My Coldest CEO

Delapan puluh enam



Delapan puluh enam

0Disinilah Orlin bersama dengan Allea, mereka sedang duduk santai di sofa hanya berniat untuk merilekskan kinerja otak supaya tidak terlalu penat. Meminum secangkir teh hangat adalah hal yang paling tepat, apalagi di temani juga dengan cookies coklat yang membuatnya menjadi lebih sempurna dan nikmat.     

"Jadi, kamu sudah di lamar oleh Niel?" Tanya Allea sambil menatap serius ke arah Orlin. Sedari tadi mereka hanya membicarakan tentang bagaimana mulusnya hubungan gadis yang berada di sampingnya ini bersama dengan sang kekasih. Apalagi mendengar penuturan perkataan tentang apa yang di ucapnya Orlin, Niel sangatlah sederhana namun tetap manis.     

Dengan mata yang berbinar, Orlin mengibaskan kedua tangannya di hadapan wajah merasa jika kini permukaan kulitnya menjadi terasa hangat dan pasti sudah memerah. "Tentu saja, ia ingin serius kepada ku." ucapnya sambil menghentikan gerakan mengibasnya kala melihat wajah antusias Allea.     

"Eh? Jangan merebut Niel dari aku loh ya!" ucap dengan heboh. Ia hanya takut jika gadis yang memang pada dasarnya ini memiliki wajah dan penampilannya yang lebih darinya, tetap saja tidak akan pernah di lirik kesalahannya.     

Allea yang mendapatkan respon seperti itu hanya terkekeh kecil, lihat sekarang Orlin cemburu padanya. Astaga, ia tidak pernah memikirkan hal menggelikan itu. Bagaimana bisa ia merebut sesuatu yang sudah menjadi milik orang lain? Terdengar sangat tidak keren. "Ayolah Orlin, aku tidak memiliki niat apapun untuk merebut siapa pun." ucapnya sambil menaruh jemari lentiknya di depan mulut untuk menutupi kekehan ala para wanita.     

Orlin bernapas lega, lalu menyesap secangkir teh yang terasa hangat ini. "Lebih baik indoor atau outdoor? Aku hanya berpikir jika di dalam ruangan sepertinya tidak bersusah payah menahan hawa panas atau terpaan angin yang mungkin saja menerbangkan gaun ku, tapi aku merasa tertarik jika di luar ruangan." ucapnya sambil menopang dagu dengan tangan kanannya setelah berhasil menaruh kembali cangkir ke atas meja.     

Allea menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jujur, ia sangatlah payah dalam hal ini. Terlebih lagi ia memang tidak pernah di perlakukan spesial oleh laki-laki manapun. Dengan raut wajah yang sedikit tidak yakin, ia tersenyum kecil. "Lebih baik di outdoor. Terkesan lebih menyatu dengan alam." ucapnya sedikit merasa aneh dengan kalimat saran yang keluar dari mulutnya. Menyatu dengan alam? Sebaiknya Orlin mengadakan pernikahan di hutan saja supaya lebih akrab dengan alam.     

Orlin yang mendengar ucapan Allea akhirnya tertawa terbahak-bahak. Ia sangat geli mendengar ucapan gadis yang berada di sampingnya ini. "Apa maksud mu? Menyatu dengan alam? Ayolah Allea, ini bukan pernikahan raja rimba dan ratu rimba."     

Konyol. Itu yang bisa disimpulkan Orlin ketika mengobrol dengan Allea. Ia merasa satu frekuensi dengan gadis itu walaupun baru beberapa hari berkenalan. Atau karena efek dia satu ruangan dengan Allea? Mungkin seperti itu, makanya ia terbiasa dengan sifat Allea yang menurutnya sangat menyenangkan.     

Allea terkekeh kecil, lalu menyandarkan tubuhnya di kepala sofa. "Kalau begitu, lebih baik di lakukan di dalam ruangan saja. Menyewa ballroom yang luas dengan dekorasi elegan, sangat menjadi idaman."     

"Kalau menjadi idaman, kenapa kamu tidak menikah dan lebih memilih untum menyarankan hal ini?"     

"Karena pelatih tidak bermain, Orlin."     

Merasa tidak mengerti dengan apa yang di ucapkan oleh Allea, akhirnya Orlin memutuskan untuk beranjak dari duduknya. "Ah terserah kamu saja, aku tidak paham. Apa kamu ingin ikut pergi ke ruangan Xena?" Tanyanya sambil membenarkan lipatan baju yang tercetak sementara karena posisi duduknya yang jauh dari kata anggun.     

Allea menggelengkan kepala seolah-olah menolak ajakan Orlin untuk menemui Xena. Hei, lagipula tumpukan dokumen yang perlu di kerjakan sangatlah banyak. "Tidak, kamu saja. Sepertinya aku harus segera mengerjakan pekerjaan ku sebelum menggunung." ucapnya sambil ikut beranjak dari duduk dan segera berjalan ke arah meja kerjanya.     

Melihat itu, Orlin mengangguk-anggukkan kepalanya merasa paham karena benar saja tumpukan dokumen di atas meja kerja Allea sangatlah banyak. Tanpa ingin memaksa atau bahkan meminta supaya Allea ikut bersamanya, ia akhirnya mulai melangkahkan kaki dan berjalan ke meja kerjanya untuk mengambil ponsel. "Aku permisi dulu ya, Allea. Mungkin hanya sepuluh menit." ucapnya sambil menaikkan bahunya dengan ragu. Sudah di pastikan jika Xena di padukan dengan Orlin, maka bisa-bisa kata 'sepuluh menit' itu berubah menjadi setengah jam.     

Allea menganggukkan kepalanya, lalu memberikan kan ibu jarinya ke udara. "Siap, cepat kembali atau pekerjaan kamu yang semakin menumpuk."     

Orlin menganggukkan kepalanya dengan paham, lalu melambaikan tangannya. "Bye!" serunya sambil mulai melangkah kaki keluar ruang kerja dengan senyuman yang selalu menghiasi wajah cantiknya.     

Sekarang kembali pada Allea. Gadis itu tampak menggaruk pipinya yang tidak gatal sambil merapihkan tumpukan dokumen yang terlihat berserakan di atas meja kerjanya. Tidak pernah ada kerja yang tidak mengeluarkan tenaga, dan mungkin sekarang dirinya lelah. Beruntung besok adalah hari libur.     

Dengan gerakan santai, akhirnya Allea mendaratkan bokongnya ke kursi kerja. "Ah, memulai hari dengan semangat yang baru." gumamnya sambil merenggangkan kedua tangannya ke udara. Terdengar suara 'kretek' pertanda tulangnya yang merasa pegal dan sepertinya ia harus segera ke tukang urut untuk merilekskan kembali tubuhnya.     

Ditatapnya layar laptop yang mulai membuat dirinya bersiap-siap untuk merasakan otot matanya yang lelah karena terlalu lama menatap benda yang menjadi hal utama untuk melakukan segala pekerjaannya.     

"Baiklah, ini sudah pekan terakhir dalam minggu ini, semangat Allea!" seru Allea seperti menyemangati dirinya sendiri. Ia meninju udara dengan senyum yang sumringah lalu dengan cepat langsung memfokuskan kembali titik pandangnya pada layar laptop.     

...     

Erica yang sudah keluar dari toilet pun langsung saja mengarahkan kakinya masuk ke dalam ruangan kerja pribadi miliknya dengan Xena. Terlihat disana sudah ada Orlin yang dengan semangatnya menggoyangkan pinggul ke kanan dan ke kiri mengikuti setiap dentuman lagu salah satu artis terkenal yang mendunia. Sekarang, ruang kerjanya kini terlihat seperti ruangan konser.     

"Hai, Erica! Kemari lah bergabung dengan kita."     

Xena menyapa Erica dengan tindakan yang sebelas dua belas dengan Orlin. Padahal ia ke toilet tidak memakan waktu lama, tapi saat ia kembali ruang kerjanya sudah mirip dengan kapal pecah. Membuat dirinya sempat mematung, namun tidak bertahan lama, hanya beberapa detik lalu mimik wajahnya berubah menjadi datar lagi.     

Dengan menghembuskan napas ringan, ia mulai melangkahkan kakinya menuju meja kerja untuk mengambil segala keperluan kerjanya. Ia mungkin akan bertukar ruangan dengan Orlin untuk sementara ketika melihat kedua sahabatnya itu yang saling menebarkan kebahagiaan yang bisa ditebak pasti membicarakan pernikahan. Ah iya, menikah ya? Hal itu bahkan tidak pernah di pikirkan dirinya sama sekali. Bahkan berniat untuk menjalin kasih saja tidak ada, merepotkan. Apalagi mengurus buah hati yang pasti lebih menyita waktu dan tenaga melebihi dengan terkurasnya tenaga oleh pekerjaan.     

"Loh? Ingin kemana?" Tanya Xena ketika melihat Erica yang sudah bersiap dengan laptop dan tas jinjing-nya. Ia menaikkan sebelah alisnya, apa Erica tidak berniat bergabung merayakan kebahagiaan dirinya dan juga Orlin? Ya, benar juga sih untuk apa Erica melakukan tarian konyol yang bahkan untuk menari biasa saja sahabatnya itu sangat tidak pernah ingin berpartisipasi.     

Erica yang hendak melangkah untuk mendekati pintu ruang kerja pun terpaksa harus menghentikan langkahnya untuk menoleh dan melihat ke arah Xena juga Orlin. "Ingin ke ruangan Orlin, kita bertukar tempat kerja sementara ini dulu, ya?"     

Mendengar hal itu, Orlin membulatkan kedua matanya. "ASTAGA?! APA KAMU BERCANDA?" Tanyanya dengan nada yang super duper meledak karena merasakan hal yang sangat luar biasa. Satu ruang kerja dengan Xena? Bisa-bisa mereka bekerja sambil membicarakan banyak hal yang tidak penting.     

Erica terkekeh kecil, lalu menganggukkan kepalanya dengan singkat. "Tentu, untuk apa aku berbohong?" ucapnya sambil berjalan mendekati pintu, ia menatap ke arah Xena. "Tetap bekerja, jangan bercanda terus menerus." ingatnya pada gadis yang tengah menatapnya dengan sorot mata kebingungan. Pasalnya, ini adalah suatu hal yang sangat ajaib saat Erica mengalah pada Orlin dan langsung berinisiatif untuk pindah ke ruangan gadis itu. Demi apapun, Xena merasa jika Erica mungkin saja kerasukan sesuatu yang membuat kinerja otaknya berputar tidak jelas. Ah, ayolah Xena! Tidak perlu memikirkan suatu hal yang bahkan tidak benar adanya.     

"Siap, calon Nyonya Xavon!"     

Tidak, itu bukan ucapan Xena, melainkan Orlin. Dalam keadaan bagaimanapun, Xena belum sepenuhnya menyetujui tindakan konyol Erica yang dekat dengan Sean si laki-laki pembunuh bayaran yang pernah menyakiti dirinya tanpa belas kasihan sedikitpun.     

Erica hanya terkekeh kecil. "Sampai jumpa," ucapnya sambil keluar dari ruang kerja tanpa merespon apa yang di ucapkan oleh Orlin. Ia ingin malaksanakan tugasnya untuk mencari tahu lebih dalam kebingungan ini.     

Dengan langkah yang pasti, membuat beberapa pasang mata menoleh kepadanya karena selain terkenal dengan raut wajah datar yang terkesan mengintimidasi ternyata Erica juga di kenal sebagai sosok yang anggun walaupun gaya berpakaiannya sedikit lebih menjorok untuk anak laki-laki. Ah tapi apapun pakaiannya, jika gadis itu cantik dengan pahatan yang sempurna, tetap saja indah dan pantas untuk di pandang.     

Dengan satu hembusan napas kecil, Erica menatap pintu ruang kerja milik Orlin berdua dengan Allea. Dengan sopan, ia mengetuk pintu sambil mendorong gagang pintu untuk membuka peluang bagi dirinya masuk ke dalam sana. "Permisi, Allea."     

Kebetulan, Allea yang sedang fokus menatap layar laptop pun tersentak kaget dengan kehadiran Erica yang tiba-tiba. "Astaga, Erica? Ada perlu apa?"     

Erica langsung saja berjalan menuju meja kerja Orlin, lalu membereskan peralatan yang menurutnya hanya memenuhi meja kerja. Bahkan kini laptop milik Orlin sudah ia masukan kembali ke dalam laci meja kantor. "Bertukar ruang kerja."     

"Lalu, jika laptop Orlin ada disini, bagaimana ia bekerja?" Tanya Allea dengan penasaran.     

Erica menaruh laptop dan tas jinjing-nya ke atas meja, lalu mendongakkan kepalanya menatap ke arah Allea. "Xena memiliki cadangan laptop, dan Orlin bisa memakainya."     

Allea hanya menganggukkan kepalanya merasa paham. Sedangkan Erica, kini gadis itu tengah memasukkan kembali beberapa dokumen yang di ambil dari flashdisk-nya.     

"Ku piki--"     

"Bisakah kita berteman?"     

Pada detik itu juga, Allea membelalakkan matanya mendengar ucapannya yang di potong oleh Erica. Bukan tentang ucapan yang di sela, tapi apa yang di katakan gadis itu mampu membuatnya merasa bertanya-tanya sekaligus senang.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.