My Coldest CEO

Delapan puluh tujuh



Delapan puluh tujuh

0"Bisakah kita berteman?"     

Pada detik itu juga, Allea membelalakkan matanya mendengar ucapannya yang di potong oleh Erica. Bukan tentang ucapan yang di sela, tapi apa yang di katakan gadis itu mampu membuatnya merasa bertanya-tanya sekaligus senang.     

"Apa aku tidak salah dengar?" Tanya Allea sambil menatap Erica yang berada di seberangnya dengan lekat. Ia takut jika Erica buka lah gadis biasa yang ia kenal. Ah astaga, maksudnya Erica di gadis beku dan dingin. Tapi justru sekarang dirinya di ajak berteman, apa tidak salah bicara?     

Erica menaikkan sebelah alisnya, lalu menggeleng kepalanya dengan pelan. "Tidak berbohong, aku bersungguh-sungguh." ucapnya dengan nada yang jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Ia sudah mulai terbiasa berekspresi berkat bantuan Sean yang sangat menjengkelkan, membuat dirinya mau tidak mau harus mengeluarkan ekspresi lain supaya dapat memberitahu laki-laki itu kalau dirinya tengah jengkel. Sepertinya, lagi dan lagi ia harus berterimakasih pada Sean si pembunuh bayaran yang menyebalkan dan aneh.     

Allea menghembuskan napasnya lega kala pemikiran negatif tentang kemungkinan besar yang menyebabkan perubahan sifat 180 derajat pada Erica. Bisa saja ia tadi berpikiran sampai ke UFO yang bisa saja membersihkan memori Erica, ah baiklah sepertinya lupakan saja hal ini.     

"Bisa, tentu saja bisa!" seru Allea dengan senyuman manis yang mengembang. Berinteraksi lancar seperti ini dengan Erica rasanya seperti mimpi yang terwujud karena gadis itu benar-benar sangat tidak tersentuh. Bahkan untuk masuk ke dalam kehidupannya saja terasa sangat mustahil. Dan saat ini, Erica menawarkan pada dirinya sebuah pertemanan? Anggap saja terlalu berlebihan, tapi kemustahilan ini benar terjadi.     

Erica menganggukan kepalanya, lalu mengedarkan pandangan menelusuri setiap sudut ruangan yang jarang sekali ia menginjakkan kaki disini. Terasa sangat berbeda sekali dengan ruangannya dan Xena. Jika ruang kerjanya terlihat lebih mewah dan berkelas bahkan interiornya pun di rancang sedemikian rupa karena memang menjabat menjadi sekretaris adalah posisi yang tinggi, tapi jika dibandingkan dengan ruangan Orlin dan Allea terlihat lebih sederhana dan enak di pandang.     

Di Luis Company, semua aspek memandang derajat. Bahkan seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, basement saja memiliki tingkat yang berbeda. Tapi tetap saja perbedaan derajat tidak pernah membandingkan sifat satu dengan yang lainnya. Berkat didikan Leo yang mengajarkan para karyawannya untuk tetap rendah hati, bahkan bersikap sopan kepada seorang petugas kebersihan sekalipun.     

"Apa kamu nyaman berada disini?" Tanya Erica yang kembali memusatkan pandangannya pada Allea. Ia sepertinya kurang menyukai ruangan ini. Bukan karena interiornya yang terkesan biasa saja atau terlihat tidak ada benda dengan harga jutaan, tapi mungkin hanya karena faktor tidak terbiasa saja.     

Allea ikut menelusuri pandangannya seperti apa yang di lakukan Erica tadi, lalu manik matanya kembali menatap ke arah gadis yang tengah menatapnya dengan penasaran. "Nyaman, kok. Apalagi yang harus aku keluhkan? Berada di Luis Company saja sudah membuat aku bangga pada diriku sendiri." ucapnya sambil menampilkan senyum manis yang sangat damai. Ia langsung bisa menebak kenapa Erica berbicara seperti itu pada dirinya. Sudah di pastikan dengan 'ruang kerja spesial' yang di buatkan khusus untuk Xena yang memang diubah sedeket rupa supaya calon Nyonya Luis itu merasa nyaman. Dan kebetulan saja Erica satu ruangan dengan gadis itu.     

"Jangan berpikiran yang aneh-aneh," ucap Erica sambil terkekeh kecil. Ia mulai mengambil tas jinjing-nya, lalu memakai kacamata yang tentu saja bisa memata-matai siapapun yang menjadi targetnya seperti Allea saat ini. Dan ya, robot pengintai kecil masih berada dalam pengawasan dirinya dan juga Sean yang tengah berkutat dengan flashdisk berlogo H besar di ruangan merah hitam ditemani dengan layar proyektor yang menampilkan rekaman kamera dari robot Erica.     

Mendengar ucapan Erica yang seolah-olah tahu dengan apa yang di ucapannya dalam hati, ia tersentak kaget sambil mengerjapkan kedua bola matanya. Astaga, ia sangat malu saat ini juga. "Eh? Ah buka seperti itu, Erica. Maafkan aku." ucapnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia merasa sangat bodoh karena telah berpikir macam-macam mengenai Erica. Bisa jadi nanti gadis itu kembali melayangkan tatapan menyeramkan pada dirinya.     

Mendengar nada gugup Allea, Erica langsung saja terkekeh kecil. "Santai saja, aku tidak sedingin itu." ucapnya sambil membenarkan letak beberapa tumpuk dokumen kerja milik Orlin. Ah, sahabatnya yang satu itu suka sekali menata asal tumpukan dokumen yang bisa saja membuatnya jatuh karena tidak simetris.     

Allea hanya tersenyum malu, dengan pipi yang mulai merah merona karena merasa bodoh ketahuan jalan pikirnya dengan Erica. "Kalau begitu, apa nanti kamu ingin pergi ke salon?" tanyanya dengan mata yang berbinar seolah berharap Erica akan menyetujui ucapannya. Jujur saja, rambut milik Erica terlihat sangat cantik dan terawat untuk ukuran seorang gadis dingin yang terkesan lebih tomboi daripada feminim.     

"Salon?" cicit Erica sambil menaikkan sebelah alisnya. Seumur hidup, ia menginjakkan kaki di salon hanya terhitung dengan jari saja. Ia lebih memilih untuk merawat rambutnya sendiri daripada harus repot-repot pergi ke salon yang hanya membuat waktunya terbuang sia-sia. Ya ini hanya dari sudut pandang seorang gadis yang cukup menggilai pekerjaannya.     

Allea menganggukkan kepalanya. "Iya, nanti kita harus melakukan perawatan bersama!" serunya sambil menatap lurus ke manik mata milik Erica, seolah-olah ia sedang membayangkan hal yang mungkin terjadi nanti saat di pusat perbelanjaan.     

Dengan senyuman kecil, Erica menggaruk pipinya yang tidak gatal. Sean pasti akan menunggu dirinya jika terlalu lama pergi keluar dan membuang waktu untuk segera meneliti apa yang seharusnya mereka kerjakan mulai dari sekarang. "Eumh ku pikir lain waktu saja," ucapnya sambil memberikan Allea sebuah senyuman.     

"Kalau begitu, baiklah. Aku juga tidak akan memaksa apapun." ucap Allea sambil mengambil satu berkas yang memang sudah menunggu dirinya untuk segera dikerjakan.     

Melihat Allea yang mulai fokus dengan kerjaannya, Erica dengan gerakan hati-hati langsung menyalakan tombol kecil pada kacamata yang di pakainya saat ini. Dan kini, terlihat jelas robot pengintai kecil yang sudah berada di bahu Allea tengah merubah warnanya menjadi hitam sama seperti jas formal milik gadis itu.     

"Let's go." gumam Erica sambil melihat rekaman yang mulai terlihat pada kaca kacamata bagian dalam, tidak terlihat dari luar. Ia sambil mengerjakan dokumen yang sudah tersuguh oleh Vrans dengan teliti, tapi tidak luput juga tatapan matanya berkonsentrasi terhadap rekaman yang di ambil oleh robot pengintai yang sudah mulai mendekati kerah baju kemeja bagian depan milik Allea.     

Lagi dan lagi, Erica dibuat terkejut dengan logo H besar yang terdapat di sudut kanan laptop. Kali ini hanya seperti stiker huruf kapital yang di tempel di sana, bukan pahatan yang di buat khusus seperti yang terdapat pada flashdisk yang di temukan olehnya. Berusaha untuk biasa saja, akhirnya Erica berdehem kecil supaya tidak terlihat gerakan mencurigakan apapun. Ah tapi ekspresinya yang sangat datar sangat mustahil untuk di ketahui Allea jika dirinya sedang terkejut.     

Drtt ...     

Drtt ...     

Dan untuk kali ini, Erica mendongakkan kepalanya menatap ke arah Allea. Ternyata sering telpon tersebut berasal dari gadis itu.     

"Aku ingin mengangkat telepon dulu," ucapnya kepada Erica sambil beranjak dari duduk dan langsung melangkahkan kaki menuju sudut ruangan.     

Melihat hal itu, Erica menaikkan sebelah alisnya. Jika bukan telepon penting, kenapa gadis itu perlu seperti ruang khusus untuk mengobrol dengan seseorang yang meneleponnya itu?     

"Voice recording mode on," gumam Erica.     

//Berganti pada percakapan Allea dengan seseorang di seberang sana.//     

Allea meletakkan ponselnya ke telinga, ia penasaran dengan nama kontak 'Clarrie' yang terlihat jelas di layar ponselnya.     

"Halo, Clarrie. Ada masalah apa?" Tanya Allea to the point pada seseorang di seberang sana.     

Dirinya dan juga Clarrie memang dekat, tapi untuk bertelponan seperti ini sangat jarang. Maka dari itu, Allea merasa jika pasti ada suatu masalah yang tidak bisa di handle oleh gadis itu. Dan mungkin, harus dirinya yang turun tangan untuk menyelesaikan apapun itu.     

"Eumh seperti ini nona, ku pikir tepat di jam empat sore nanti kita perlu berbicara." ucap Clarrie di seberang sana. Tidak ada lagi nada menyebalkan yang berhasil membuat Allea naik pitam, terdengar kali ini sangat serius.     

Allea menaikkan sebelah alisnya. Ia menghembuskan napas kecil kala mengingat janji untuk pergi ke pusat perbelanjaan bersama dengan Xena dan Allea. "Aku tidak bisa. Kenapa tidak di bicarakan sekarang?" tanyanya yang masih mengusahakan supaya tetap dalam jadwal bersama teman-teman barunya.     

"Tidak bisa nona, ini terlalu penting untuk di bicarakan di telepon." balas Clarrie di seberang sana. Ia sebenarnya juga tidak enak meminta kepada Allea seperti ini.     

Allea menghembuskan napasnya. Kalau sudah begini, sudah di pastikan jika Clarrie tidak pernah bisa di bantah. "Perihal apa? Kalau masalahnya tidak penting, aku tidak akan memaafkan mu." ucapnya dengan decakan sebal. Ia takutnya Clarrie hanya berpura-pura serius padahal di seberang sana mungkin saja gadis itu tengah mengulum tawa geli yang tertahan. Masalahnya, gadis itu sudah terkenal sangat suka menjahili dirinya.     

"Kamu pasti akan terkejut," ucap Clarrie yang membuat Allea semakin bingung.     

"Katakan lebih jelasnya saja." ucap Allea merasa kesal dengan Clarrie yang menurutnya terlalu berbelit-belit menjelaskan hal ini.     

Terdengar Clarrie yang berdehem di seberang sana. "Sean Xavon."     

Kembali pada Erica, gadis itu kini membelalakkan kedua bola matanya. Ia yakin jika Sean juga mendengar ucapan seorang gadis di seberang sana yang menyebutkan namanya. Tunggu, sebenarnya ada apa dengan Allea dan Sean? Bahkan Sean tidak mengenali Allea. Baiklah ini semakin rumit dan membuat pusing.     

Beruntung Allea membelakangi dirinya, membuat ekspresi wajahnya yang terkejut tidak di lihat oleh gadis itu. Jika tidak, mungkin bisa saja Allea mencurigai dirinya.     

Kalau sudah seperti ini, ia tidak dapat menebak dengan apa yang terjadi selanjutnya. Dan sepertinya, pengintaian ini akan berjalan lama. Untuk robot pengintai itu, memiliki daya tahan yang cukup tinggi. Dan untuk mengumpulkan energi robot serangga itu, hanya perlu mengistirahatkannya dengan kendali dirinya. Sangat mudah sekali.     

"I will solve this confusion." gumam Erica sambil tersenyum miring.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.