My Coldest CEO

Delapan puluh dua



Delapan puluh dua

0"SELAMAT PAGI KOTA NEW YORK!" seru Xena sambil menyibakkan selimut yang membungkus tubuhnya. Ia dengan pakaian tidurnya yang bermotif kartun Disney itu langsung saja melompat dari kasur sambil menoleh ke sebelahnya yang terdapat Vrans dengan telanjang dada tengah memeluk guling. Ah sangat menggemaskan.     

Xena dengan ide cemerlangnya langsung saja menindih tubuh Vrans dengan tubuh mungilnya.     

Bruk     

Tepat sasaran.     

Vrans langsung membuka bola matanya, lalu melihat Xena yang sudah berada tepat di atas tubuhnya dengan sebuah senyuman manis yang terlihat sangatlah menawan. "Selamat pagi kesayangan Vrans." ucapnya dengan nada serak khas orang bangun tidur. Ia menutup mulutnya karena menguap akibat rasa kantuk yang masih melanda tubuhnya.     

Xena terkekeh lalu langsung saja mencium pipi kanan dan pipi kiri Vrans secara bergantian. "Pagi bosayang yang tampan," balasnya sambil beranjak dari atas tubuh laki-laki itu. Ia berdiri tegak lalu langsung saja membuka tirai jendela kamarnya, membuat akses masuk untuk cahaya matahari pagi. Ia menilai harinya dengan semangat mengingat tingkah romantis Vrans tadi malam yang akan selamanya melekat pada sistem kerja otaknya yang menyimpan banyak berkas penting tentang memori laki-laki itu.     

"Apa kamu ingin ku buatkan sarapan?" Tanya Vrans sambil merenggangkan kedua tangannya ke udara. Setelah cukup puas, ia langsung saja beranjak dari tidurnya. Hanya memakai celana pendek tanpa balutan kaos membuat dirinya terlihat berkali-kali lipat tampan dari waktu-waktu lainnya.     

Xena menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia pikir Vrans gemar sekali membuat menu sarapan untuk mereka. "Tidak, biar disiapkan saja untuk hari ini." ucapnya sambil berjalan menuju meja rias untuk menyisir rambutnya dan setelah itu langsung membuat cepolan rambut yang tinggi supaya saat mandi tidak terkena air. Karena waktu dirinya membilas rambut adalah sore hari setelah pulang kerja dalam waktu seminggu tiga kali. Kalau membilas rambut pada pagi hari rasanya sangat merepotkan.     

"Menu sarapan yang biasa saja?" Tanya Vrans sambil menaikkan sebelah alisnya, ia berjalan menghampiri Xena lalu mengecup pipi kanan gadisnya dengan singkat.     

Xena hanya mengangguk, lalu tersenyum tipis sambil mengalungkan kedua tangan pada leher Vrans sambil terkadang tangannya itu menyibakkan berkali-kali jambul laki-laki itu. "Iya, telur mata sapi dengan bacon." ucapnya sambil menaruh kembali sisir yang di genggamnya ke atas meja rias. Di atas meja rias itu sendiri ada beberapa produk make up yang dibelikan Vrans untum dirinya, dan ajaibnya semua itu cocok untuk jenis kulit yang dimiliki olehnya.     

Menu pagi hari yang nikmat selain pancake dan waffle ya hanya itu saja. Jika menu lainnya terkesan sangat berat untuk porsi makan pagi. Lihat, jika di rumah ia selalu memperhatikan kadar kalori di setiap set menu makanan. Tapi kalau sudah di luar rumah, pasti tentu saja ia akan membeli berbagai macam makanan siap saji yang tentunya bisa membuat siapapun yang mengkonsumsinya bisa saja langsung nail berat badan, dan itulah yang paling di benci para gadis. Tapi berat badan tidak mempengaruhi Xena sama sekali, mau seberapa banyak pun ia makan.     

Vrans menganggukkan kepala, lalu menurunkan tangan Xena yang melingkari lehernya. "Aku ingin mandi," ucapnya sambil melempar sebuah senyuman manis untuk sang kekasih. Ia berjalan menjauhi Xena, lalu masuk ke dalam kamar mandi terlebih dahulu. Mempersiapkan berbagai peralatan mandi yang tentunya tidak sembarangan. Laki-laki juga butuh produk yang berkelas untuk memanjakan tubuhnya, iya kan? Tidak hanya para gadis saja yang bisa melakukan perawatan. Jadi, menurutnya memanjakan tubuh dengan merawatnya dengan baik adalah tindakan yang patut di contoh dan bukan di cela.     

Melihat Vrans yang sudah masuk kamar mandi, ia segera keluar dari dalam kamar besar ini dan langsung menuruni tangga untuk pergi menemui Chef yang sudah bersiap dengan perlahan masaknya.     

"Chef Aldo." Panggil Xena begitu sampai di kitchen saat melihat seorang laki-laki dengan umur yang hampir sama dengan Chef Dion, tapi lebih muda.     

Namanya Aldo Gramingston. Dia adalah Chef pengganti di kediaman Luis ini dan merupakan teman yang cukup akrab dengan Chef Dion. Berperilaku sopan terhadap sang tuan rumah, bertanggung jawab saat ada sisah makanan yang lupa untuk di bersihkan, dan juga pastinya memiliki perilaku baik lainnya.     

Chef Aldo menoleh ke arah Xena dengan senyuman yang tergolong ramah. "Iya, Nona. Ada apa?" ucapnya dengan nada lembut. Ia sudah rapih dilengkapi dengan pakaian seorang koki, bahkan peralatan untuk membuat sarapan pada pagi ini sudah berjajar rapih di atas meja kerja di dapur.     

"Aku ingin sarapan telur dan bacon saja, dan Vrans sepertinya juga sarapan dengan menu yang sama." ucap Xena menjelaskan apa yang ingin ia katakan pada Chef Aldo.     

"Baik, Nona. Ada tambahan lagi?"     

"Oh ya, tolong buatkan susu hangat dan americano untuk Vrans. Sudah hanya itu saja, Chef." ucap Xena menambahkannya lagi.     

Chef Aldo mengangguk paham, lalu dengan sopan izin kepada Xena untuk segera melakukan kegiatan paginya yaitu membuatkan sarapan untuk sang tuan rumah beserta kekasihnya.     

Melihat kinerja Chef Aldo yang sangat teliti dan lincahnya, ia menjadi teringat dengan sosok Chef Dion yang mungkin sudah tenang di alam sana. Ia selalu memanjakan doa yang terbaik kepada laki-laki berusia itu. Bagaimanapun juga, kematiannya adalah sebuah kesalahan yang jika saja bisa di ulang, ia lebih milih untuk menyelamatkan nyawa Chef Dion. Tapi, apa yang sudah terjadi tidak dapat di ulangi kembali.     

Tanpa sadar, satu tetes air mata berhasil menyapa permukaan wajahnya. Ia dengan cepat menghapus jejak air mata tersebut, "Jangan cengeng!" serunya seperti menyemangati diri sendiri. Ia selalu ingat perkataan Vrans yang selalu memberitahu dirinya jika kesedihan tidak akan pernah mengubah segalanya. Lagipula menurut pengakuan kekasihnya itu, jika ia memilih untuk tersenyum dan tidak bersedih lagi akan membuat Chef Dion yang berada di atas sana akan terasa senang dengan tindakannya yang kuat saat ini.     

Karena melihat seseorang yang tewas di depan mata, bukanlah hal yang mudah untuk dilupakan. Terlebih lagi orang yang tewas itu adalah seseorang yang sudah dekat dengannya.     

Karena tidak ingin larut dalam kesedihan, Xena memutuskan untuk masuk ke dalam pintu kamar mandi di lantai dasar. Untung saja di sana selalu disediakan setelan pakaian kerja formal miliknya, kalau tidak pasti ia sudah kebingungan bagaimana cara keluar kamar mandi hanya dengan bermodalkan handuk, sangat tidak sopan. Dan lagipula dirinya tidak membawa ponsel jadi jika ingin menghubungi seseorang ia pasti akan memilih untuk berteriak heboh.     

"Mandi setelah itu mulai mengawali hari bekerja satu gedung dengan bosayang, ah menyenangkan sekali rasanya!"     

...     

Drtt...     

Drtt...     

"Eumh, siapa sih?"     

Seorang gadis yang tampak masih nyaman berada di dalam alam mimpinya itu terpaksa membuka mata sambil merenggangkan kedua otot tangannya. Setelah itu, ia mulai meraba atas nakas untuk mencari benda pipih yang sella menjadi candu banyak orang.     

"Halo," ucapnya saat panggilan telepon sudah tersambung, bahkan ia tidak sempat melirik nama penelepon tersebut.     

"Hai, Allea. Bangun dan sarapan pagi."     

Ia berdecak kesal saat suara familiar Clarrie yang berasal dari seberang sana. Ia memutar kedua bola matanya, pasti ada saja tingkah laku maid satu itu yang sangat akrab dengan dirinya. Pernah sekali Clarrie menaruh beberapa puluh mainan kecoa ke atas kasurnya membuat dirinya menjerit histeris pada pagi hari yang seharusnya cerah. Dan kini, gadis itu menelpon dirinya dan berhasil membangunkan dirinya membuat ia mengumpat kasar dalam hati.     

Tahan Allea, tahan.     

"Berisik kamu, aku masih mengantuk." ucap Allea yang hendak memejamkan matanya kembali.     

"JANGAN TIDUR LAGI!"     

Baiklah, dengan cepat Allea langsung membelalakkan kedua bola matanya kala suara melengking milik Clarrie menyapa indra pendengarannya dengan nyaring.     

"Iya baik, aku mengalah." ucap Allea pada akhirnya, ia menutup panggilan telepon lalu segera menaruh ponselnya kembali ke atas nakas.     

Jam menunjukkan pukul 06:30 AM. Masih banyak waktu untuk dirinya mempersiapkan setelan baju dan juga ber-make up.     

"Luis Company, I'm coming." ucapnya sambil beranjak dari kasur. Ia mulai memakai sandal berbulu miliknya lalu berjalan menuju meja rias. Kaos kebesaran yang di padukan dengan hotpants adalah setelan baju tidur favorit yang selalu ia kenakan setiap malamnya.     

Dengan sedikit malas dan langkah yang mulai goyah, akhirnya Allea duduk di kursi yang tersedia pada meja rias. Kursi bulat dengan tekstur sangat empuk saat bersentuhan dengan bokong siapa saja yang mendudukinya akan terasa nyaman.     

Allea menatap pantulan dirinya di cermin, lalu menyisir rambutnya yang menjuntai lurus. Dengan gaya kuncir ekor kuda, ia sudah selesai menata rambutnya dan segera menaruh kembali sisir ke atas meja rias. Dengan kedua tangan yang menopang wajahnya, ia masuk ke dalam dunia cermin yang membawa dirinya pada ingatan menyenangkan yang pernah terjadi pada kehidupannya.     

Setelah cukup menghabiskan waktu hampir sepuluh menit dengan kegiatan yang tidak jelas, tentu saja ia langsung beranjak dari duduk karena tidak ingin lagi melakukan hal yang dapat mengurangi waktu bersiap-nya.     

Allea dengan mulut menguap kecil mulai masuk ke dalam kamar mandi, lagi-lagi ia menatap pantulan dirinya di cermin besar yang terpasang jelas disana. Kamar mandi luas ini manjadi salah satu tempat favorit dirinya untuk melepas penat karena dapat berendam di bathtub yang berisi air hangat dengan aroma kesukaannya.     

Setelah selesai menyiapkan apa saja yang dibutuhkan untuk mandi dan dirinya pun sudah melucuti pakaian yang melekat pada tubuhnya, akhirnya ia berjalan masuk ke dalam bilik yang menjadi tempat untuk mandi di batasi dengan kaca buram dan pintu buram juga. Shower sebagai media mandinya kali ini, membasahi tubuh Allea dengan sapuan air yang tidak terlalu dingin untuk pagi hari ini. Segar, itu yang ia rasakan.     

Setelah lima belas menit lamanya, Allea akhirnya menyudahi mandi dengan menyambar baju handuk yang berada di gantungan. Ia dengan cepat memakainya, lalu berjalan ke arah wastafel untuk menyikat gigi dan membersihkan wajah.     

Banyak kegiatan seorang gadis di pagi hari untuk memenuhi setiap nutrisi kulitnya. Dikiranya sudah tuntas melakukan ritual mandi dan bersih-bersih tubuhnya, Allea mulai keluar dari kamar mandi lalu langsung mengambil satu setelan baju di dalam lemari dan jas formalnya beserta dengan pakaian dalam.     

Allea memakai semua itu dan membutuhkan waktu hanya lima menit lamanya. Ia berjalan menuju meja rias kembali, menata rambutnya di gerai lurus lalu mulai memakai make up yang tidak terlalu tebal karena make up yang berlebihan membuat dirinya terlihat terlalu dewasa.     

"Perfect, Allea." ucapnya sambil menatap hasil akhir penampilannya saat ini. Semua sangat sempurna dari atas sampai bawah, ia beranjak dari duduknya lalu berjalan mengambil tas jinjing berwarna hitam yang di dalamnya terdapat benda yang biasa di bawa oleh seorang gadis seperti dirinya, ia juga memakai high heels hitam senada dan oh jangan lupakan ponselnya yang tergeletak manis di atas nakas.     

"Siap bekerja, dan siap melakukan segala aktivitas kantor yang melelahkan. Semangat bekerja!" serunya seperti menyemangati dirinya sendiri untuk pagi hari yang cerah ini. Setelah merasa siap, ia langsung membuka pintu kamarnya dan menuruni anak tangga. Terlihat Clarrie yang tampak sedang menyiapkan piring makan untuk dirinya.     

"Nona sangat cantik." Puji Clarrie sambil terkekeh mendapati wajah masam yang di tunjukkan Allea.     

"Tidak ada kata maaf untuk pagi ini, Clarrie. Dan sekarang aku merasa lapar." ucap Allea sambil duduk di kursi makan, ia paham sekali dengan sifat Clarrie yang menjengkelkan.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.