My Coldest CEO

Delapan puluh lima



Delapan puluh lima

0"Apa seseorang yang terbunuh dengan pistol bisa hidup kembali? Rasanya sangat mustahil." gumam Xena tanpa gadis itu sadari terdengar juga oleh Erica karena memang ruangan ini sangat hampa terlebih tidak ada yang berniat angkat suara seperti tadi mengobrol mengenai banyak hal. Dan pada detik itu juga, Erica membelalakan bola matanya merasa terkejut dengan apa yang di ucapkan Xena.     

Dengan berdehem kecil, Erica mengembalikan ekspresi wajahnya menjadi datar. "Apa yang kamu katakan?" Tanyanya berpura-pura tidak tahu menahu tentang apa yang di ucapkan Xena. Ia ingin menggali lebih dalam tentang apa saja yang di ketahui sahabatnya itu saat ini. Apa memang benar dia sudah tau, atau hanya dasar pemikiran yang refleks terucapkan.     

Xena mengerjapkan kedua bola matanya. Ia menoleh ke arah Erica, sedetik kemudian helaan napas ringan meluncur begitu saja. "Aku hanya berpikir kemungkinan yang mustahil," ucap Xena sambil melirik layar laptopnya dengan tidak bersemangat. Ia kembali memikirkan tentang apa yang sebenarnya terjadi, ekspresi wajahnya berubah menjadi sendu. "Aku hanya berpikiran jika ada seseorang yang kembali berniat jahat pada diri ku, itu saja."     

Masih dengan perasaan yang tenang, Erica mencoba semampu dirinya untuk meyakinkan Xena jika apa yang dipikirkan gadis itu salah. Lebih tepatnya, sebenarnya ia juga ragu dengan asumsi 'salah' yang akan ia tanamkan pada benak sahabatnya. "Kenapa berpikiran sejauh itu?"     

Xena menggembungkan pipinya, merasa kesal dengan kinerja otaknya yang kembali mengingat hal yang menurut Vrans tidak boleh mengambil alih pikirannya. "Ah iya, aku hanya mengada-ada saja. Lagipula, manusia terkeren sekali pun tidak akan pernah bisa selamat dari kematian."     

"Kalau begitu, butuh es krim?" Tanya Erica guna mengalihkan pembicaraan supaya Xena tidak semakin berpikiran luas mengenai hal ini.     

Tentu saja karena Xena adalah seorang gadis yang terkadang lugu dan sangat mudah untuk di atur suasana hatinya, dengan semangat ia mengangguk memberikan respon positif dengan apa yang di tawarkan Erica. Ayolah, memangnya siapa yang berani menolak es krim di saat keadaan hati dan pikiran sedang buruk?     

"Tentu saja aku mau!" seru Xena sambil meninju udara dengan tangan kanannya yang terkepal.     

Erica terkekeh kecil sambil menggelengkan kepalanya saat melihat tingkah Xena yang selalu saja seperti itu. Sifat apa adanya Xeba membuat dirinya sangat nyaman berteman dengan gadis itu. "Kalau begitu, aku pesankan rasa favorit mu." ucapnya sambil meraih benda pipih yang menjadi candu semua orang.     

Baru saja ingin mencari kontak salah satu nomor untuk menghubunginya dengan costumer servis di restoran cepat saji yang memiliki menu es krim, pandangannya tertuju pada deretan panggilan tidak terjawab dari Sean. Kenapa dirinya tidak menyadari hal ini? Ah ya astaga ternyata ponselnya dalam mode silent yang membuatnya tidak dapat mendengar notifikasi apapun.     

"Bisa kah kamu saja yang memesan? Sepertinya aku harus buang air kecil." ucap Erica sambil menatap Xena dengan tidak enak, pasalnya ia yang mengusulkan untuk membeli es krim di pagi hari seperti ini tapi dirinya yang menyuruh Xena untuk memesan es krim tersebut.     

Xena mengangguk antusias. Lagipula hanya memesan dan tidak akan memakan waktu sampai seabad, iya kan?     

"Baiklah, segera kembali ya."     

Mendengar ucapan itu, Erica tersenyum kecil. Ia mulai beranjak dari duduknya dan mengambil tas jinjing untuk sekalian memoles kembali bedak ke wajahnya, lalu melangkahkan setiap telapak kakinya yang memakai high heels.     

Tanpa ingin merepotkan diri untuk menyapa atau sekedar membalas sapaan dari para karyawan yang menyapa dirinya, ia lebih memilih untuk fokus berjalan ke arah toilet khusus karyawan dengan jawaban yang tinggi.     

Sesampainya di toilet, ia berpapasan dengan Allea yang juga ingin keluar dari tempat itu.     

"Erica?!" panggil Allea yang merasa terkejut karena memang tadi arah pandangnya tidak melihat ke depan melainkan sibuk mengatur anak rambutnya yang selalu menjuntai bebas.     

Mereka berhenti saling berhadapan, dengan Erica yang menaikkan sebelah alisnya dengan tatapan datar yang masih menjadi ciri khasnya pada detik ini juga. "Hai, Allea."     

Allea tersenyum kikuk, lalu menggaruk pipinya yang tidak gatal merasakan kembali hawa canggung yang menyeruak di antara mereka. "Ingin ke toilet?"     

Dalam hati, Allea merutuki pertanyaan yang terlontar dari mulutnya untuk Erica. Sudah tidak diperlukan lagi pertanyaan seperti itu saat seseorang ingin masuk ke dalam toilet, iya kan?     

Awalnya Erica ingin memberikan tatapan tajam untuk menjawab pertanyaan konyol Allea, namun ia lebih memilih untuk menyunggingkan sebuah senyuman manis. "Tentu saja," ucapnya sambil mengangguk kecil. Ia memilih jawaban yang sopan daripada jawaban seperti 'sudah jelas kamu tahu jawabannya' yang terkesan lebih mengintimidasi.     

Allea mengerjapkan kedua bola matanya, lalu membalas senyuman yang hanya sedikit itu dengan sebuah senyuman lebar miliknya. "Kalau begitu, aku permisi dulu."     

"Eh? Tunggu."     

"Ada apa, Erica?"     

Tanpa berniat menjawab pertanyaan Allea, Erica langsung saja menjulurkan tangannya ke arah bahu Allea. "Ada rambut yang jatuh di jas kantor mu," ucapnya sambil mengambil helaian rambut milik Allea.     

"Ah iya tadi aku merapihkan rambut ku yang entah kenapa menjadi kering, sepertinya aku harus ke salon."     

"Sebaiknya begitu."     

"Yasudah, sampai jumpa ya Erica!".     

Begitu Allea membalikkan badannya dan pergi perlahan menjauh dari hadapannya, Erica kembali memasang wajah yang datar. Lalu mengangkat tangannya yang masih memegang sehelai rambut Allea, dengan cepat ia menyunggingkan senyum miring andalannya.     

Karena ia tidak ingin berlama-lama di pintu masuk toilet, akhirnya ia mulai melangkahkan kakinya masuk kesana. Ia berhenti di deretan wastafel dengan cermin panjang yang selalu menjadi tempat ternyaman para wanita yang suka sekali menatap dirinya berlama-lama di dalam cermin.     

Erica menaruh tas jinjing dan ponselnya di tepi wastafel, lalu membuka tasnya untuk mencari kotak cincin yang pernah di berikan Sean untuk dirinya. Jangan salah paham, kotak cincin ini bukan seperti kotak yang berisi benda melingkar kecil yang biasa di gunakan untuk menyatakan rasa sayang kepada seseorang. Tapi, kotak ini dikhususkan untuk menyimpan barang-barang yang memang sangat rentan hilang karena mungkin ukurannya yang kecil atau mungkin tipis.     

Setelah meletakkan helaian rambut Allea di kotak tersebut dan menaruh pada tasnya kembali, ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Dalam sekejap, ia kembali menurunkan senyum miring itu. Bagaimana pun juga, ia harus mendeteksi rambut Allea bersama dengan Sean. Setahu dirinya, jika Hana melakukan operasi besar-besaran pada tubuhnya, tidak mungkin kan jika rambut juga ikut di operasi dan di ganti dengan yang baru?     

Drtt ...     

Drtt ...     

Baru saja berniat untuk menghubungi Sean terlebih dahulu, ternyata laki-laki itu kini sudah kembali menelpon dirinya. Tanpa ingin berbasa-basi lagi, ia langsung saja mengangkat panggilan telepon tersebut.     

"Hai, sayang." sapa Sean dengan nada menggoda, sudah dapat di tebak lagi jika laki-laki itu memasang ekspresi menyebalkan dengan kedua alis yang dibuat naik dan turun.     

Erica yang mendengar itu pun langsung saja memutar bola matanya merasa jengah. Lihat, satu poin pelanggaran tentang perjanjian yang seharusnya di lakukan dengan 'serius'. Memang Sean tidak bisa dipercaya!     

"Apa?" Tanya Erica dengan nada sebal sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding. Ia memang seharusnya tidak pernah mempercayai setiap ucapan Sean yang memang dalam keadaan serius sekalipun, benar-benar tidak bisa di percaya. Apalagi dengan imbalan perjanjian yang menguntungkan bagi Erica, tapi tidak mungkin Sean bisa memberikan waktu sebegitu luangnya untuk gadis itu.     

Dari seberang sana terdengar kekehan kecil seperti merasa puas karena berhasil membuat Erica kesal, dan itu selalu memang menjadi tujuannya. "Aku ingin mencium mu." ucap Sean dengan nada yang merendah dan juga serak yang mungkin terdengar sangat sexy bagi wanita lain, tapi tidak bagi Erica. Justru laki-laki itu lebih ke arah genit yang sangat membuat dirinya mual.     

"Ayolah, kamu terdengar menjijikkan." ucap Erica sambil memutar kedua bola matanya. Ia membenarkan letak ponselnya menjadi ke telinga yang berlawanan.     

Terdengar Sean yang berdehem dari seberang sana, dan Erica sangat tahu persis pasti laki-laki ini akan langsung dalam mode serius. Memang lebih baik seperti itu daripada terus menerus meladeni sifat Sean yang menurutnya pantas untuk di tendang bokongnya. "Kalau begitu, aku ingin membicarakan hal ini nanti sepulang kamu kerja." bahkan, nada bicara laki-laki itu kini sudah berubah menjadi suara bariton yang khas.     

Mendengar itu, Erica menaikkan sebelah alisnya merasa tidak akan setuju dengan ucapan Sean. "Apa? Aku masih harus mengurus sesuatu." ucapnya dengan menolak ucapan Sean secara sopan. Bahkan ia tidak menyebutkan apa maksud dari 'mengurus sesuatu' yang tadi ia lontarkan.     

Bagaimana pun juga, ia tidak bisa membiarkan Xena jalan berdua dengan Allea. Jika pendapat dirinya tentang Hana Xavon dan Allea Liagrelya adalah satu orang yang sama dengan penampilan baru, hal itu mungkin akan menjadi kesempatan untuk menculik Xena atau bahkan lebih buruknya lagi akan membunuh sahabatnya itu.     

"Kenapa? Apa kamu ingin pergi dengan seorang laki-laki?" Tanya Sean di seberang sana dengan nada tidak suka.     

Erica menaikkan sebelah alisnya. "Tidak, memang kenapa? Cemburu?" Tanyanya dengan sebelah senyum miring yang tercetak jelas.     

"Iya, kita sudah resmi berpacaran."     

"Kata siapa?"     

"Tidak ingat saat aku menyatakan perasaan padamu?"     

"Tidak, aku lupa."     

Sejujurnya, Erica kesal dengan cara menyatakan cinta seperti apa yang di maksud oleh Sean. Bagaimana pun juga, hal itu sangatlah tidak romantis. Apa menyatakan cinta bagi laki-laki, itu semudah seperti membalikkan telapak tangan?     

Terdengar geramanan dari seberang sana, Sean sepertinya sudah dalam suasana hati yang lumayan sensitif. "Jangan melupakan ku!"     

Karena tidak ingin berlama-lama mengadakan drama dengan Sean yang pastinya sangat mengulur waktu, akhirnya nia memutar kedua bola matanya. "Berhenti membahas sesuatu yang tidak penting."     

"Apa perasaan ku pada mu itu tidak penting?"     

"Iya."     

"Berhubung kamu jahat, jadi nanti aku meminta sebuah lumatan lembut dari mu."     

"SEAN!"     

"Apa, sayang?"     

"Serius lah! Sudah berapa banyak waktu yang kamu buang hanya untuk hal tidak jelas ini?!"     

"Perasaan aku sangat jelas untuk kamu."     

"Pembunuh bayaran yang aneh, dasar psikopat."     

"Tolong bedakan kedua profesi itu."     

Erica menguap, tanda rasa kantuk yang tiba-tiba menyerangnya karena Sean menarik dirinya ke dalam topik pembicaraan yang sangat tidak berbobot. Cinta? Yang benar saja!     

"Sama-sama membunuh dan merasa puas."     

"Tapi tetap saja beda."     

"Jadi, tunggu aku jam lima sore." ucap Erica pada akhirny karena sudah merasa jengkel dengan sifat Sean yang pasti tidak akan ada ujungnya.     

"Lama sekali."     

"Jangan protes, aku ingin kembali ke ruang kerja ku. Sampai jumpa."     

Pip     

Telpon di mastikan secara sepihak tanpa Erica yang bersusah payah untuk mendengarkan kalimat protes yang diluncurkan Sean pada dirinya.     

Karena ia sudah selesai mencari tahu mengenai notifikasi telepon yang diluncurkan Sean terhadapnya, ia langsung saja memasukkan kembali ponsel ke dalam tas dan menutupnya dengan rapat. Dan setelah berhasil menutup kembali tasnya, ia mulai keluar dari ruangan tanpa merasa tidak berdosa sedikitpun.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.