My Coldest CEO

Tujuh puluh enam



Tujuh puluh enam

0Xena menatap beberapa paper bag yang berada di genggaman tangan Orlin. Ia sedikit menaikkan sebelah alisnya. "Kamu hanya membeli itu saja?" Tanyanya yang merasa keheranan. Biasanya Orlin akan membeli banyak sekali camilan siap saji yang mengganjal perut sebagai teman makan siang atau bahkan untuk makanan camilan saat sedang berkutat dengan tumpukan dokumen penting.     

Orlin terkekeh geli melihat respon Xena dengan apa yang di belinya saat ini. Kentang goreng porsi jumbo, dua buah burger, dan satu minuman soda. Hanya itu saja, tidak ada tambahan apapun lagi. Sedangkan Xena, gadis itu sudah membawa banyak paper bag yang berisi beraneka ragam makanan. Lagipula ia adalah pribadi yang mudah sekali merasa lapar di waktu yang tidak tepat, jadi harus menyediakan makanan untuk waktu selanjutnya.     

"Nanti aku ingin makan malam di rumah Niel, jadi ku pikir makan segini saja sudah cukup." Ucap Orlin sambil menaruh paper bag yang berada ditangannya untuk ke letakkan di belakang jok mobil.     

Melihat itu, Xena juga melakukan hal yang sama dengan Orlin. Mereka berdua keluar kantor dengan mobil yang di sediakan Vrans khusus untuk dirinya saat ingin keluar masuk perusahaan untuk membeli makanan. Dan mobil ini selalu di simpan di basement khusus para orang yang memiliki jabatan tinggi.     

"Ingin membicarakan pernikahan?" Tanya Xena menebak apa yang akan dilakukan Orlin di rumah Niel. Ia pikir sepasang kekasih itu sangat romantis selalu menghabiskan malam panjang di rumah Niel. Bahkan mereka terhitung jarang sekali keluar mencicipi makanan di restoran dengan sensasi romantis. Menurut pengakuan pribadi dari Orlin, ia lebih suka makan malam di dalam rumah yang diisi dengan masakan dari calon mertuanya. Astaga mereka benar-benar sangat serasi.     

Orlin mengangguk-anggukkan kepalanya dengan semangat. "Iya, aku sudah tidak sabar ingin menjalin hubungan rumah tangga dengan Niel. Dan juga..." Ucapnya dengan sengaja menggantungkan kalimatnya, ia membuat Xena penasaran setengah mati dengan mata yang mulai menatap kesal ke arah dirinya.     

"Dan juga apa, Orlin?" Tanya Xena dengan gemas. Ia sudah bersiap memakai seatbelt ke tubuhnya, begitu juga dengan gadis di sebelahnya ini.     

Orlin sedikit mendekati tubuhnya dengan Xena. "Dan juga ingin memiliki seorang baby." Gumamnya dengan volume yang benar-benar kecil. Ia tidal mau siapa pun mendengar ucapannya ini. Padahal mereka sudah di dalam mobil yang artiannya hanya ada mereka berdua saja. Terlihat pipinya yang mulai tersipu malu akibat dari berbicara tentang 'baby' yang di maksud olehnya.     

Xena yang mendengar itu pun langsung terkekeh. "KALAU GITU, AKU JUGA MAU, DONG!" Pekiknya dengan semangat. Memangnya siapa yang tidak mau mengurusi bayi mungil yang mengalir darah antara dirinya dan Vrans di setiap aliran darah bayi itu? Hal ini adalah semua harapan yang dimiliki oleh pasangan yang ingin menikah.     

Orlin mengarahkan tangannya ke udara, bermaksud untuk ber-tos ria pada gadis di sampingnya ini. Akhirnya kedua tangannya mereka ber-tos lalu terkekeh kecil. Astaga mereka sangatlah kekanak-kanakan, padahal dulu sifat Orlin tidak terlalu seperti Xena namun sepertinya mereka pantas menjadi adik kakak yang memilki kesamaan sifat.     

Xena mulai melajukan mobilnya keluar dari area parkir, ia langsung memusatkan titik fokusnya pada jalan raya yang tidak terlalu ramai mengingat ini adalah hari kerja.     

"Erica kenapa tiba-tiba menarik cutinya ya?" Tanya Xena tiba-tiba kala mengingat hari pengambilan cuti yang sahabatnya itu ambil belum sepenuhnya sesuai dengan permintaannya. Terlebih lagi Erica langsung mengisi absen kantor, walaupun telat tapi hal itu tidak menutupi rasa penasarannya. Seharusnya Erica kelelahan karena pasti banyak kegiatan disana, dan ketika sudah mendarat beberapa jam yang lalu di New York, gadis itu langsung bekerja. Seperti ada sesuatu, tapi ia tidak tahu apa itu.     

Orlin yang mendengar pertanyaan Xena pun langsung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia belum bilang apapun pada gadis di sampingnya ini, pada Vrans pun ia belum menjelaskan apa-apa. Ia hanya takut salah dengan pemikirannya yang saat ini masih terjaring di otaknya.     

"Eumh Aku tidak tahu." Ucap Orlin.     

Xena menaikkan sebelah alisnya. "Ada yang kalian sembunyikan?" Tanyanya sambil menoleh ke arah Orlin, lalu dengan cepat kembali mengalihkan pandangannya lagi ke jalanan, takut terjadi kecelakaan lalu lintas karena dirinya yang lalai mengobrol saat sedang berkendara.     

Orlin menggelengkan kepalanya dengan cepat. Percayalah jika kini detak jantungnya memompa lebih cepat dari pada sebelumnya. "Apa? Tidak ada sama sekali. Aku bahkan tidak tahu kenapa Erica pulang lebih awal." Ucapnya dengan raut wajah yang lebih tenang, sepertinya ia mulai bisa mengendalikan diri dan emosinya.     

"Kalau begitu, ada apa ya?" Tanya Xena yang masih penasaran. Tidak mungkin Sean mengajak Erica pulang lebih awal dari waktu yang di tentukan, iya kan? Terlebih lagi Sean adalah laki-laki pemaksa, jadi hal itu mendukung semua asumsi yang berada di otaknya saat ini.     

"Mungkin Erica bosan, dia kan gadis yang paling tidak berekspresi. Pasti Sean membawanya ke tempat yang tidak menarik." Ucap Orlin menebak dengan asal apa saja yang di lakukan Sean kepada Erica. Padahal dirinya tidak tahu seberapa beruntungnya seorang Erica kenal dengan Sean.     

"I hope it's like that." Gumam Xena sambil menyalakan lagu milik Zayn Malik - I Don't Wanna Live Forever sebagai penambah suasana di dalam mobil.     

...     

Disinilah Vrans, ia menjabat tangan seorang client-nya dengan sebuah senyuman. "Senang bekerjasama dengan anda." Ucapnya sambil menganggukkan kepala dengan sopan sambil melepas juluran tangannya. Ia melihat kepergian salah satu kolega yang sudah resmi bekerjasama dengan Luis Company, setelah itu ia kembali duduk di kursi yang tadi ia tempati.     

Blue Bottle Coffee     

54 W 40th St.     

New York, NY 10018     

Menjadi salah satu tempat kedai kopi yang ia kunjungi saat menentukan lokasi untuk bertemu dengan para client-nya. Espresso Coffee menjadi pilihan yang sangat tepat untuk mengisi siang ini. Ia terlalu bosan untuk terus menerus meneguk red wine setiap ia pergi ke setiap restoran atau bahkan ke kedai manapun pasti ia memesan minuman beralkohol yang telah menjadi candunya itu.     

Ia menatap orang-orang yang berada di dalam kedai kopi ini. Entah mereka yang berbincang ataupun yang tengah melakukan hal serupa dengannya beberapa menit yang lalu. Ia menyesap secangkir espresso yang langsung menyapa dinding tenggorokannya, terasa sangat nikmat. Setelah puas meminumnya, ia mengembalikan cangkir kopi yang berada di tangannya ke atas meja.     

Drtt...     

Drtt...     

Vrans merogoh saku celananya kala getaran di ponselnya terasa. Ia lalu melihat siapa yang menghubungi dirinya, terdapat sebuah nomer tidak di kenal. Dengan malas, ia bahkan tidak ingin menjawab panggilan tersebut sampai dering telponnya mati sendiri. Saat ia ingin menaruh ponselnya ke dalam saku tuxedo-nya, justru benda pipi itu kembali bergetar dengan panggilan nomor telepon yang sama.     

Dengan memutar bola matanya, Vrans akhirnya memutuskan untuk mengangkat panggilan telepon tersebut.     

"Halo." Ucapnya, menyapa seseorang di sana terlebih dahulu tanpa harus menunggu kalimat basa basi dari seberang sana.     

"Hai, Tuan Vrans."     

Vrans menaikkan sebelah alisnya mendengar suara lembut seorang gadis. Ia mulai menebak-nebak siapa pemilik suara itu.     

"Hm." Ucap Vrans tidak ingin merespon lebih terhadap orang di seberang sana. Ia berpikir jika ini adalah gadis yang bertindak berlebihan terhadap dirinya, jadi tidak perlu di respon.     

"Siap untuk tantangan selanjutnya?" Tanya suara di seberang sana, terdengar kekehan kecil yang justru terdengar sangat terdengar menyeramkan. Bahkan ia sempat tertegun saat mendengar suara yang cukup familiar dengan telinganya. Tapi lagi-lagi ia tidak dapat menebak apa siapa sosok di seberang sana. Astaga, iya semakin bingung dengan apa yang terjadi.     

Ia memilih bergeming dan tidak mengatakan apapun, menunggu kelanjutan dari ucapan seorang gadis di seberang sana.     

"Kenapa diam?"     

"Tidak boleh?"     

"Tentu, karena kamu harus menjawabnya. Siap atau tidak siap?"     

"Siap."     

"Buktikan dari detik ini juga."     

"Hm."     

Vrans merasa aneh dengan panggilan telepon ini, suara yang begitu familiar dengan ancaman klasik yang pernah ia hadapi. Jangan sampai apa yang ia pikirkan saat ini terjadi begitu saja.     

"Kalau begitu, tunggu aksi dari ku."     

"Siapa kamu?"     

"Sebut saja H."     

Pip     

Panggilan terputus dari seberang sana, bahkan Vrans belum sempat menanyakan apa arti H yang di katakan oleh gadis itu. Tunggu sebentar, apa tadi ia mengatakan inisial H?     

"Hana Xavon?"     

Pada saat itu juga, Vrans membelalakkan matanya. Baiklah, ia mulai mengerti kemana arah permasalahan ini. Surat yang ditunjukkan untuk Xena, foto kekasihnya itu yang di tandai dengan lingkaran tinta merah, dan sekarang panggilan telepon ini. Memangnya siapa lagi yang mengincar Xena selain Hana dan Sean dulu? Tapi kenapa semudah itu Hana menunjukkan keberadaannya dengan tanda-tanda yang justru membuat gadis itu langsung membuat dirinya langsung mengarah kesana? Apa seorang yang sudah tiada bisa bangkit dari kematiannya? Sebenarnya apa yang akan terjadi selanjutnya?     

Gotcha!     

Sekarang Vrans tahu akar permasalahannya. Dengan segera ia langsung saja bangkit dari duduknya, lalu mengeluarkan selembar uang untuk di letakkan di bawah cangkir kopi miliknya. Ia segera menaruh kembali ponsel ke saku celananya, lalu berjalan cepat keluar dari kedai kopi ini. Kalaupun menang semua ini berasal dari Hana, maka ia harus menemui Sean pada saat ini juga. Tapi sebelumnya ia harus menemui Erica terlebih dahulu supaya keadaannya tidak terlalu mencekam. Bagaimana pun, Sean masih lah pembunuh bayaran yang sempat menyiksa kekasihnya tanpa belas kasihan.     

"Aku akan segera mendapatkan mu, Hana."     

Vrans masuk ke dalam mobil, memasang seatbelt ke tubuhnya dengan benar. Ia mulai memundurkan mobil saat sudah melihat-lihat keadaan parkiran yang sepi memungkinkan dirinya untuk keluar dari area parkiran. Napasnya memburu, dalam satu hari ini penuh sekali misteri yang membuatnya kepikiran setengah mati. Bagaimanapun dan sampai kapanpun Xena tetaplah seorang gadis yang menjadi tanggung jawabnya.     

Jika Hana berani masuk ke dalam kehidupan Xena dan menghancurkan kehidupannya untuk kedua kalinya, maka ia bersumpah tidak akan pernah memaafkan gadis itu. Karena ia sudah memiliki rencana untuk kedepannya bersama Xena yang sudah pasti tidak akan bisa di hancurkan dalam bentuk apapun.     

"If that's true of you, I make sure you will be crushed before destroying my girl."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.