My Coldest CEO

Delapan puluh satu



Delapan puluh satu

0"Aku memantau kegiatan Allea," ucap Erica sambil memakai kacamata khusus yang menyambungkan dirinya dengan robot serangga pengintai kecil yang kini sudah menjalankan aksinya untuk memata-matai setiap kegiatan Allea di rumahnya. Memang terkesan tidak sopan bahkan merusak privasi orang, tapi demi mengungkapkan sesuatu hal ini bukanlah masalah yang besar sama sekali.     

Sean memakan kripik kentang yang tadi Erica ambil dari lemari persediaan makanan ringan yang berada di dalam salah satu lemari yang berada di dalam area kitchen miliknya. Sungguh, gadisnya patut di beri tepuk tangan karena dengan mudahnya menemukan tempat makanan ringan yang ia sudah sembunyikan selama ini dari jangkauan orang-orang. Sudah di beri kata sandi pula seperti layaknya brangkas dengan kode yang sulit di pecahkan oleh siapapun kecuali dirinya, tapi kini Erica sudah dengan mudahnya memecahkan kata sandi tersebut.     

Untuk apa Sean mengunci lemari makanan ringan? Karena ia tidak ingin tergoda dengan camilan yang sangat menggoyang lidah, kalau ia terus menerus memakan itu setiap malamnya, sudah di pastikan setiap otot perut enam kotak yang menghiasi perutnya hilang sudah. Ya bisa di bilang seperti mode keamanan dalam pola makan sehat.     

"Bagaimana jika dia berganti baju?" Tanya Sean dengan mulut penuh yang mengunyah makanan membuat Erica memutar kedua bola matanya karena merasa hal itu sangat menjijikan.     

"Lagipula, kamu tidak melihatnya." ucap Erica dengan tenang, ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada lalu menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Kini, posisinya sangatlah nyaman walau terkesan tidak feminim layaknya seorang gadis pada umumnya. Lagi pula, ia hanya melakukan apa yang digemarinya. Dan mempunyai perilaku tomboi adalah kebiasannya dari kecil.     

Sean menaikkan sebelah alisnya, lalu menaruh kemasan kripik kentang ke atas meja. Ia meneguk minuman soda yang menjadi teman penghilang dahaganya. "Siapa bilang?"     

Pada detik selanjutnya, Sean mengambil sebuah remote control yang langsung menurunkan sebuah layar lebar dan juga mesin proyektor langsung menyala. Seluruh tampilan alat rekam dari serangga pengintai langsung terhubung kesana pada saat itu juga.     

Erica yang melihat itu langsung saja memutar kedua bola matanya, ah ia lupa jika Sean adalah laki-laki pembunuh dengan seribu satu akal. "Baik, aku mengaku kalah." ucapnya sambil menaruh kacamata yang tadi bertengger di hidung mancungnya ke atas meja, tepat di samping kemasan kripik kentang milik Sean.     

Sedangkan laki-laki itu? Kini mulai menatap layar proyeksi dengan serius. Bagaimana pun juga, sedikit tindakan ciri khas Allea bisa jadi mirip dengan milik Hana.     

"Dia ingin ke kamar mandi," ucap Sean sambil menoleh ke arah Erica. Ia melihat gadis itu yang langsung menatap ke arah dirinya dengan tatapan tajam seolah-olah ingin meniadakan dirinya sekarang juga. Oh ayolah, hanya mengintip saja tidak masalah bukan?     

"Jangan mesum," ucap Erica sambil mengalihkan perhatiannya pada layar. "Jangan sorot Allea jika gadis itu membuka pakaiannya." gumamnya lagi seperti mengarahkan serangga pengintai itu, dan benar saja arah pandang kameranya berubah ke sudut lain yang hanya menampilkan sebuah rak buku yang tersusun sangatlah rapih. Entah karena memang Allea rajin berkemas atau alasan lain gadis itu tidak pernah menyentuhnya sama sekali.     

Sean terkekeh geli. "Cemburuan," ucapnya sambil mengambil kembali kemasan kripik, dan mulai memakannya secara perlahan.     

Mendengar ucapan Sean yang mengarah pada tingkat rasa percaya diri yang tinggi, ia memilih untuk tidak merespon ucapan laki-laki itu. Kalaupun ia respon, pasti Sean akan meluncurkan beberapa kalimat tidak jelas lain yang berniat untuk menggoda dirinya. Klasik sekali.     

"Ayolah, tidak seru." Protes Sean kala arah kamera itu masih saja tidak ingin menyorot apapun selain rak buku.     

Erica menoleh ke arah Sean, ia berdecak sebal karena laki-laki ini banyak mau. "Fokus misi."     

Sean menganggukkan kepala, lalu kembali menaruh kemasan kripik tersebut. "Baiklah. Jadi, kenapa kamu menargetkan Allea sebagai sasaran utama? Kenapa tidak yang lain saja?" ucapnya yang kini sudah meninggalkan raut wajah menyebalkan sekaligus konyol miliknya. Sekarang hanya ada sorot mata serius yang tajam.     

"Karena feeling, mungkin?" ucap Erica dengan sedikit ragu. Mungkin jika di beri perbandingan antara ragu dan tidak ragu ia akan menempatkan angka 99,99 : 0,1 dan dengan angka terkecil sebagai keraguan dirinya.     

"Dan kalau kamu salah?"     

"Tidak masalah."     

"Siapa yang menjadi sasaran kedua?"     

"Tidak ada."     

"Lalu?"     

"Tidak tahu."     

Sean menaikkan sebelah alisnya. Saat dirinya sudah dalam mode serius, Erica menjadi terkesan sangat menyebalkan. Selalu saja seperti itu. "Serius, sayang. Tadi kamu menyuruhku serius tapi kamu seperti itu." ucapnya sambil menyandarkan tubuh pada kepala sofa. Menunggu segala aktivitas Allea dikamar mandi mungkin akan memakan sekitar tiga puluh menit paling lama, jadi ia masih bisa bersantai dan menggoda gadisnya sesuka hati.     

"Memangnya aku terlihat sedang bercanda?" Tanya Erica sambil mendekatkan sedikit wajahnya ke hadapan Sean, wajah datarnya yang bahkan jarang sekali dihadiri senyuman itu terpasang jelas disana. Tidak ada nada lawakan, terlebih lagi wajahnya juga tidak mendukung untuk di ajak bercanda ataupun melontarkan sebuah guyonan.     

Sean terkekeh kecil.     

Cup     

Ia berhasil mengecup kening Erica dengan cepat. "Kamu menggemaskan."     

Erica segera menjauhkan wajahnya dari Sean. Lihat? Laki-laki itu sepertinya sudah gila. Wajah datarnya ini yang di sebut menggemaskan? Apa mata Sean mulai minus?     

"Dasar aneh."     

"Tapi sayang?"     

"Tidak, untuk apa?"     

"Oh iya, hanya perjanjian. Benar?"     

Erica menganggukan kepalanya, "Kira-kira seperti itu cara kerja cinta yang sesungguhnya."     

"Bahkan kamu tidak mengerti apa itu cinta, iya kan? Sok mengajari diriku."     

"Tapi, aku berhasil."     

Skakmat     

Sean membungkam mulutnya, baru kali ini ia kalah saat adu mulut dengan Erica. Tamparan kenyataan yang sangat terasa pada dirinya. Iya, ia sudah jatuh pada pesona gadis yang berada di sampingnya ini. Tapi ia malu dan terlalu gengsi untuk mengatakan perasaannya yang sesungguhnya.     

Melihat Sean yang bergeming merupakan suatu hal yang Erica tunggu-tunggu, dalam hati ia tersenyum senang merasa bangga dengan apa yang diucapkannya barusan. "Mulai kalah berargumentasi?"     

"Tidak." Masih mempertahankan gengsinya, Sean lebih memilih untuk meraih botol minuman soda untuk menyapa dinding tenggorokannya yang terasa tercekat saat ini.     

Jika Erica bisa mengeluarkan ekspresi tawa jahatnya, ia mungkin sudah mengeluarkannya sedari tadi. Tapi ia terlampau malas untuk melakukannya hal itu karena menurutnya sangat membuang-buang tenaga. Hei orang seperti apa yang berekspresi di samakan dengan terkurasnya energi? Mungkin hanya Erica seorang.     

"Loser," ucap Erica sambil mengambil ponsel milik Sean. Selama ia menjadi satu-satunya gadis yang berada di kehidupan Sean, dengan bebasnya laki-laki itu memberikan akses penuh tentang apa saja yang dimilikinya. Bahkan Sean tidak pernah berpikir jika suatu saat mungkin saja Erica meninggalkan dirinya dan memberitahu banyak orang tentang ini semua. Tapi pada saat itu terjadi, Sean sudah pasti akan membinasakannya terlebih dahulu. Pembunuh bayaran tidak akan pernah meleset dari target sasarannya.     

"Lover," balas Sean sambil menyunggingkan smirk pada wajahnya. Ia dengan santai mengungkapkan perasaannya dengan nada canda tanpa ia sadari sedikitpun, semuanya murni karena refleks ia suka menggoda Erica.     

"Bullshit, kita belum menjalin hubungan apapun." balas Erica dengan bola mata yang memutar, ia merasa sangat jengkel dengan Sean yang menurutnya terlalu berlebihan menanggapi hubungan mereka. Padahal hanya dirinya yang berniat mengajarkan kasih sayang, dan Sean yang berperan sebagai objek yang ia akan ajari. Tapi rasanya semakin berat karena kerjaan laki-laki itu setiap hari hanya menggodanya.     

"Jadi, kamu ingin hubungan yang seperti apa dengan ku, sayang?" ucap Sean sambil menatap lekat kedua manik mata milik Erica yang selalu menatap orang lain dengan tajam.     

Erica mengangkat bahunya acuh. "Panggil sayang tanpa status, dasar laki-laki." ucapnya dengan decakan sebal. Menurutnya, memang sebagian laki-laki itu seenaknya. Terlebih lagi yang seperti Sean, modal tampan dan harta tapi tidak berani menyikapi perasaannya. Sayang sekali.     

Mendengar hal itu, Sean langsung saja terkekeh. "Yasudah, mulai detik ini kita berpacaran." ucapnya dengan wajah tenang jika apa yang ia katakan barusan buka lah hal yang berat sedikitpun.     

"Cara menyatakan perasaan model apa yang seperti itu? Sangat tidak berkesan." ucap Erica sambil lagi-lagi memutar kedua bola matanya, yang jika ditotalkan mungkin sudah hampir beberapa kali ia melakukan gerakan yang menunjukkan kejengkelan itu.     

"Nanti kalau kamu di lamar oleh pembunuh bayaran seperti ku, akan aku bawa D. Krack beserta para kenalan ku dari berbagai belahan dunia yang bekerja sebagai penyeludupan senjata illegal, buronan, sniper, atau bahkan para mafia lainnya yang mengenal ku. Bagaimana? Apa itu semua cukup membuat mu terkesan?" ucap Sean sambil menaik turunkan alisnya. Ia sudah menerawang jauh saat apa yang ia bilang barusan terwujud di masa depan. Bayangkan saja melamar seorang gadis di meriahkan dengan beberapa temannya yang mempunyai catatan kriminal dimana-mana membuat rongga dadanya tergelitik geli.     

"Tidak, tidak perlu. Lepas dari mu adalah cita-cita ku saat ini sampai seterusnya." Tolak Erica mentah-mentah. Ia sama sekali tidak kepikiran untuk menjalin rumah tangga dalam waktu dekat ini, apalagi calon suaminya seperti Sean. Penolakan besar harus segera ia luncurkan dan di tanamkan pada benaknya.     

"Apa kamu yakin? Biasanya para assassin mempunyai tingkat ngangenin yang tinggi." Lagi dan lagi Sean bernada seperti seolah-olah tengah menggoda Erica. Ia suka sekali membuat gadis itu jengkel dengan segala ucapan dan tindakan yang seenaknya.     

"Tidak peduli."     

"Kalau begitu, aku ingin berjanji."     

"Apa?"     

"Aku tidak akan bertindak konyol lagi."     

"Mustahil."     

"Saat mengamati Allea malam ini, bagaimana? Apa kamu setuju?"     

"Apa hukumannya jika dilanggar?"     

"Kamu bebas dua hari tanpa diriku."     

"Lima hari atau tidak sama sekali."     

Sekarang, gantian Sean yang memutar kedua bola matanya. Hukuman macam apa yang memberikan jarak lima hari tidak bertemu dengan seorang gadis yang sudah biasa hari di di hidupnya? "Tiga hari atau masalah ini tidak akan kita bahas." ucapnya seperti menawarkan keringanan yang jujur saja lebih menguntungkan untuk dirinya. Laki-laki seperti Sean memang tidak pernah mau merasa kalah, seharusnya kan mengalah.     

Erica mengerutkan keningnya, seperti sedang menimang-nimang penawaran Sean. Ia berpikir lebih baik menuruti saja apa yang diminta laki-laki itu. Lagipula, tanpa adanya Sean mungkin kasus ini tidak akan pernah bisa terlaksana sampai akhir.     

"Baiklah, deal." ucap Erica pada akhirnya. Memang benar ia tidak mempunyai pilihan lain, bukan? Mungkin akan mudah bagi Sean untuk merasa serius dengan kasus ini dan tidak ada lagi candaan tidak jelas yang di lontarkan oleh laki-laki itu.     

Sean tersenyum sumringah lalu menunjuk ke arah bibirnya. "Beri aku lumatan." ucapnya sambil menaik turunkan kedua alisnya, ia sudah menutup kedua matanya berharap jika apa yang ia minta akan segera dituruti oleh Erica.     

Pada detik itu juga, Erica langsung meninju perut Sean dengan kencang. Laki-laki menyebalkan.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.