My Coldest CEO

Tujuh puluh empat



Tujuh puluh empat

0Vrans menatap surat yang tadi ia temukan di lantai tadi pagi dengan sorot mata gelisah. Bagaimana jika surat yang mengarah seperti ancaman itu berdampak buruk pada hidup gadisnya lagi? Ia benar-benar tidak ingin kehilangan Xena dan merasa gagal yang ke sekian untuk gadisnya itu. Xena selalu menjadi tanggung jawab dirinya, sampai kapanpun.     

Dengan mata yang lelah karena hampir 3 jam tanpa henti menatap layar laptop, akhirnya ia segera merenggangkan kedua tangannya, merasakan tulangnya yang kian terasa remuk seperti ingin lepas dari tempatnya, oke ini berlebihan.     

Ia menatap layar ponselnya, lalu membuka ruang pesan dirinya dengan Xena. Ia ingin berpamitan untuk keluar gedung, ada janji dengan client dari perusahaan lain. Ia ingin menghampiri ke ruang kerja Xena, tapi mengingat pasti gadis itu tengah mengobrol dengan beberapa sahabatnya membuat ia mengurungkan niatnya. Ia masih paham jika Xena, memiliki waktu untuk bersama mereka, tidak hanya untuk dirinya.     

Setelah mengirimi sebuah pesan singkat, ia mulia bangkit dari duduknya dan langsung menutup layar laptopnya. Tidak lupa juga, ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu mulai berjalan keluar dari ruang kerjanya.     

"Selamat siang, Tuan Vrans." Sapa salah satu karyawan wanita yang tengah membawa sebuah dokumen. Tampak ia tersenyum manis, lalu menganggukkan kepalanya dengan sopan kepada atasannya itu.     

Vrans hanya menyunggingkan seulas senyuman. "Siang." Ucapnya, lalu kembali melanjutkan langkahnya tidak ingin tahu lebih lanjut bagaimana ekspresi bahagia dari wanita yang tadi di sapa balik olehnya. Karena pada dasarnya, ia tidak pernah menyapa mereka, hanya tersenyum lalu pergi. Namun berkat Xena, ia mulai harus membiasakan diri menjadi atasan yang ramah. Tapi astaga, hal itu sangat sulit baginya.     

Menebar sebuah senyuman untuk banyak orang bukanlah hobi dia sama sekali bahkan jika disuruh memilih, ia akan tetap menampilkan wajah dingin tanpa ekspresi ini. Tapi demi Xena yang selalu mengingatkan dirinya berkali-kali dan juga karena rasa sayang pada gadis itu, membuat dirinya berpikir seperti 'lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.'     

Vrans mulai memasuki lift, dan mengarahkan lift tersebut langsung ke basement tempat mobilnya berada. Basement khusus yang hanya berisi mobil orang-orang dengan jabatan tinggi di perusahaan ini saja. Memang terlihat seperti membedakan derajat, tapi apa salahnya memberikan tempat khusus bagi orang yang sudah bekerja dengan sungguh-sungguh sampai berada di posisi ini?     

Dengan cepat, ia langsung masuk ke dalam mobil yang baru di belinya tiga hari yang lalu bermodel Koenigsegg CCXR Trevita yang terkenal sangat mendunia ini.     

//Fyi; Koenisegg CCXR Trevita yang dibanderol dengan harga cukup fantastis, yakni 67 milyar rupiah. Dengan harga yang begitu mahal tentunya mobil ini memiliki segudang keunggulan dan fitur berteknologi canggih didalamnya.//     

Ia mulai melajukan mobilnya, memakai kartu nama untuk membuka akses keluar basement. Tanpa kartu itu, ia tidak akan bisa masuk ke Luis Company karena seluruh sistem operasi kerja di sini menggunakan kartu yang sudah terdaftar dengan canggih untuk menjamin keamanan.     

Matanya menoleh kala melihat satu foto seorang gadis berada di dalam mobilnya, tertempel jelas di atas dashboard mobil.     

Dengan penasaran, ia menghentikan mobilnya tepat di tepi halaman Luis Company, lalu mengambil segera foto itu dengan satu alis yang terangkat.     

Satu foto Xena Carleta Anderson dengan tinta merah yang melingkari wajah gadis itu. Ia membalik foto tersebut melihat ke sisi putih belakang. Matanya kian membelalak kala melihat tulisan dengan tinta hitam disana.     

'My assassination target.'     

Tulisan itu, sama persis dengan tulisan pada berada di surat yang ia temukan tadi. Kini ekspresi wajah Vrans kembali berubah menjadi datar. Di sana ia juga melihat sebuah simbol kucing hitam, yang biasanya melambangkan kesialan di sebagian negara atau bisa jadi lambang tersebut adalah simbol ciri khas seseorang yang menaruh ini pada mobil Vrans?     

Tapi, bagaimana caranya jika mobil ini sedaritadi di kunci yang artian tidak ada yang bisa masuk kedalam sana jika tidak memiliki kunci mobil miliknya? Bahkan jika tidak bisa di buka, pasti tentu saja mobil ini sudah di paksa terbuka pada bagian kuncinya. Tapi tadi mobilnya ini dalam kondisi baik-baik saja tanpa ada yang rusak sedikitpun.     

Berbagai pertanyaan mulai muncul di benaknya membuat kepala Vrans terasa pening. Ia ingin sekali mencari tahu akan hal ini, tapi sepertinya waktu mulai terkikis kala ia mengingat pertemuan yang harus ia hadiri dengan salah satu client-nya sambil makan siang bersama dan tidak bisa di batalkan begitu saja.     

"Hopefully not a bad thing." Gumamnya menghela napas lelah sambil menaruh foto itu ke dalam saku tuxedo-nya. Ia mulai melajukan mobilnya kembali, meninggalkan Luis Company dengan perasaan yang cukup gelisah.     

...     

Saat ini Erica berada di toilet wanita. Gadis itu tadi berpamitan pada Xena, Orlin, dan juga Allea untuk membuang air kecil. Tapi sekarang, ia justru melepaskan kacamata yang tadi ia pakai, lalu menaruhnya kembali dengan hati-hati di balik jas kerja formal miliknya.     

"The killer will forever kill." Gumamnya sambil tersenyum miring. Kata-kata itu ia dapatkan dari Sean. Semua ia pelajari dari laki-laki itu tentang bagaimana sistematis seorang pembunuh bayaran sampai hal apa saja yang berlaku dan berdampak pada kehidupannya. Walaupun ia sudah memberikan sebuah perjanjian konyol mengenai Sean yang harus bekerja sebagai sekretaris di Luis Company, tak ayal pula pasti laki-laki itu akan tetap pada profesinya yang memang sebagai 'pembunuh bayaran.'     

Ia menjadi sedikit cemas kalau memang Hana Xavon bangkit dari kematian, lebih bahaya lagi jika gadis itu tidak pernah meninggalkan dunia. Kalau Hana memang selama ini hidup, pasti dia sudah mempersiapkan hal yang lebih berbahaya dari pada dulu. Dan kini, kalau jika benar seorang Allea Liagrelya adalah Hana Xavon seperti apa yang ia bayangkan. Sudah pasti jika kini dirinya sudah berada di posisi selangkah lebih maju.     

Tapi anehnya lagi, ia tidak merasa sifat Allea sama dengan Hana. Gadis itu jauh lebih bawel jika di bandingkan dengan Hana yang dingin dengan sorot mata tajam yang mengintimidasi. Semuanya seperti berbanding terbalik 180 derajat. Yang membuatnya meyakinkan adalah salah satu flashdisk dengan lambang H dan senyuman Allea yang terlihat sama persis dengan milik Hana.     

Mengingat tentang flashdisk, Erica merogoh saku jasnya lalu menatap benda pipih itu yang sudah berada di tangannya. Ia menatap setiap rincian flashdisk itu. Hanya flashdisk biasa, namun di beri logo sendiri dengan huruf H di tengahnya.     

"What's stored here? Why did Allea really want it back if it only contained documents and personal data?" Gumamnya saat menatap heran benda yang berada di tangannya itu. Memang data diri seperti apa yang di sembunyikan oleh Allea? Baiklah sepertinya nanti setelah pulang dari kantor ia harus segera membicarakan hal ini pada Sean.     

Dengan cepat, Erica kembali memasukkan flashdisk tersebut ke saku jasnya lalu beralih mengambil ponselnya. Ia ingin menghubungi Sean.     

Dering pertama tidak ada jawaban, sampai dering kelima lamanya. Ia berdecak kesal karena pasti laki-laki ini sedang menjalankan apa yang menjadi pekerjaannya selama ini. Menyebalkan. Berarti ia dekat dengan seorang pembunuh, iya kan?     

Erica berdecak kesal, sekali lagi panggilan telpon dari dirinya tidak di angkat, ia akan segera kembaki ke ruang kerja milik Xena.     

"Halo, sayangku. Ada apa?" Sapa Sean di seberang sana.     

Erica memutar kedua bola matanya. "Habis darimana saja?" Tanyanya dengan nada sangat datar. Disaat seperti ini, ia hanya ingin mengatakan hal penting takut dirinya lupa jika ditunda-tunda.     

Terdengar kekehan kecil dari seberang sana. "Membunuh, memangnya apalagi?" Ucap Sean dengan sangat enteng. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan dirinya, hal ini membuat Sean tidak pernah berpikir dua kali jika dirinya telah membunuh seseorang pada Erica.     

"Bisa luangkan waktu nanti sore?" Tanya Erica langsung ke inti pembicaraan. Ia tidak ingin mendengar kalimat basa basi yang di luncurkan Sean lebih jauh lagi, laki-laki cerewet yang mempunyai segudang topik pembicaraan.     

"Nanti sore?" Tanya Sean mengulang apa yang ditanyakan Erica tadi.     

"Iya." Jawab Erica dengan singkat.     

"Sepertinya tidak bisa." Terdengar suara tembakan peluru dari seberang sana, membuat Erica mau tidak mau harus menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga.     

"Yasudah, aku tidak masalah." Ucap Erica yang hendak mematikan sambungan telepon itu.     

"I mean, I can't refuse it." Ucap Sean sambil terkekeh seperti menertawakan apa yang menurutnya lucu saat ini.     

Mendengar hal itu, Erica memutar kedua bola matanya. Lihat, laki-laki ini sangatlah aneh, bukan? Bayangkan saja apa yang akan terjadi jika laki-laki itu terus menerus bertindak konyol seperti itu di setiap harinya, sudah pasti Erica akan menjadi sosok yang cerewet dan banyak protes.     

"Haha you are so funny." Ucap Erica sambil tertawa datar dan tentunya nada bicaranya juga sangat tidak mendukung untuk mendeskripsikan kalimat 'funny' yang ia katakan.     

"Jadi, aku jemput kamu jam empat sore." Ucap Sean, terdengar lagi suara tembakan dari seberang sana. Sepertinya setelah membunuh target sasaran, laki-laki itu tengah berlatih tembak bersama seseorang. Mungkin D. Krack?     

Erica berdecak malas saat mendengar ucapan Sean. Ia bisa naik taxi atau kendaraan umum lainnya. "Aku tidak meminta untuk dijemput oleh mu." Ucapnya.     

"Tapi aku juga tidak meminta mu untuk menolak tawaran ku. Lagipula aku ingin kamu selamat sampai tujuan." Ucap Sean. Jika boleh menebaknya, pasti laki-laki itu kini tengah berkedip menggoda ke arah dirinya. Hal yang membuat Erica kesal selain tingkah aneh Sean adalah sifatnya yang terlewat romantis, membuat gadis ini merasa rongga dadanya menjadi geli.     

Baiklah, berbicara dengan Sean sepertinya tidak akan pernah ada ujungnya dan juga ia masih memiliki beberapa tumpuk pekerjaan. Ia akhirnya memutar kedua bola matanya, lalu mengembuskan napas. "Oke jam empat tepat di depan Luis Company." Ucapnya dengan datar.     

Pip     

Erica mematikan sambungan telepon secara sepihak tanpa mendengarkan balasan dari Sean. Ia kembali memasukkan ponsel ka dalam saku. Lalu berjalan ke arah cermin besar yang memperlihatkan penampilan dirinya yang terbilang cukup tomboi karena bukannya memakai rok formal ia justru memakai celana panjang hitam.     

Sebagai sentuhan akhir, ia mencuci tangan di wastafel supaya terlihat seperti seseorang yang habis masuk ke dalam bilik kamar mandi. Setelah itu, ia berjalan keluar toilet.     

"But, assassin doesn't mean it can't be killed, right?" Gumam Erica sambil menaruh anak rambutnya ke belakang telinga. Suara dari high heels yang beradu dengan lantai memenuhi setiap sudut lorong.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.