My Coldest CEO

Delapan puluh sembilan



Delapan puluh sembilan

0Xena menatap Orlin dengan tatapan berbinar miliknya, sudah hampir setengah jam dari pertukaran ruangan yang dilakukan oleh kedua sahabatnya ini. Ia menopang dagunya dengan senyuman manis yang menghiasi wajah. "Ku pikir, kita memang memiliki pasangan dengan ciri khas yang berbeda." ucapnya dilanjutkan dengan kekehan kecil, ia menatap figura foto Vrans yang terpajang jelas di atas meja kerjanya. Foto yang ia ambil saat Vrans duduk dengan arah terbalik di atas kursi yang berada di kamarnya sambil menjulurkan lidah. Astaga sangat menggemaskan!     

Orlin menganggukkan kepalanya, menyetujui apa yang di ucapkan oleh Xena. Setiap laki-laki memiliki cara untuk menyalurkan rasa sayangnya. Hal itu juga berlaku pada Vrans, Niel, dan juga Sean. Mungkin ada yang terkesan dingin, mematikan, dan juga sangatlah romantis, tapi itu semua sama saja jika di ukur dari sudut kasih sayang. Memangnya setiap apa yang dirasakan harus di sebarkan pada orang lain? Jawabannya adalah iya. Ah tidak, itu jawaban Xena dan juga Orlin, jadi lupakan saja.     

"Menurut ku, kamu benar. Apalagi Niel, dia sangat menyayangi ku dimana pun dan kapan pun. Astaga aku jadi merindukannya," ucap Orlin sambil menahan senyuman malunya yang saat mengingat sosok Niel langsung saja berdesir sampai telinga bahkan ke rongga dadanya sekalipun.     

"Memangnya kapan seorang Xena salah?" Tanya Xena sambil menunjuk dirinya dengan bangga, ia merekahkan sebuah senyuman merasa seperti seorang layaknya pakar cinta yang paham segala lika-liku manis dan pahitnya percintaan.     

Orlin memutar kedua bola matanya, kembali lagi menjadi Orlin yang mendengarkan celotehan tidak jelas yang di selipkan dengan kepercayaan diri oleh Xena. "Ayolah, kamu saja pernah sakit karena Vrans." ucapnya sambil memeriksa pekerjaannya yang baru ia kerjakan seperempat dari tumpukan dokumen yang harus ia kerjakan. Pantas saja setiap ruangan dan setiap bagian pekerjaan di Luis Company membutuhkan partner kerja seperti Xena dan Erica atau bahkan dirinya dan Allea, dikarenakan perusahaan ini berkembang pesat yang mengharuskan dirinya untuk menyusun anggaran pengeluaran bahkan membantu tugas yang di berikan oleh Koordinator Keuangan dan Umum.     

Mendengar penuturan Orlin yang membahas masa lalu dirinya tentang bagaimana Vrans memperlakukan segala perhatiannya, membuat Xena langsung saja terkekeh geli. "Anggap saja itu usaha penambang untuk memperoleh berlian." ucapnya sambil mengusap figura foto Vrans dengan pelan, tatapannya menghangat mengingat kekasihnya yang sekarang jauh berbeda dengan yang dulu waktu pertama kali ia kenal.     

"Itu hanya alibi, iya kan?" Tanya Orlin ikut terkekeh dengan apa yang dikatakan Xena. Ayolah, memangnya siapa yang tidak sakit ketika seseorang yang tidak terlalu pandai memasak akhirnya berniat untuk membuat sebuah menu makan siang tapi di buang begitu saja ke dalam tempat sampah, itu tidak sakit? Ah mungkin memang tidak, sahabatnya itu sangat kebal dengan semua kejadian yang pernah terjadi di hidupnya. Ibaratnya, Xena seperti sudah menjelajahi pahitnya hidup. Dari hancurnya keluarga, pernah di tolak terang-terangan oleh orang yang berhasil mencuri daya tariknya, juga menjadi incaran pembunuh bayaran dan berakhir amnesia.     

"Tidak, yang benar saja. Aku bahkan tidak merasakan sakit. Vrans tidak ada apa-apanya bagi ku."     

"Ekhem."     

Xena dan Orlin serempak menoleh pada deheman berat bariton yang tiba-tiba saja menginterupsi suasana di ruang kerja Xena. Mereka langsung melihat Vrans yang sudah berdiri di depan pintu dengan wajah tenang namun masih terlihat menyeramkan karena raut wajah tenang milik laki-laki itu sama artiannya dengan tatapan dingin.     

"Eh-eh? Bosayang kenapa tiba-tiba ada disini?" Tanya Xena dengan nada gugupnya, ia menggaruk pipinya yang tidak gatal sambil merutuki kebodohannya dalam hati.     

'Vrans tidak ada apa-apanya bagi ku.'     

Astaga, ia hal bodoh yang kesekian kali ia lakukan. Bagaimana jika Vrans marah kepadanya? Bisa-bisa dirinya nanti tidak ikut pulang bersamanya atau bahkan lebih parah lagi ia tidak di beri makan.     

"AAAAA TIDAK!" pekik Xena sambil menggelengkan kepalanya dengan kuat, ia langsung saja beranjak dari duduk dan berjalan cepat ke arah Vrans sambil menekuk senyumnya.     

"Kenapa kamu?" Tanya Vrans sambil mengubah ekspresi wajahnya menjadi hangat saat menatap Xena yang dengan sangat menggemaskannya menekuk senyum.     

Xena berdiri tepat di hadapan Vrans, kini ia menggembungkan pipinya. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud berkata sep--"     

Cup     

Dalam hitungan detik, tubuh Xena menegang kala merasakan bekas kecupan hangat di keningnya. "Untuk apa aku mempermasalahkan hal itu? Bagiku, apapun kesalahan mu, pantas untuk di maafkan."     

"Tap--"     

"Karena kamu yang selalu menemani hari-hari ku. Jadi, ku pikir kesalahan mu tidak sebanding dengan seluruh kasih sayang yang kamu berikan."     

Deg     

Baiklah, kini kinerja jantungnya berdetak tidak beraturan. Astaga ucapan Vrans sangatlah manis, bagi siapapun yang mendengarnya pasti akan meleleh sama seperti Xena yang selaku kekasih dari laki-laki itu. "Jangan membuatku malu!" seru Xena dengan pipi yang mulai memerah layaknya kepiting rebus. Ia mencubit pinggang Vrans dengan gemas, bahkan sekarang laki-laki itu berani merayu dirinya di hadapan Orlin. Astaga! Tidak, ia bukan merasa hal ini adalah hal yang sangat memalukan dan menjijikkan. Tapi segala perkataan Vrans sangat tidak bagus untuk kinerja jantungnya.     

Vrans terkekeh kecil, lalu mengelus puncak kepala Xena. "Aku kesini hanya ingin memberitahu--"     

"Tapi kamu tidak marah kan?" Tanya Xena memotong ucapan kekasihnya.     

Vrans menaikkan sebelah alisnya, berpikir hal apa yang di permasalahkan gadisnya ini. Ah iya pasti perkataan Xena mengenai dirinya tadi. "Tidak masalah, sayang. Perlu aku buktikan lagi?"     

Melihat Vrans yang mulai mendekati wajahnya, Xena langsung saja mendorong dada bidang laki-laki itu dengan pelan. "Jangan mencium ku!"     

Reaksi Xena yang menggemaskan membuat Vrans terkekeh kecil. "Baiklah," ucapnya sambil mengembalikan posisinya dengan semula. "Aku hanya ingin bilang, nanti aku pulang duluan dan tidak mengantar mu ke pusat perbelanjaan. Ada banyak dokumen yang harus aku urus."     

Si penggila kerja, gelar itu bahkan masih pantas untuk di sandang oleh Vrans. Karena bagaimanapun juga, pekerjaan adalah hal yang penting sebelum memiliki niat untuk membahagiakan gadisnya. Karena cinta saja tidak cukup, ia tidak ingin munafik karena materi memang menjadi penunjang selama di dunia.     

Xena menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu, aku nanti pergi bersama Erica saja."     

"Kenapa tidak pakai mobil yang ku sediakan di kantor untuk dirimu?"     

"Ayolah Vrans, aku ingin satu mobil dengan Erica dan Allea."     

"Kalau begitu, berhati-hati lah."     

Vrans menaruh beberapa helai rambut Xena yang berjatuhan kembali ke belakang telinga. Ia menatap gadisnya penuh khawatir. Allea, satu nama yang berhasil membuat dirinya menyiapkan tindakan sebagai kewaspadaan.     

Xena menganggukkan kepalanya. "Siap, bos!"     

"EKHEM!"     

Kini giliran Orlin yang berdehem menyaksikan pasangan yang selalu menjadi daya tarik di Luis Company maupun di luar sana. Ia merasa seperti seorang kriminal karena tengah mendengarkan pembicaraan mereka secara tidak langsung.     

"EXCUSE ME, THERE'S PEOPLE HERE!" Teriak Orlin dengan lantang. Ia memutar kedua bola matanya, seperti ini lah hidup menjadi seorang sahabat yang telah mempunyai kekasih.     

Xena dan Vrans melirik satu sama lain, lalu terkekeh kecil pada saat yang bersamaan membuat Orlin langsung saja merasa jika tidak ada gunanya ia melakukan aksi protes. Ah, ia iri tidak satu tempat kerjaan dengan Niel. Jarang telponan, bahkan waktu berdua pun sangat sedikit. Tapi, kembali lagi pada peraturan hidup. Niel bekerja keras untuk dirinya, dan sebagai tabungan uang saat sudah menjalin rumah tangga bersamanya. Asalkan tidak bertemu dengan wanita penjilat, ia tidak pernah masalah dengan jarak.     

"Maaf, tidak lihat kamu." ucap Xena sambil menatap Orlin dengan kerlingan jahil. Sungguh, ia tidak bermaksud menebarkan kasih sayang di hadapan sahabatnya itu. Lagipula, lebih baik Vrans bertindak manis seperti ini di dalam ruangannya dari pada di luar.     

Vrans mengubah raut wajahnya kembali menjadi datar lalu mengecup pipi kanan dan kiri milik gadisnya. "Kalau begitu, aku kembali bekerja."     

"Semangat ya!" ucap Xena sambil mengecup balik pipi kanan Vrans. Hanya pipi, tidak lebih. Ia tidak ingin Orlin menyaksikan lebih banyak lagi tingkah manis mereka berdua. Astaga, bahkan membayangkan segala perlakuan Vrans barusan masih mampu membuat seluruh aliran darahnya berdesir geli.     

Vrans mengangguk, lalu sebagai pengakhiran dia menatap dalam manik mata Xena. Tentang hal yang nanti gadis itu lakukan, ia menjadi resah dan cemas mengingat jika Allea adalah yang ia dan beberapa sahabat Xena curigai. Dan untuk hal itu, beruntung Erica ikut bersama mereka.     

"Tetap berhati-hati," ucap Vrans mengulangi kalimat bermakna sama itu sebanyak dua kali jika di hitung dengan yang sebelumnya. Ia mengelus pipi Xena, lalu entah kenapa tubuhnya semakin mendekat dan langsung mendekap tubuh mungil itu dengan sangat erat. Percayakan, ia takut kehilangan gadis yang berhasil mencuri perhatiannya selama ini.     

Xena menaikkan sebelah alisnya, merasa terkejut dengan Vrans yang tiba-tiba memeluk dirinya. Terlebih lagi, degup jantung laki-laki itu terasa memompa sangat cepat. "Vrans, are you oke?" tanyanya sambil membalas dekapan Vrans dengan sayang, ia mengelus punggung kekasihnya itu.     

"Hanya rindu."     

Bohong. Vrans menjawab seperti itu hanya karena tidak ingin gadisnya khawatir terhadapnya. Terlebih lagi jika Xena tahu kalau apa yang sempat membuat gadis itu termenung mengenai surat yang berada di meja kerjanya kemarin. Ia tidak ingin gadisnya kenapa-napa, semua tanggung jawab dirinya.     

Setelah merasa puas dan sedikit tenang, Vrans melepas pelukan mereka. Lalu dengan gerakan cepat, ia mengecup bibir mungil Xena. "I love you, sampai jumpa nanti di rumah."     

Melihat Vrans yang sudah melangkah pergi meninggalkan ruang kerja miliknya. Xena langsung saja menghempaskan tubuhnya ke atas sofa lalu menutupi wajahnya dengan bantal kecil yang ada di sana. "ASTAGA, TOLONG XENA, TUHAN!" pekiknya dengan nada yang terdengar tertahan karena wajahnya tertutup bantal.     

Orlin yang melihat itu memutar bola matanya. "Lebih baik kamu minum, supaya lebih tenang." ucapnya menyarankan hal supaya Xena tidak terlihat seperti ikan yang kehabisan air.     

"Kalau begitu, tolong pesankan untukku. Aku tidak ingin orang lain tahu jika aku sedang malu!"     

"Baiklah, lagipula kebetulan aku ingin ke kantin."     

"Kalau di larang, bilang saja kamu masuk ke kantin atas perintah ku."     

"Baik, calon Nyonya." ucap Orlin sambil terkekeh kecil. Ia mengambil ponsel, lalu beranjak dari duduknya. "Kalau begitu, aku pergi dulu." ucapnya sambil melangkahkan kaki meninggalkan Xena yang sekarang sudah membebaskan wajahnya dari bantal. Namun kini gadis itu sedang tersenyum lebar menatap langit-langit ruang kerjanya. Astaga, apa efek Vrans sehebat itu?     

Sedangkan Xena, ia kini tengah menggigit kecil ujung bantal dengan gemas. "I love you Mr. Handsome, no matter what."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.