My Coldest CEO

Tujuh puluh delapan



Tujuh puluh delapan

0Xena pergi ke ruang kantor milik Vrans dengan senyum yang mengembang. Ia langsung masuk ke ruangan tersebut tanpa mengetuk pintu sama sekali, hal itu sudah terbiasa baginya dan Vrans pun tidak masalah akan hal itu. Lagipula dirinya bertindak tidak sopan hanya di hadapan para teman dan kekasihnya saja. Selebihnya, ia akan selalu mengutamakan sifat sopannya.     

Ia memusatkan pandangannya kala melihat ruang kerja yang kosong, tidak ada pemiliknya. Bukankah ini sudah jam pulang kerja? Kenapa Vrans tidak ada di dalam ruang kerjanya?     

Karena Xena tidak ingin ambil pusing, ia segera menutup pintu ruangan dan berjalan untuk duduk di kursi kerja milik kekasihnya itu. Ia benar-benar suka menempati kursi ini saat Vrans tidak berada di dalam kantornya, dan saat laki-laki itu sudah kembali ia mungkin akan di kecup ke seluruh bagian sudut wajahnya. Vrans lama kelamaan sangat lucu dan menggemaskan.     

Baru saja ia ingin meraih mainan mobil-mobilan berwarna hitam yang katanya di beli Vrans dengan harga terbilang fantastis, kedua bola matanya sudah menangkap sebuah surat yang berada dekat di samping laptop milik Vrans.     

Xena berpikir sebelumnya jika surat itu milik salah satu client Vrans mengingat laki-laki itu yang sangat ceroboh menaruh barang dengan sembarangan. Awalnya ia tidak berniat untuk membaca karena kalau ini memang surat penting, ia sama sekali tidak memiliki hak untuk membukanya.     

Namun entah kenapa, otaknya mendorong dirinya untuk membuka surat tersebut. Ia merasa jika di dalamnya ada hal yang harus ia ketahui. Dengan perlahan, ia membuka surat tersebut lalu membaca seluruh tulisan yang dirangkai menjadi sebuah kalimat yang menurutnya sangatlah mengarah pada sebuah ancaman.     

:envelope:     

For Xena Carleta Anderson,     

Your enemy is your friend, be careful, wait for my game, honey.     

:envelope:     

Xena menahan napasnya kala melihat kalau surat tersebut ditunjukkan langsung untuk dirinya, lalu jantungnya kian memompa cepat.     

'Musuh ku adalah temanku? Bagaimana bisa?' Batin Xena dengan kepala yang menggeleng merasa tidak paham dengan apa yang tertulis di kertas ini. Terlebih lagi ada kalimat 'wait for my game'. Permainan apa yang akan ditunjukkan padanya?     

"Dari siapa ini?" Tanyanya sambil menaruh kembali surat tersebut ke tempat semula. Ia memutar kejadian yang dulu sempat membuat dirinya kehilangan ingatan, terlebih lagi ingin dibunuh oleh seseorang hanya karena perihal percintaan yang seharusnya tidak pernah bisa untuk dipaksakan.     

Tok     

Tok     

Tok     

Xena mendongakkan kepalanya, lalu melihat Vrans yang sudah melangkah masuk menuju dirinya. Ia terlihat seperti habis mencuci wajah terbukti dari jambul bagian paling depannya terlihat sedikit basah. Mungkin laki-laki itu ingin mengusir rasa lelah sekaligus kantuk untuk tetap berjaga batas aman saat pulang berkendara.     

"Hai, sayang." Ucap Vrans yang sudah berdiri tepat di samping Xena. Ia meraih dagu gadisnya itu untuk segera ia ciumi seluruh permukaan wajahnya dengan rasa sayang yang mendalam.     

Xena segera menepis tangan kokoh itu sampai siempunya menaikkan sebelah alisnya merasa aneh dengan tindakannya. Biasanya, Xena akan dengan senang hati membiarkan dirinya mengecup seluruh wajah gadis itu, bahkan mungkin hal ini adalah yang paling Xena tunggu-tunggu. Tapi tunggu, ada apa ini?     

"Kenapa, hm?" Tanya Vrans sambil mengelus lembut surai rambut milik Xena. Ia memberikan senyum hangat terbaik untuk gadisnya ini.     

Tiba-tiba saja, sorot mata Xena berkabut. Kedua bola matanya menjadi berkaca-kaca, seperti ada hal lain yang menjadi daya pikirnya saat ini.     

"Itu." Cicit Xena sambil menunjuk surat yang tadi ia baca, jemarinya bergetar lalu detik selanjutnya bulir pertama dari kelopak matanya turun mulus begitu saja membasahi permukaan wajahnya.     

Tubuh Vrans menegang, hanya beberapa detik saja. Ia menghela napas karena ceroboh tidak menyimpan surat itu dengan benar. Tadi, ia sempat bertemu dengan Erica untuk membahas soal ini, tapi gadis itu menolak dengan alasan yang membuat dirinya yakin kalau salah satu sahabat dari gadisnya bisa di andalkan.     

Throwback     

Seperti orang yang tengah di landa cemas, Vrans membuka ruang kerja milik Xena dengan cepat. Ia tahu jika Erica berada disana bersamaan dengan gadisnya. Begitu masuk ke dalam, ia hanya mendapatkan Erica hanya bersama dengan Allea saja. Hal ini membuat dirinya berdehem kecil seperti menginterupsi keadaan.     

"Bisa berbicara dengan kamu, Erica?" Tanya Vrans dengan sorot mata datarnya. Ia melirik sedikit ke arah Allea yang menampilkan wajah yang menatap dirinya dengan sorot mata memuja. Jika di pikir-pikir, gadis itu seperti menyukai dirinya. Ah tapi tidak perlu bersifat terlalu percaya diri seperti itu, barangkali Allea sedang menatap benda yang satu titik fokus dengan dirinya. Ah baiklah, lupakan saja.     

Erica menaikkan sebelah alisnya merasa heran dengan Vrans yang biasanya jarang sekali meminta waktunya. "Ada apa, Tuan?" Tanyanya sambil beranjak dari duduknya. Ia berjalan menghampiri Vrans yang kini tengah membenarkan letak dasinya yang sempat miring karena tadi laki-laki itu terlalu bergegas dalam mengambil setiap langkahnya.     

Vrans kembali melirik ke arah Allea memastikan kemana sebenarnya arah pandang gadis itu. Ia bernapas lega kala Allea sudah memfokuskan diri pada layar ponsel, sepertinya gadis itu bukanlah tipe yang suka mendengarkan orang lain yang ingin melakukan percakapan pribadi. "Iya, ikuti aku." Ucapnya sambil menganggukkan kepala sambil pergi melangkah kakinya keluar dari ruang kerja.     

Erica tanpa banyak bertanya pun langsung saja mengikuti setiap langkah Vrans dan meninggalkan Allea sendirian disana.     

Sampailah mereka pada rooftop Luis Company yang menampilkan seluruh pemandangan New York saat siang hari, terlihat sangat menyeluruh dengan pantulan sinar matahari yang tidak terlalu terik. Terlebih lagi rooftop ini di desain dengan sebagian atap supaya jika ada yang ingin ke atas sini tidak akan terpapar sinar matahari, dan hal itu sangat berguna untuk saat ini.     

"Aku menemukan banyak bukti aneh, apa kamu tahu mengenai hal ini?" Ucap Vrans tanpa ingin berbasa basi lagi. Kalau pemikirannya benar tentang hal ini, lebih baik mengambil tindakan dari sekarang, bukan?     

Erica sedikit menghela napasnya. Ia mengerti kemana arah pembicaraan Vrans saat ini. "Hana Xavon." Ucapnya tanpa ingin berlama-lama lagi."     

Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Vrans membelalakkan matanya, namun ekspresi itu tidak bertahan lama. Ia segera merogoh saku tuxedo-nya lalu mengarahkan kepada Erica tentang foto Xena yang ia temukan di mobilnya. "Aku menemukan ini di mobilku."     

Erica segera mengambil foto tersebut. Di sana ia melihat foto Xena yang sudah di lingkari dengan tinta merah, ia membalik fotonya. " My assassin target." Gumamnya membaca tulisan yang ada disana. Lagi dan lagi ia dibuat terkejut karena gaya penulisan di foto itu sama persis dengan surat yang difoto oleh Orlin kemarin.     

Jika memang benar ada pembunuh bayaran selain Sean dan Hana yang mengincar kehidupan Xena, atas dasar apa mereka melakukan hal itu? Dan dengan tujuan apa? Seingatnya Xena tidak pernah lepas dari jangkauan Vrans dan juga beberapa sahabatnya, jadi tidak mungkin Xena memicu rasa dendam seseorang yang akhirnya memilih untuk mempekerjakan pembunuh bayaran.     

Lagi pula, Hana dan Sean pernah bilang kalau semisalnya tugas mereka belum tuntas dan target sasaran belum tiada, pasti kegiatan mereka masih berlanjut sampai sekarang. Dan kemungkinan besar, ini adalah ulah Hana. Tidak mungkin kan ini ulah Sean? Karena laki-laki itu kini sudah menjadi pengikut cinta bersama dengan dirinya.     

"Ku pikir ini dia." Ucap Erica sambil mengembalikan foto tersebut ke Vrans. Ia menatap laki-laki yang berada di hadapannya ini dengan sorot mata yang sangat lekat. Bagaimana pun ia masih memiliki andil dalam ini semua karena ia adalah sahabat yang diam-diam paling peduli pada Xena.     

Vrans menerima uluran foto tersebut, lalu memasukkannya kembali ke dalam saku tuxedo-nya. "Hana?" Tanyanya sambil memastikan kata 'dia' yang ditunjukkan Erica sebagai orang ketiga dalam pembicaraan mereka kali ini.     

"Iya." Ucap Erica sambil menganggukkan kepalanya dengan yakin. Awalnya ia sama sekali ragu dengan pernyataan Sean yang menurutnya sangat konyol. Namun jika hal ini hanya permainan belaka, kenapa tulisan tangan itu seolah-olah memang sangat persis dengan milik Hana?     

Berjuta-juta pemikiran kini merasuki otak semua orang, mulai menerka-nerka apa yang sebenarnya telah dan akan terjadi.     

Vrans mengacak rambutnya dengan kasar. "Aku butuh membicarakan hal ini dengan Sean."     

Erica menggelengkan kepala pada detik itu juga. "Tidak, biar aku saja, Tuan. Aku akan mengurus semua ini bersama Sean."     

"Kenapa hanya kamu saja?"     

"Karena Sean, tidak menyukai orang yang pernah bersangkutan dengan mantan target sasarannya."     

Vrans menaikkan sebelah alisnya. "Bagaimana dengan mu?"     

Erica tampak menyunggingkan seulas senyuman miring. "Itu bukanlah masalah besar."     

"Kalau begitu, aku menyerahkan semuanya ke kamu. Aku tidak ingin gadis ku kembali merasakan trauma yang sama."     

Throwback off     

Vrans menatap Xena yang bergetar ketakutan. Entahlah, ia tidak ingin memberitahu apapun mengenai masalah ini kepada Xena. Lagipula ini masih dalam masa penyelidikan, belum ada kebenaran yang sesungguhnya.     

"Bukan masalah besar, hanya orang jahil." Ucapnya sambil memeluk tubuh Xena dengan erat. Mendekap tubuh itu seolah-olah tidak ingin kehilangan dan melepaskan Xena untuk selamanya. Ia khawatir dan ia akan selalu menjaga Xena dalam keadaan apapun, masih sama seperti awal janjinya saat bertemu dengan Xena di club malam dalam keadaan mabuk untuk bertanggung jawab dalam kehidupan gadis ini.     

Xena membalas pelukan Vrans lalu menangis membasahi kemeja kerja laki-laki itu. "Kamu berbohong?" Tanyanya dengan nada cukup serak.     

"Tidak, untuk apa?" Balas Vrans.     

"Kamu berbohong, iya kan?" Tanya Xena mengulangi pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. Ia masih belum percaya dengan ucapan Vrans tentang 'bukanlah masalah besar', itu bukanlah jawaban yang ia harapkan dari laki-laki yang mendekap erat tubuhnya ini.     

Vrans melepaskan pelukan mereka, lalu menangkup wajah Xena dengan kedua tangannya. "Hey, it's gonna be all right. Trust me, honey." Gumamnya sambil mencium lembut kening Xena, menyalurkan perasaan yang dapat menenangkan kegelisahan gadisnya saat ini.     

Padahal, lubuk hati Vrans kini jauh lebih cemas dari apa yang Xena bayangkan.     

'Hopefully.' Batin Vrans.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.