My Coldest CEO

Tujuh puluh tiga



Tujuh puluh tiga

0Throwback     

Kedua manik mata Sean berkilap, menunjukkan jika pada detik ini pemikirannya sudah tepat. "Hana Xavon." Gumamnya dengan nada sepelan mungkin, namun justru masih terdengar oleh indra pendengaran gadisnya itu.     

Pada detik itu juga, Erica langsung membelalakkan kedua matanya merasa sangat terkejut dengan apa yang diucapkan Sean barusan. "Jangan bercanda!" Ucapnya seakan-akan tidak percaya dengan apa yang diucapkan Sean barusan. Bagaimana tidak? Ia seperti mendengar kabar buruk, terlebih lagi mengingat nama yang di sebut laki-laki itu adalah seseorang yang telah tiada.     

Sean menggeram rendah, gadis di sampingnya ini sangat keras kepala saat di beritahu. "Kamu tidak percaya denganku?" Tanyanya dengan kilatan kesal yang terlihat jelas di kedua bola matanya.     

Erica mengangguk, lalu menguap seperti orang yang mengantuk. "Hoam, aku ingin tertidur." Ucapnya sambil bangkit dari duduk. Ia malas mendengarkan ucapan Sean yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa seseorang yang sudah tertembak pistol dan tewas di saat itu juga bisa hidup kembali dan selamat? Sangat aneh, bukan?     

Sepertinya Erica pintar dalam memberikan nama panggilan untuk Sean, Weird Assassin.     

Sean mengerling jahil, lalu ia bergerak cepat dan langsung menggendong gadisnya itu ala bridal style. "Mau kemana? Aku akan buktikan." Ucapnya sambil mengecup kening Erica dengan sangat lembut. Sedangkan gadis itu? Kini sudah memutar kedua bola matanya. Mungkin waktunya akan sedikit tersia-siakan karena laki-laki ini.     

Dengan cepat, Sean mulai menaiki tangga dengan kedua tangan yang menggendong tubuh Erica yang sama sekali tidak berat itu. Ia langsung saja memasuki ruangan merah hitam, lalu pintu selalu terkunci otomatis --jika ingin membuka pintu ini, tentunya harus bersama dengan Sean karena hanya laki-laki itu saja yang memiliki akses terhadap ruangan ini--.     

"Kamu tunggu disini ya, sayang." Ucap Sean sambil meletakkan tubuh Erica di atas sofa membuat gadis itu hanya mengangguk singkat tanpa berniat membalas ucapannya yang terlewat seenaknya.     

Sean melangkahkan kakinya menuju brangkas berwarna silver. Ia langsung saja memasukkan beberapa deret nomor yang hanya diketahui olehnya. Setelah terbuka, ia mencari sebuah berkas penting yang mungkin akan membuat Erica percaya dengan perkataannya.     

Sedangkan Erica, kini gadis itu tengah memainkan anakan rambutnya yang jatuh menjuntai ke bahunya. "Lama sekali." Ucapnya sambil menatap ke arah Sean dengan sorot mata yang sangat penasaran. Tidak ayal juga sedikit di dalam hatinya mempercayai ucapan laki-laki itu mengingat jasad Hana yang dibiarkan begitu saja di gudang tua waktu itu tanpa ada seorang pun yang berniat untuk memakami atau sekedar membawanya ke pihak rumah sakit untuk di identifikasi sebelum dikubur. Tapi ia tidak pernah percaya dengan seseorang yang bisa bangkit dari kematian, hal itu seperti sebuah kemustahilan baginya.     

Kembali lagi pada Sean, terlihat laki-laki itu yang masih sibuk membolak-balikkan tumpukan dokumen yang entahlah ia sendiri juga tidak mengingatnya. Ia hanya ingin mencari sebuah dokumen yang pernah masuk ke brangkas ini.     

"Gotcha!" Gumam Sean sambil menatap sebuah kertas yang berisikan sebuah kalimat persetanan yang sama sekali tidak pernah ia baca itu.     

Dengan segera, ia langsung menutup kembali brankas tersebut, lalu berjalan menuju Erica yang sudah menatap dirinya dengan alis yang terangkat sebelah. Sepertinya gadis itu menunggu pembuktian atas ucapannya tadi.     

"Baca." Ucap Sean sambil menyodorkan kertas tersebut ke hadapan Erica, ia yakin gadis ini sudah membaca surat sebelumnya saat di gedung tua waktu dirinya membuat permainan kecil untuk menjebak Xena dan juga Vrans, tapi tidak di sangka gadis manis yang kini berada dalam dekapannya ikut masuk kesana dan memecahkan segala kerumitan ruang bawah tanah itu dengan otak cerdasnya.     

Erica langsung menyambar kertas tersebut.     

:envelope:     

To my dear brother (and damn i lied about this too)     

I never care how much you hate me. And about me being my always-first self, I don't want that at all. Come on, I just love killing, don't like bullshit compliments. If you want to kill me, do it. I will accept whatever you do to me.     

Signed, Hana Xavon (Your sister who doesn't care how broken you are because of me)     

:envelope:     

//Terjemahan//     

:envelope:     

Untuk adik ku tersayang (dan sialnya aku juga berbohong dengan hal ini)     

Aku tidak pernah peduli seberapa rasa benci mu terhadapku. Dan tentang aku diriku yang selalu utama, aku sama sekali tidak menginginkan hal itu. Ayolah aku hanya senang membunuh, tidak suka dengan pujian yang berisi omong kosong. Jika kamu ingin membunuhku, lakukan. Aku akan menerima apapun yang kamu lakukan pada ku.     

Tertanda, Hana Xavon (Kakak mu yang tidak peduli seberapa hancurnya diri mu karena diriku)     

:envelope:     

Erica menaikkan sebelah alisnya, lalu mendongakkan kepala untuk menatap wajah Sean, terlihat rahang yang terpahat sempurna disana, tapi itu bukanlah sama sekali titik fokusnya saat ini. "Ini surat balasan untuk mu waktu aku terjebak di ruang bawah tanah?" Tanyanya.     

Sean menganggukkan kepala. "Iya, dan kamu pasti akan lebih terkejut lagi saat--"     

"Saat apa?" Tanya Erica memotong pembicaraan Sean yang bahkan belum selesai.     

Sean terkekeh. "Apa kamu menjadi tidak apa akan hal ini? Bukankah tadi kamu bilang kalau dirimu ingin tertidur?"     

"Ayolah Sean, berhenti bercanda."     

Sean berdehem, lalu mengubah ekspresi wajahnya menjadi sangat serius. Ia mengambil kertas yang sudah menguning yang berada di genggaman Erica, lalu menunjukkan pada gadis itu pada gaya tulisan yang di tulis menggunakan pena di kertas tersebut. "Lihat, aku tidak berbohong. Tulisan ini, sama dengan apa yang Orlin perlihatkan pada kamu." Ucapnya sambil menatap Erica, menunggu reaksi gadisnya setelah mendengar penjelasannya.     

"Aku ingin berangkat ke kantor, sekarang."     

Throwback off     

...     

"INI ADALAH HAL YANG PALING MENAKJUBKAN YANG PERNAH ADA DI HIDUP AKU!"     

Pekikan Xena menggelegar di setiap sudut ruangan kerja miliknya, ia menatap satu persatu wajah sahabatnya dengan sorot mata berbinar. Ia sedari tadi sudah lompat-lompat bahagia sambil memasukkan satu persatu kentang goreng ke dalam mulutnya.     

Mereka berempat berada di ruangan yang sama. Xena, Orlin, Erica, dan tentunya Allea, mereka tengah mendengarkan cerita Xena yang sedang merasakan perasaan bahagia. Erica dan Allea mendengarkan cerita gadis itu dengan tenang, tapi berbeda dengan Orlin yang terkadang memiliki satu sifat yang sama seperti Xena.     

"KAMU BERUNTUNG, SANGAT BERUNTUNG!" Pekik Orlin sambil memeluk senang tubuh Xena, kini mereka sibuk berpelukan sambil menggoyangkan tubuhnya mereka ke kanan da ke samping diiringi tawa yang meledak.     

Erica sedikit terkekeh melihat tingkah laku kedua sahabatnya itu, membuat Allea yang duduk di sebelahnya langsung menoleh ke arah gadis itu.     

"Kamu tidak ikut memeluk Xena?" Tanya Allea dengan sorot mata penasaran, walaupun jujur ia masih sedikit canggung jika berdua dengan gadis ini, tapi apa selamanya ia tidak ingin melawan rasa canggung itu supaya tetap menghangatkan suasana?     

Erica mengembalikan wajah datarnya, lalu menoleh ke arah Allea dengan senyuman simpul. "Tidak." Ucapnya dengan singkat. Memangnya kebahagiaan harus di tunjukkan? Menurutnya, bagi sebagian orang kebahagiaan itu cukup hanya di ketahui oleh dirinya sendiri dan beberapa orang terdekat saja, sisahnya lagi terkadang selalu berlebihan dalam menampilkan rasa bahagia di sosial media, justru hal itu tidaklah baik, bukan? Lebih baik diam-diam saja tapi rasa tulusnya tidak pernah terganti atau berubah. Sebuah prinsip yang sangat lah bagus.     

Allea semakin penasaran dengan kehidupan Erica, apa iya gadis itu selalu irit berbicara dan terkesan sangat datar tanpa ekspresi?     

"Memangnya kenapa?"     

Kali ini, Erica menyunggingkan senyum miring. "Apa masalahnya dengan hal ini?" Tanyanya dengan nada pelan, namun terdengar seperti mengintimidasi. Belum dekat terlalu lama saja sudah bertanya banyak hal yang membuat dirinya sama sekali tidak nyaman.     

Pada detik itu juga, Allea membungkam mulutnya merasa bingung harus membalas ucapan Erica dengan jawaban apa. "Euhm, tidak." Ucapnya pada akhirnya. Ia juga tidak enak jika tidak menjawab pertanyaan yang terkesan terlalu menghujam itu.     

Erica hanya mengangguk singkat, lalu mengalihkan pandangannya pada Xena dan Orlin yang kini sudah ber tos ria dengan tawa khas mereka masing-masing.     

"Kamu tidak iri?"     

Erica dengan perasaan sedikit jengkel mulai mengarahkan kembali pandangannya ke Allea. Ia masih mempertahankan wajah dinginnya itu. "Tidak, untuk apa?" Ucapnya yang diakhiri dengan hembusan napas pelan, pertanda mengalihkan hatinya supaya tidak terlalu jengkel dengan gadis yang berada di sampingnya ini.     

Allea mengangkat bahunya. "Siapa tahu kedekatan mereka berdua membuat kamu merasa tersaingi." Ucapnya seperti menebak-nebak perasaan yang mungkin bisa jadi hinggap di hati Erica tanpa gadis itu sadari.     

Baiklah, sepertinya Erica bukan tidak suka dengan topik pembicaraan yang di bawa oleh Allea ini. Tapi ia tidak suka ketika seseorang mulai sok tahu dengan apa yang terjadi di hidupnya. "Biasa saja.' Ucapnya. Hanya kalimat singkat itu saja. Ingin sekali berbicara banyak untuk menentang ucapan Allea, tapi dirinya terlampau malas dan merasa jika ini bukanlah hak penting yang patut di bahas lebih lanjut lagi.     

"Tapi--"     

"Berusaha membagi pikiranku?"     

"Ah? Tidak, siapa yang berpikiran seperti itu?"     

Sedari tadi mereka berbisik-bisik sehingga tidak mungkin Xena dan Orlin mendengarkan percakapan mereka, terlebih lagi kedua gadis itu masih heboh dengan topik awal yang di bawa oleh Xena. Memangnya topik apalagi yang membuat mereka seperti itu selain membahas pernikahan yang akan berlangsung sebentar lagi?     

Erica menatap tajam ke arah Allea, lalu mengambil sebuah kacamata fashionable yang telah dirancang khusus oleh D. Krack sama seperti layaknya spy camera sport sunglasses. Hanya ada satu di dunia, dan itu diberikan pada dirinya. "Berhentilah bertanya hal tidak penting." Ucapnya sambil berpura-pura menaruh anakan rambut ke belakang telinganya, padahal ia sedang mengaktifkan password sidik jari tepat di gagang kacamata itu.     

Terlihat robot pengintai berbentuk serangga yang tadi pagi ia arahkan untuk tetap stay di kemeja Allea, dan robot itu masih ada disana, merekat pada kerah kemeja bagian belakang gadis itu.     

"Maafkan aku." Ucap Allea sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia memusatkan kembali perhatiannya pada Xena dan Orlin yang ternyata sudah berjalan mendekat ke arahnya dan juga Erica.     

"Kalian sedang membicarakan apa?" Tanya Xena dan Orlin dengan kompak, mereka seperti bingung dengan atmosfer yang terasa canggung di antara Allea dan juga Erica.     

Allea melirik Erica, gadis itu tampang biasa-biasa saja tanpa menjawab pertanyaan kedua sahabatnya.     

"Kita hanya bertukar cerita tentang apa saja ketentuan yang berlaku di Luis Company." Ucapnya sambil memberikan seulas senyuman yang terlihat manis.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.