My Coldest CEO

Tujuh puluh lima



Tujuh puluh lima

0Sean menatap layar ponselnya dengan kekehan kecil, ia kembali menaruh asal ponselnya itu, lalu berjalan mendekati D. Krack yang tengah memeriksa kestabilan berbagai macam pistol miliknya. Tampak laki-laki itu tengah mengarahkan ujung pistolnya ke salah satu boneka target sasaran.     

Dor     

Gotcha!     

Pistol itu masih berfungsi dengan baik, Sean mengangkat senyum miringnya. "Semuanya masih dalam keadaan bagus." Ucapnya sambil menatap beberapa buah pistol yang berbaris di atas meja. Ia jarang sekali memakai pistol itu untuk membunuh target sasaran. Hanya pistol yang menurutnya nyaman saja, selainnya ia lebih memilih untuk menjadikannya sebagai hiasan lemari.     

D. Krack menaikkan sebelah alisnya dengan gaya keren. Lalu terkekeh kecil. "Untuk apa tidak dipakai? Masalah nyaman tidak nyaman?" Tanyanya yang sudah sangat paham dengan sifat Sean. Ia menaruh kembali pistol yang berada di genggamannya barusan, lalu menghela napas. Ternyata mengecek seluruh kinerja tiga puluh pistol sekaligus sangat membuang-buang tenaga.     

Sean menganggukkan kepalanya, setuju dengan apa yang diucapkan D. Krack. "Aku nanti ingin menjemput kekasih ku." Ucapnya sambil melempar tubuhnya di atas sofa, ia menaikkan kedua kakinya ke tepi sofa lalu matanya fokus menatap langit-langit ruangan latihan tembak miliknya ini.     

"Kekasih? Apa Erica sudah resmi menjadi kekasihmu?"     

Sean bergeming saat D. Krack menanyakan hal itu pada dirinya. Ia mengusap pelan wajahnya, merasa bingung harus menjawab pertanyaan laki-laki itu dengan jawaban apa. Jujur saja, ia memang tertarik pada sifat Erica yang tidak seperti gadis yang pernah ia lihat sebelumnya. Pikirannya sudah tertanam jika semua gadis memiliki sifat yang sama persis dengan Xena. Berisik, cerewet, tingkat percaya diri yang tinggi, kekanak-kanakan, bahkan terkesan manja dan banyak mau. Tapi ternyata durinya salah.     

Erica, gadis yang mampu bertahan hadir di hidupnya tanpa meminta apapun. Biasanya banyak gadis akan meminta barang mewah, bahkan mungkin menuntut untuk selalu ada. Tapi dengan gadisnya ini, ia menjadi sadar jika tidak semua gadis memiliki sifat yang sama.     

Ia nyaman dengan Erica. Tapi soal perasaan, rasanya sungguh aneh ketika ia melemparkan sebuah senyum dan candaan ringan terhadap gadis itu. Apalagi wajah datarnya yang tahan banting dan tidak mudah tergoda, astaga membuat dirinya ingin membawa gadis itu untuk masuk lebih dalam ke kehidupannya.     

"Kamu boleh mempermainkan target sasaran, tapi tidak dengan hati." Ucap D. Krack sambil mengambil kembali pistol selanjutnya, ia ternyata masih belum puas mengetes tingkat kestabilan pistol-pistol ini.     

Sean berdecak. "Tau apa kamu tentang cinta?" Tanyanya sambil tertawa remeh saat mendengar ucapan D. Krack yang menurutnya terlalu tinggi itu. Ia bahkan tidak pernah melihat D. Krack bersama dengan gadis lain. Bahkan mengirimi teks singkat untuk seorang gadis pun tidak pernah. Ia menertawakan orang-orang yang selalu menasihati tentang cinta, tapi mereka tidak pernah merasakan apa arti cinta yang sesungguhnya.     

D. Krack terkekeh seperti sedang menertawakan nasibnya yang bahkan terasa lebih pahit dari apapun, karena sudah sejauh ini tapi ia tidak pernah ada niatan untuk dekat dengan banyak wanita. Tidak, ia bukan tidak menyukai mereka. Tapi, membunuh dan melakukan kegiatan kriminal lainnya terasa lebih penting dari segala aspek yang berada di dunia ini.     

Bahkan ia pun sudah tidak pulang ke rumah keluarganya, karena ia sudah tidak punya alasan untuk pulang kesana. Lagipula, untuk apa pulang jika kedua orang tua mu telah tiada? Sekiranya, itulah yang ia pikirkan. Apalagi hidupnya yang banyak catatan kepolisian, sudah pasti keluarga besarnya sudah menolak kehadirannya.     

Lagipula, ia tidak butuh siapa-siapa. Seorang D. Krack dengan mudahnya mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa bantuan dari siapapun.     

Mencuri berlian, mencuri sekitar 10 miliar uang di salah satu bank terbesar di Amerika, membunuh sudah hampir beratus-ratus orang, masuk penjara dan keluar dengan mudah tanpa bantuan orang satu pun, dan ia juga memiliki akses pasar gelap yang bisa membuat dirinya menjadi sekaya ini. Lalu, kurang apa di hidupnya? Ia sudah berpikir jika hidupnya sudah sangatlah sempurna walau tanpa cinta sedikit pun.     

DOR     

DOR     

D. Krack menyunggingkan seulas senyuman merasa puas dengan hasil tembaknya yang tepat sasaran. Sama seperti Sean, ia juga ahli tembak. "Cinta hanya membuat lemah." Ucapnya sambil mengganti pistol di tangannya dengan pistol lain. Sebelumnya, ia menoleh ke arah Sean yang kini tengah memijat pelipisnya. Baru kali ini ia melihat laki-laki itu merasa kebimbangan yang seperti tidak memiliki jawaban. Jadi, benar kan tentang cinta yang membuat orang lemah?     

"Kamu tidak mengerti," Ucap Sean sambil beranjak dari sofa, ia menatap D. Krack dengan smirk yang menghiasi wajah tampannya. "Bagaimana kalau kita duel?" Tanyanya sambil berjalan mendekati laki-laki itu, lalu mengambil sebuah pistol bermodelkan Smith & Wesson 500 Magnum sebagai andalannya kali ini. Biasanya ia akan memakai pistol Desert Eagle atau Colt 1911. Mencoba suatu yang baru bukanlah hal buruk, iya kan? Justru menambah pengalaman dan memberikan kesan pertama dalam pemakaiannya.     

//Fyi; Smith & Wesson 500 Magnum adalah pistol yang paling mematikan di dunia. Hal tersebut dikarenakan moncongnya yang lebih panjang dari revolver biasa. Sehingga menawarkan akurasi yang hebat. Kemampuan ini juga didukung oleh kecepatan pelurunya yang bisa menembus angka 2.075 kaki per detiknya.//     

D. Krack menyunggingkan senyumnya. "Taruhan?"     

Sean menganggukkan kepalanya. "Tentu saja."     

"Kalau begitu, ayo lakukan duel ini."     

...     

Allea menatap Erica yang baru masuk ke dalam ruangan kerja Xena. Gadis itu tampak lebih segar daripada tadi, mungkin ia cuci muka atau melakukan hal yang sekiranya bisa membuatnya segar kembali. Astaga, kenapa ia menjadi memikirkan hal itu?     

"Erica." Panggilannya sambil melambaikan tangan ke arah Erica supaya gadis itu kembali duduk di sampingnya. Bagaimanapun juga, ia harus membiasakan diri dengan sifat dingin yang menyeruak kental memenuhi atmosfer ruangan. Ia tidak ingin terus-terusan merasa canggung dengan Erica, mungkin berbagi cerita adalah ide yang bagus?     

Ia melihat Erica yang mulai berjalan ke arahnya, lalu kembali menempati posisi yang tadi gadis itu duduki. "Sudah buang air kecilnya?" Tanyanya. Walaupun pertanyaan itu terkesan aneh, tapi ia harus tetap membangkitkan suasana, iya kan?     

Erica menganggukkan kepalanya. Lalu menatap sekitar ruangan yang hanya ada dirinya dan Allea saja, dan ia baru sadar akan hal itu. "Kemana perginya Xena dan Orlin?" Tanyanya dengan penasaran. Perasaannya, ia baru saja pergi ke toilet tidak ada sepuluh menit, tapi kedua sahabatnya itu sudah menghilang begitu saja dan menyisahkan dirinya bersama orang yang belum kenal dirinya lebih jauh.     

Allea yang hendak meraih segelas hot chocolate yang tadi di bawakan oleh seorang bartender ke dalam ruangan ini sesuai dengan permintaannya. "Eh? Mereka tadi keluar, katanya ingin membeli makanan siap saji." Ucapnya sambil memberikan senyuman manis untuk Erica, lalu melanjutkan kegiatannya untuk mengambil segelas minuman itu lalu meneguknya dengan nikmat. Rasa manis dengan suhu yang hangat langsung saja menyapa permukaan dinding tenggorokannya.     

Terlihat Erica yang mengangguk paham. Sudah tidak heran lagi mereka berdua selalu membeli makanan siap saji yang hampir setiap hari di makannya. Ia memilih untuk menyambar sebuah majalah yang menampilkan wajah Klarisa sekaligus Damian yang tercetak jelas sebagai cover majalah tersebut. Pasangan serasi yang membuat iri banyak orang.     

Begitu merasa cukup puas meminum hot chocolate itu, Allea kembali menaruh gelas yang berada di tangannya kembali ke atas meja. Lalu menatap gadis yang tepat berada di sampingnya. "Klarisa dan Damian, siapa yang tidak mengenal mereka?" Ucapnya sambil terkekeh.     

Erica menganggukan kepalanya. "Klarisa masa lalunya Tuan Vrans."     

Allea membelalakkan kedua bola matanya. "Sungguh? Bagaimana bisa?" Tanyanya yang mulai tertarik dengan topik pembicaraan yang Erica bawakan. Mungkin dengan seperti ini membuat mereka akan merasa dekat.     

"Tidak tahu." Ucap Erica sambil menaikkan sebelah alisnya merasa tidak tahu menahu tentang kehidupan Vrans. Padahal, dulu setiap harinya ia selalu mendengarkan Xena bercerita panjang kali lebar mengenai kecemburuannya terhadap Klarisa dan juga menceritakan bagaimana kisah percintaan atasannya itu yang bertepuk sebelah tangan.     

Allea menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa ya? Apa karena Damian lebih tampan dan mapan?"     

"Tidak tahu."     

"Oh atau karena Vrans kedahuluan oleh Damian?"     

"Entah."     

"Oh oh aku tahu! Sepertinya Klarisa menyukai laki-laki seperti layaknya hot daddy, iya kan?"     

Erica memutar kedua bola matanya. "Tidak tahu." Ucapnya yang sedari tadi tidak berniat untuk merespon segala pendapat Allea mengenai hubungan mereka. Seberapa untungnya ia membicarakan kehidupan orang lain? Sangat tidak berbobot dan tidak memiliki nilai yang baik. Lebih baik koreksi saja kehidupan masing-masing, itu jauh lebih baik.     

"Ah baiklah, tapi ku pikir Tuan Vrans sangatlah cocok dengan Xena." Ucap Allea sambil menyandarkan tubuhnya di kepala sofa.     

"Iya."     

Allea melirik ke arah Erica, gadis itu tengah sibuk membaca setiap keterangan tentang kehidupan selebriti yang tengah naik daun. Ia menggelar napasnya dengan pelan, sangat pelan. Lalau begini? Bagaimana bisa ia mencairkan suasana? Terlebih lagi tidak ada Xena dan Orlin si pembangkit suasana dengan tingkah mereka. Astaga, ia sepertinya harus segera memutar otak.     

"Aku pikir kamu sangat cuek, Erica."     

Erica yang mendengar hal itu langsung saja menoleh ke arah Allea. Ia menyunggingkan sebuah senyuman kecil. "Biasa saja." Ucapnya dengan nada yang sedikit di ubah seperti riang, namun tidak terlalu riang.     

"Kamu harus perbanyak tersenyum."     

"Iya, nanti ku coba."     

"Jangan lupakan sapaan juga kalau bertemu dengan seseorang yang kamu kenal."     

"Iya."     

"Oh ya kamu juga har--"     

"Hentikan Allea." Ucap Erica yang kembali merubah raut wajahnya menjadi sangat datar. Ia menatap ke arah Allea dengan sebal, lalu daripada emosinya tersulut, lebih baik ia kembali membaca majalah dan tidak memberikan respon apapun untuk Allea.     

Dalam hati, Allea merutuki kebodohannya yang terlalu cerewet dalam menanggapi sesuatu. Ah pasti Erica akan risih berada di dekatnya.     

"Maaf." Ucap Allea.     

Erica bergeming. Masih tenggelam dalam bacaannya tentang beberapa artis dunia yang terkenal. Ia sama sekali tidak ingin menanggapi ucapan Allea lagi untuk saat ini.     

"Yasudah kalau begitu aku mau ke toilet ya." Ucap Allea sambil bangkit dari duduknya. Meminum hot chocolate ternyata membuat dirinya ingin membuang air kecil pada saat ini juga. Ia melambaikan tangan kepada Erica walau ia tahu jika gadis itu tidak akan membalas lambaian tangannya. Dengan cepat, ia langsung saja berjalan keluar ruangan kerja Xena.     

Sedangkan Erica, ia sudah bernapas lega dengan kepergian Allea. "Noisy girl." Gumamnya. Ia melihat sebuah kertas berwarna hitam yang tergeletak di lantai, lalu segera mengambilnya dengan alis yang bertautan satu sama lain.     

Kosong. Hanya kertas kosong.     

Tapi entah kenapa, Erica justru memasukkan kertas itu ke dalam saku jasnya.     

"Is it just my feelings, or Allea's attitude is too much?"     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.