My Coldest CEO

Tujuh puluh tujuh



Tujuh puluh tujuh

0Erica menatap Sean dari atas sampai bawah, tampilan laki-laki itu kini benar-benar aneh dengan penyamaran layaknya seorang kutu buku yang sehari-harinya menghabiskan waktu di perpustakaan atau sekedar membaca buku. "Kenapa berpenampilan seperti itu?" Tanyanya sambil menjulurkan tangan, ia membenarkan letak belahan rambut Sean yang sangat tidak cocok dengan bentuk wajah tampannya itu.     

Sean melihat tingkah Erica yang menurutnya cukup manis itu, lalu ia menyunggingkan senyuman sambil mengarahkan tangannya untuk mengelus lembut puncak kepala Erica. "Perhatian sekali kepada ku, apa kamu sudah mencintai ku?" Tanyanya sambil menaik turunkan kedua alisnya. Ia hanya beranggapan yang menjerumus ke tingkat candaan, terlihat dari mimik wajahnya yang mengulum tawa.     

Erica yang mendengar itu langsung saja menginjak kaki Sean dengan sangat kencang. "Don't ask weird things to me!" Ucapnya dengan raut wajah yang sangat datar, ia melayangkan tatapan tajam untuk laki-laki yang kini tengah meringis kecil itu. Sepertinya Sean akan selalu menjahili dirinya, apapun konsekuensinya yang laki-laki itu dapatkan nantinya. Hal itu membuat ia jengkel.     

"Lalu? Aku harus bertanya apa?" Tanya Sean yang sudah tidak meringis akibat injakan Erica pada kakinya. Justru, ia kini sedang berpose layaknya sedang berpikir keras seperti tengah mencari pertanyaan lain untuk gadisnya ini.     

Erica memutar kedua bola matanya. "Tidak perlu bertanya." Ucapnya sambil masuk ke dalam mobil Sean, iya sedaritadi mereka berada di tepi halaman Luis Company. Semua ini gara-gara Sean yang selalu menggoda dirinya sehingga memperlambat waktu. Maybe Sean could be called a 'Mr. time waster.' Sepertinya cocok dengan laki-laki itu.     

Sean melihat Erica yang sudah masuk ke dalam mobil tanpa menunggu dirinya membukakan pintu     

untuk gadis itu. Melihat Erica yang sudah masuk ke dalam, mau tidak mau ia juga harus segera masuk ke dalam mobil. "Jangan merajuk." Ucapnya ketika tubuhnya sudah mendarat di kursi pengemudi. Menggunakan seatbelt, lalu membenarkan kaca tengah mobil, selesai dan semuanya aman.     

Erica berdecih seperti tidak menyetujui ucapan Sean. Merajuk? Memangnya ia gadis manja yang suka sekali merajuk dan meminta sesuatu supaya suasana hatinya membaik? Tidak, ia bukan gadis seperti itu, dan tidak akan pernah.     

"Sok tahu." Ucap Erica sambil menarik seatbelt dan langsung ia kenakan di tubuhnya. Setelah selesai, ia melihat ke arah Sean, lalu tatapan matanya dengan bola mata laki-laki itu bertabrakan.     

Sean memberikan Erica sebuah senyuman miring. "Aku ingin bermain-main dengan mu." Ucapnya.     

Erica yang mendengar itu langsung saja menaikkan sebelah alisnya. "Bermain?" Ulangnya merasa tidak mengerti dengan kata 'bermain-main' yang di ucapkan oleh Sean. Bagaimanapun juga, laki-laki itu adalah seorang pembunuh bayaran. Jadi, bertingkah waspada adalah suatu hal yang wajar, iya kan?     

"Hanya ingin membuat beberapa tanda kepemilikan, itu saja." Ucap Sean sambil mengerling jahil. Ia menyambar tangan kanan Erica, lalu mencium punggung tangan gadis itu.     

Dan ya, sudah pasti Erica langsung membelalakkan kedua bola matanya. "Maksud kamu? Jangan mesum!" Pekiknya dengan nada kesal. Memangnya gadis mana yang tidak merasa kesal jika ada laki-laki yang berkata seperti itu? Jikapun ada, ia bukanlah tipe gadis tang seperti itu. Bayangkan saja Sean berbicara mengenai hal yang cukup sensitif itu tanpa wajah bersalahnya sedikitpun. Menyebalkan.     

Sean terkekeh sambil melepas tangan Erica yang tadi ia ambil, lalu mulai memfokuskan titik pandangnya ke depan. "Jangan berpikiran kotor." Ucapnya mulai melajukan mobil meninggalkan halaman kantor Luis Company. Ia rasanya ingin tertawa pada detik ini juga mengingatkan ucapan Erica yang seperti takut dengan apa yang ia katakan tadi. Tapi percayalah, ia memang tidak berniat jahat dengan melakukan 'hubungan' demi mendapatkan tanda kepemilikan.     

Ia punya sesuatu yang berbeda untuk menandai apapun yang ia sukai, termasuk Erica.     

"LALU APA?!" Tanya Erica dengan intonasi suara yang semakin tinggi. Wajahnya sudah memerah padam. Tidak, bukan karena ia malu dengan topik pembicaraan yang mengarahkan sesuatu yang berbau dewasa, tapi ia kesal kenapa Sean dengan mudahnya menggunakan bahasa tersebut sebagai tutur katanya?     

Sean mengangkat kedua bahunya. "Lihat saja nanti." Ucapnya yang mulai membangkitkan rasa penasaran di dalam tubuh gadisnya. Ia sengaja membuat Erica merasa seperti ini karena menurutnya gadis itu sangatlah datar tanpa ekspresi. Ia berpikir jika menggunakan bahasa yang mengarah pada hal dewasa, apa gadis itu akan tetap mempertahankan wajah dinginnya? Ternyata tidak, dan ia cukup terhibur dengan raut wajah kesal yang ditunjukkan Erica.     

"Jangan sok misterius." Cibir Erica sambil memutar kedua bola matanya, lagi. Ia sudah terlampau kesal dengan Sean. Bisa di hitung dalam sehari ia bisa menunjukkan cukup banyak ekspresi hanya untuk laki-laki aneh ini.     

Sean terkekeh kecil. "Suka-suka aku."     

"Hm."     

"Kalau suka-suka kamu gimana?"     

"Tidak peduli."     

"Berarti kalau aku memberikan mu tanda kepemilikan yang sesungguhnya kamu juga tidak peduli, gitu?"     

Pada detik itu juga, Erica langsung saja mencubit pinggang Sean dengan kesal. "SEAN XAVON!" Pekiknya dengan gemas. Lihat, bahkan laki-laki itu tidak puas hanya sekali menggoda dirinya.     

Sean terkekeh geli, walaupun ia tidak menolehkan wajahnya sama sekali ke arah Erica, tapi ia cukup ingat bagaimana ekspresi gadis itu saat sedang melampiaskan rasa kesalnya. Walaupun masih dengan wajah datar, tapi ia masih bisa menebak jika sebenarnya gadis itu hanya menahan ekspresi dan tidak berniat untuk memperlihatkannya.     

"Kamu lucu, dan aku suka."     

...     

Sesampainya mereka di kediaman Sean, tapi di ruangan lain yang berada tepat di samping ruangan merah hitam. Erica menaikkan sebelah alisnya kala melihat ruangan yang di dominasi oleh warna hitam, seperti menggambarkan kegelapan nyata dalam kehidupan laki-laki yang kini sudah duduk dengan tangan yang terpasang sarung tangan putih di kedua tangannya.     

"Mau apa?" Tanya Erica sambil berjalan menghampiri Sean.     

Melihat Erica yang sudah mendekat ke arahnya, ia langsung saja menepuk sebuah sofa yang terdapat di sampingnya. Sofa itu menyatu dengan nakas besi yang berisi cukup banyak peralatan yang Erica tidak tahu apa namanya.     

"Duduk, sayang." Ucap Sean sambil mengulas sebuah senyuman manis.     

"Mau apa?" Tanya Erica mengulang pertanyaan sebelumnya. Ia benar-benar tidak mengerti maksud 'tanda kepemilikan' yang di maksud oleh Sean. Bayangkan saja untuk apa semua peralatan itu?     

Sean menarik tangan Erica sehingga tubuh mungil itu jatuh mulus ke atas sofa. Lalu ia tersenyum penuh kemenangan melihat gadisnya yang sama sekali tidak melawan. "Siap untuk melihat pertunjukkan?"     

Entah hanya perasaan Erica yang buruk atau memang akan terjadi hal buruk pada dirinya. Bahkan ia melupakan tujuan awalnya mengenai Allea yang seolah-olah terlihat sama seperti dengan Hana. "Jangan macam-macam."     

"Dan mungkin aku akan sedikit melanggarnya."     

Sean dengan cepat menyuntikkan sebuah suntikan yang berisi cairan pereda rasa sakit. Membuat Erica yang tidak siap langsung menjerit keras.     

"Maaf." Ucap Sean sambil mencabut suntikan itu, lalu langsung membuangnya tepat di tempat sampah kecil yang terdapat di samping kursinya.     

Erica menatap Sean dengan tatapan elangnya, namun entah kenapa perlahan daya tahan matanya itu mulai melemah. "Weird Assassin!" gumamnya dengan lemah. Detik selanjutnya, ia mulai merapatkan matanya lalu langsung masuk ke alam mimpi yang penuh dengan imajinasi belaka.     

Sean terkekeh kecil. Ia mengecup puncak kepala Erica, lalu mulai menurunkan sedikit kerah kemeja kerja milik gadisnya itu.     

Ia mulai mengambil alat yang biasa digunakan untuk membuat tato. Rasanya memang mustahil, tapi percayalah ia ahli dalam bidang ini. Dengan gerakan yang lihat, tangannya mulai bergerak membentuk desain yang berada di otaknya. Mawar hitam, simbol itu yang ia pilih untuk menghiasi bahu Erica dengan keahlian mentato dirinya.     

"Maaf ya Erica, tapi ketentuan seorang assassin dalam keluarga Xavon memang seperti ini."     

Sudah sejak dulu bagi siapa saja keturunan Xavon yang mengalir darah seorang pembunuh bayaran akan di tuntut paksa jika memiliki seseorang yang berhasil masuk ke dalam hidup mereka, maka ia haruslah memberi tanda kepemilikan pada orang tersebut. Jika tidak, mungkin saat mengadakan sebuah acara pernikahan sang pasangan tidak akan di terima pada keluarga Xavon karena tidak memiliki apa yang seharusnya di laksanakan dalam perjanjian keluarga.     

Entah lah bahkan sampai detik ini, Sean tidak mengerti dengan peraturan turun temurun itu. Tapi yang jelas, ia tidak ingin Erica di tembak mati oleh salah satu keluarganya yang juga berjabat sebagai anggota pembunuh bayaran tertua. Memang sedikit gila dan konyol, tapi itulah kenyataannya.     

Baik, kembali pada Sean. Detik mulai berganti menjadi menit, begitu pula dengan menit yang berganti jam. Laki-laki ini tampak tersenyum senang sembari menaruh alat di tangannya kembali ke atas nakas itu. Ia menatap puas hasil pahatan tato yang di buat oleh dirinya. Sangat sempurna.     

Tadinya ia berpikir untuk membuat simbol tengkorak atau pedang menyilang supaya terlihat lebih keren. Tapi ia takut ada banyak orang yang mengetahui simbol itu dan menjadikan Erica ancaman untuk melemahkan dirinya. Lagi pula, memangnya siapa yang curiga dengan simbol mawar hitam? Justru hal itu membuat tampilan Erica kini terkesan lebih menyeramkan daripada sebelumnya.     

Dengan pikir yang sudah memerah jauh, pasti Erica akan memaki dirinya karena tanpa izin dan tanpa memberitahu ia langsung membuat tato di pundak gadis itu. Baiklah, ia berharap Erica sekiranya akan marah kepada dirinya.     

"Sayang, bangun." Ucap Sean sambil menepuk-nepuk pelan kedua pipi Erica dengan masing-masing tangannya membuat gadis itu langsung membuka kedua bola matanya.     

Tatapan tajam itu, astaga mampu membuat Sean merasa ingin menerkam Erica pada saat ini juga.     

"Kejutan!"     

Erica menaikkan sebelah alis lalu mulai duduk tadi tidurnya. Lalu ia merasa pundaknya yang tersapu oleh dinginnya hawa AC, dan ia langsung saja melihat ke arah pundaknya yang terbuka sebelah dengan tato mawar hitam yang sudah tercetak jelas disana.     

Sean menunggu kelanjutan dari Erica, ia memilih untuk diam dan melihat wajah gadis yang berada di hadapannya ini dengan sangat tenang.     

"Ini maksud dari tanda kepemilikannya?" Tanya Erica.     

Sean mengangguk dengan semangat, dalam hati ia sudah mulai menghitung mundur dari angka 5 untuk menuju ke angka 1.     

5     

4     

3     

2     

"Aku suka."     

Sean menaikkan sebelah alisnya. "Bagaimana bisa? Ku pikir kamu tidak suka memakai tato."     

"Entah."     

"Atau karna yang membuat tato in sangat tampan?"     

Erica memutar bola matanya. "Lebih baik aku diam." Ucapnya sambil membenarkan letak kemejanya kembali seperti awal.     

Sean tersenyum miring, lalu dengan cepat memajukan wajahnya membuat kedua manik matanya langsung beradu dengan milik Erica. "Ia, lebih baik kamu diam. Dengan cara ku." Ucapnya.     

Pada detik selanjutnya, Sean melumat lembut bibir milik Erica membuat siempunya langsung saja membelalakkan mata.     

"Sean!" Pekiknya dengan nada tertahan.     

Akibatnya dirinya memekik seperti itu, membuat Sean memiliki celah untuk masuk lebih dalam ke rongga mulut gadis itu.     

"Kamu manis."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.