraan hangat seisi kantor.     

"Selamat pagi, Nona Allea." Sapa salah satu karyawan disana yang berjalan berlawanan arah dengan dirinya sambil mengangkat beberapa sebuah kardus yang berisi mungkin ratusan dokumen dengan hal yang berbeda-beda.     

Allea tersenyum hangat sebagai tindakan sopan yang ia tunjukkan. "Hai, selamat pagi." Ucapnya, setelah merasa cukup dengan sapaan singkat barusan, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja milik Xena.     

Tok     

Tok     

Tok     

"Masuk."     

Allea menaikkan sebelah alisnya merasa suara seseorang yang berada di dalam sana berbeda dengan suara milik Xena. Ia membuka pintu ruang kerja itu, lalu mulai masuk ke dalam dan menutupnya kembali. Terlihat seorang gadis dengan pakaian yang terbilang tidak cukup feminim sudah duduk di kursi kerja yang memang bersebrangan dengan milik Xena.     

"Aku mencari Xena. Dimana dia?" Tanya Allea dengan ramah sambil mendaratkan bokongnya di sofa empuk yang berada di ruang kerja ini. Ia menyunggingkan senyuman manis mengingat gadis itu yang menatapnya dengan sangat dingin. Apa dia adalah seseorang yang diceritakan Orlin dan Xena kemarin?     

Gadis itu berdehem kecil, lalu mengikat rambutnya menjadi satu ke belakang. "Tidak tahu." Ucapnya.     

"Apa kamu Erica?" Tanya Allea merasakan atmosfer di sekitarnya yang sudah berubah menjadi canggung. Semua ini tercipta karena Erica menebarkan hawa dingin di dalam ruangan Xena.     

Erica mengangguk kecil. "Erica Vresila." Ucapnya seperti menambahkan nama panjangnya setelah Allea menyebut namanya. Ia menatap ke arah Allea dengan sangat lekat, seperti teringat sesuatu, tapi entah apa itu.     

"Nama ak--"     

"Allea Liagrelya, benar?" Ucap Erica memotong ucapan Allea yang bahkan belum tuntas.     

Allea kembali mengatupkan bibirnya, ia mengangguk kecil karena Erica mengucapkan namanya dengan benar. Biasanya, semua orang sangat sulit menyebutkan 'Liagrelye' dengan benar, kata mereka namanya terlampau sulit dan aneh saat di ucapkan.     

"Ah iya, apa kamu menemukan flashdisk milik ku disini? Berlambang huruf H besar." Ucap Allea sambil membinarkan kedua bola matanya ke arah Erica, ia benar-benar berharap jika benda itu setidaknya di temukan oleh Erica.     

Mendengar hal itu, Erica menggelengkan kepalanya. "Tidak." Ucapnya singkat, toh ia baru sampai ke kantor sekitar sepuluh menit yang lalu.     

"Ah, aku kehilangan benda itu." Ucap Allea sambil menghembuskan napas lelahnya, ia terlihat memijat pelipisnya yang terasa perih. Memang sepenting itu flashdisk dengan lambang H baginya.     

Erica menaikkan sebelah alisnya, "Penting?" Tanyanya dengan kedua bola mata yang hampir saja memutar, kebiasaan buruk yang harus ia hindari.     

Allea menganggukan kepalanya. "Tentu saja, Erica. Semua riwayat hidupku dan dokumen pekerjaan Luis Company berada disana, aku sangat frustasi." Ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya, ia terlihat menyandarkan tubuh di kepala sofa.     

"Sudah cari di rumah?" Tanya Erica.     

Allea menganggukkan kepalanya dengan lesu, senyumnya sudah tertekuk. "Sudah, tapi tidak ketemu. Aku berniat untuk melanjutkan pekerjaanku yang tertunda." Ucapnya sambil mengambil napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan.     

"Kenapa tidak diselesaikan saja di kantor?"     

"Tuan Vrans menyuruhku untuk pulang sesuai jam kerja, dan--"     

"Kamu lebih memilih main di pusat perbelanjaan?"     

Allea bergeming. Ia benar-benar tidak pernah bisa membalaskan kata-kata yang membuat dirinya 'skakmat' itu. Erica sangat pandai beradu mulut, terlebih lagi wajahnya yang mendukung itu membuat ia tidak akan pernah bisa terbantahkan.     

"Benarkah kamu tidak melihatnya?" Tanyanya kembali seolah-olah tidak yakin dengan ucapan Erica tadi yang mengatakan tidak melihat benda yang ia tanyakan tadi.     

"Tidak, Allea." Ucap Erica dengan nada datar. Kedua matanya kian menyipit, memperhatikan setiap sudut wajah dan beberapa hal familiar yang terdapat pada tubuh Allea.     

Pada detik itu juga, Allea bangkit dari duduknya lalu memberikan seulas senyum miring yang manis. "Kalau begitu, maaf mengganggu. Aku ingin kembali bekerja, sampai jumpa Erica." Ucapnya sambil melambaikan tangan ke arah Erica. Ia mulai melangkah menuju pintu, membuat kaki heels dan lantai kantor bertabrakan menghasilkan suara yang mengisi kehampaan di ruangan ini.     

"Allea."     

Merasa dirinya dipanggil, Allea kembali menoleh pada Erica, ia melihat gadis itu yang menyunggingkan seulas senyum pada dirinya, seperti sebuah senyum tulus kepada seorang teman.     

"Sampai jumpa, senang bertemu denganmu." Ucap Erica sambil kini sudah melambaikan tangan kembali pada dirinya.     

Allea tersentak kaget, namun detik berikutnya ia kembali tersenyum. "Senang bertemu dengan mu juga, Erica. Bye." Ucapnya sambil menganggukkan kepala lalu keluar dari ruangan Xena tanpa mendapatkan benda yang ia cari. Flashdisk kesayangannya yang berisi seluruh informasi.     

Di sisi lain, Erica langsung mendatarkan wajahnya kembali. Lalu ia meminum segelas jus jeruk dengan tenang, menyegarkan kembali dinding tenggorokannya yang sempat kering.     

"Dia.. mirip seseorang." Gumam Erica sambil menaruh kembali gelas jus itu ke atas meja. Ia menyunggingkan senyum miring lalu menghembuskan napas seperti penuh kepuasan. "Dan aku sudah memata-matai dirinya." Sambung Erica sambil tertawa kecil, ia bangga sifat Sean turun kepada dirinya untuk hal yang lebih positif daripada laki-laki itu.     

Tadi, saat ia memanggil nama Allea, dengan sengaja ia mengaktifkan robot serangga pengintai yang diberikan oleh D. Krack kemarin, ia berucap terimakasih yang sebesar-besarnya untuk laki-laki itu karena kini peralatan itu akhirnya berguna. Lalu robot itu langsung saja hinggap di kemeja dalam milik Allea. Ia hanya ingin membuktikan apa yang berada di pikirannya saat ini.     

Jika ia salah, yasudah. Tapi jika ia benar, ia tidak akan pernah membebaskan gadis yang di maksudnya saat ini dan seterusnya.     

"Kalau itu kamu, akan ku habisi. Tunggu sampai waktu yang tepat, karena aku dan Sean berada satu langkah lebih maju di bandingkan kamu, Hana Xavon." Ucap Erica sambil menggenggam erat flashdisk berlambang H itu dengan seulas senyuman miring. Lagipula nama Allea Liagrelya dengan lambang H? Apa tidak terdengar aneh dan mencurigakan?     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.