My Coldest CEO

Sembilan puluh



Sembilan puluh

0"Baik, calon Nyonya." ucap Orlin sambil terkekeh kecil. Ia mengambil ponsel, lalu beranjak dari duduknya. "Kalau begitu, aku pergi dulu." ucapnya sambil melangkahkan kaki meninggalkan Xena yang sekarang sudah membebaskan wajahnya dari bantal. Namun kini gadis itu sedang tersenyum lebar menatap langit-langit ruang kerjanya. Astaga, apa efek Vrans sehebat itu?     

Sedangkan Xena, ia kini tengah menggigit kecil ujung bantal dengan gemas. "I love you Mr. Handsome, no matter what."     

Isi kepala Xena kini terasa hanya ada seputar Vrans dan segala tingkah manis laki-laki itu. Ia sangat lah beruntung mempunyai Vrans dalam hidupnya. Tidak pernah kekurangan kasih sayang, ataupun kekurangan materi hidup. Semuanya terpenuhi oleh satu orang yang sekaligus mencuri hatinya sejak beberapa bulan yang lalu.     

Tiba-tiba saja telepon kantor di ruangannya berbunyi. Ia langsung beranjak dari duduk, lalu segera melangkahkan kakinya menuju deringan telepon tersebut.     

Terlihat bahwa itu adalah telepon dari kolega yang bekerjasama dengan Luis Company.     

Dengan sedikit berdehem supaya menghilangkan rasa gugupnya akibat Vrans tadi, ia segera mengangkat telepon. "Selamat pagi, Xena Carleta Anderson, Luis Company. Ada yang bisa saya bantu?" ucapnya dengan nada yang terbilang sangat sopan sesuai dengan standar saat mengangkat telepon. ia menaikkan sebelah alisnya kala belum mendengar jawaban apapun dari seberang sana. Ia bahkan mengubah panggilan untuk dirinya sendiri menjadi 'saya' karena memang terdengar lebih sopan daripada 'aku'.     

//Fyi; Penggunaan kata aku yang benar adalah untuk menunjukkan keakraban dan hanya dipakai terbatas pada sesama kawan sebaya dan bukan digunakan terhadap lawan bicara yang jauh lebih tua, seperti terhadap guru, orang asing maupun orang tua. Sebagai gantinya, sebaiknya kita menggunakan kata yang lebih sopan, yaitu saya.//     

Dengan senyuman kecil yang membantu dirinya supaya tetap dalam posisi profesional, ia menghembuskan sedikit napasnya. "Permisi Tuan atau Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya mengulangi ucapan yang sama seperti sebelumnya.     

Terdengar suara seperti putus-putus dari seberang, lalu ada deheman kecil seseorang. "Maaf, tadi ada tikus di rumah ku." ucap seseorang dari seberang sana diiringi dengan kekehan kecil, ternyata dia adalah seorang gadis dengan suara yang cukup lembut. Terdengar tidak terlalu menyenangkan, tapi Xena tetap akan selalu profesional dalam bekerja walaupun tingkahnya terbilang terlalu minus untuk seseorang yang menjabat sebagai sekretaris utama.     

"Iya, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Xena untuk yang ketiga kalinya. Ia cukup sudah terbiasa dengan penelpon yang suka sekali membuang-buang waktu seperti ini.     

"Apa kamu bisa membantuku untuk memudahkan pekerjaan ku?" Tanya seseorang di seberang sana, nadanya sedikit menyeramkan seperti mengintimidasi dirinya dengan deretan kalimat yang akan keluar dari mulutnya.     

Merasa ada yang tidak beres, Xena mulai waspada dengan apa yang terjadi selanjutnya. Ia dengan hati yang berusaha masih tegar pun langsung menyunggingkan senyum manis. "Baiklah, pekerjaan apa itu, Nyonya?" Tanyanya masih dengan nada sangat sopan.     

"Aku ingin kamu." terdengar nada rendah dari seberang sana.     

"Maksudnya Nyonya? Katakan kalimat mu sampai selesai." ucap Xena dengan jemari tangan yang sudah lumayan bergetar. Ia menatap cemas ke arah telepon, lalu menghembuskan napas perlahan supaya lebih tenang dari sebelumnya.     

Terdengar suara tawa dari seberang sana. Pada detik itu juga, Xena membulatkan kedua matanya. "Hana?!" pekiknya merasa sangat terkejut dengan apa yang ia dengar barusan. Tolong katakan pada dirinya jika ini hanyalah mimpi! Bagaimana pun juga, ia dulu adalah seorang target sasaran pembunuh bayaran yang hapal dengan tawa Hana maupun Sean. Dan saat ini, ia tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan lidahnya terasa kelu seperti enggan mengatakan apapun lagi selain menyebut nama seseorang yang berada di seberang telepon.     

Tawa di seberang berhenti terdengar. "Hai, Xena. Apa kabar? Adikku belum menghabisi kamu ya ternyata? Lemah sekali." ucap Hana di seberang telepon dengan nada rendah. Ia memang bertujuan untuk mengejutkan Xena terlebih dahulu. Ingin membuat takut korban dan beberapa orang yang terkait. Mengincar secara diam-diam bukan lagi tipe membunuh miliknya.     

"Tidak perlu bertanya kabar, APA YANG KAMU INGINKAN?!" pekik Xena yang sudah mulai kehabisan kesabaran. Ia menaikkan volume suaranya merasakan beberapa bulir air yang mulai muncul di pelipisnya.     

Lagi-lagi, terdengar kekehan kecil dari seberang sana. "Sudah jelas, bukan? Pekerjaan ku belum selesai, dan tentunya kamu tahu akan hal itu."     

"Jangan ganggu aku, atau aku laporkan hal ini pada Sean." ucap Xena dengan napas yang sudah naik turun, ia meremas ujung jas formalnya dengan tangan kiri yang bebas tidak memegang gagang telepon. Ia rasanya saat ini ingin menghajar Hana, tapi ia tidak bisa. Tentu saja ia tidak bisa menghajar seorang pembunuh bayaran yang memiliki berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus senjata mematikan dan berbahaya.     

"Sean dan aku tidak sederajat." ucap Hana dengan nada yang seperti merendahkan apa yang telah diucapkan Xena barusan.     

Xena menaikkan sebelah alisnya, merasa bingung tentang adanya perbedaan 'derajat' yang di maksud oleh gadis di seberang telepon sana. "Maksud mu?" Tanyanya.     

"Aku yang meraih gelar sebagai satu-satunya pembunuh bayaran wanita yang terbaik." jawab Hana, masih dengan nada sombongnya. Selama hampir bertahun-tahun, gelar tersebut selalu saja melekat pada dirinya. Jadi, hanya untuk menyingkirkan seorang Sean Xavon yang bernotabene sebagai adiknya itu adalah hal yang mudah.     

"Kalau begitu, belum selamanya yang terbaik akan unggul, Hana." ucap Xena masih belum takut untuk menentang segala ucapan Hana di seberang sana. Gadis itu ternyata dengan mudahnya memakai akses 'karyawan' untuk menghubungi dirinya. Sial, bahkan baru perawalan saja sudah terlihat seberapa mahirnya Hana dalam berbagai bidang.     

Hana berdecih ketika mendengar ucapan Xena yang menurutnya sangat membosankan itu. "Cih, tidak berlaku bagi ku nasihat omong kosong mu. Tidak akan merubah pikiran ku untuk kembali mengincar diri mu, Xena Carleta Anderson."     

"Kamu yang nyatanya akan di kalahkan dengan adikmu sendiri." Xena kini sudah menyandarkan tubuhnya pada dinding ruangan kantor miliknya, ia menatap cemas ke arah kaca jendela yang langsung menyuguhkan pemandangan kota New York yang panas karena ini telah memasuki bulan September.     

//Fyi; Letak geografis AS di belahan bumi bagian Utara mengakibatkan empat rotasi cuaca: Fall atau musim gugur (23 September – 20 Desember), Winter atau musim dingin (21 Desember – 20 Maret), musim semi (21 Maret – 20 Juni) dan musim panas (21 Juni – 22 September).//     

"Sean lemah," ucap Hana sambil terkekeh yang terdengar sangat menyeramkan.     

"Yang lemah akan menjadi yang terbaik, Hana." ucap Xena. Ia memberanikan diri untuk berkata seperti itu pada Hana, padahal ia sangat takut dengan lutut yang mulai melemas. Bayangkan saja bagaimana dirinya di bawa ke gedung tua itu. Walaupun cara membunuh Hana dan Sean yang berbeda, keduanya tentu memiliki andil di dalam rasa trauma yang tertanam di otaknya saat ini.     

Di seberang sana, Hana tertawa. "Jangan terlalu bijaksana, tidak pantas dengan kriteria mu."     

"Jang--"     

"Waiting for your death because I have long prepared everything for you."     

Pip     

Belum sempat Xena mengeluarkan kalimat protes, telepon sudah mati secara sepihak membuat dirinya menggeram kecil dan langsung menaruh kembali gagang telpon dengan kesal.     

Ia takut, ia trauma, tapi ia juga kesal dengan Hana yang terlalu semena-mena pada dirinya. "LIHAT, SEKARANG AKU HARUS MELAKUKAN APA?!" Teriaknya dengan kesal sambil menendang dinding yang tadi menjadi sandarannya.     

"Aw sakit!" pekiknya saat merasakan jemari kakinya yang berdenyut kecil karena terlalu kuat menendang dinding. Sudah tahu dinding adalah benda mati yang bertekstur keras, tapi dengan bodohnya ia menendangnya.     

"Kamu kenapa?"     

Xena membalikkan badannya, ia melihat Orlin yang sudah menaruh dua buah minuman ke atas meja yang berada tepat di depan sofa.     

"Orlin!" pekik Xena sambil berlari menghampiri Orlin, ia langsung saja memeluk tubuh sahabatnya dengan sangat erat lalu mulai terisak kecil disana.     

Orlin yang tidak mengerti apapun langsung saja menaikkan sebelah alisnya. "Lama ya? Maaf tadi aku mengobrol dengan Vresilla selaku resepsionis yang--"     

"HUAAAAA!"     

Tangis Xena semakin kencang membuat Orlin langsung saja menghentikan apa yang ingin ia bicarakan. Dengan panik, ia segera menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu mencoba supaya menenangkan walau ia sendiri tidak pasti akan berhasil atau tidak. Memangnya siapa yang tidak bingung saat baru masuk ke dalam ruangan dan langsung disuguhkan dengan sahabat yang menangis tanpa diketahui akar masalahnya?     

"Ada apa?" Tanya Orlin sambil mengubah posisi pelukan Xena pada tubuhnya supaya dapat berjalan beriringan menuju ke sofa dan langsung duduk di sana. Ia melepaskan kedua lengan Xena yang melingkar di pinggangnya lalu menaruh kedua tangannya di pundak Xena. "Kenapa?" Tanyanya untuk yang kesekian sambil mengulurkan beberapa buah tisu ke hadapan gadis yang berada di sampingnya. Ia bertanya terus menerus supaya dirinya mengerti dengan suasana hati Xena, ia memaksa gadis itu mengatakan masalahnya.     

Xena menekuk senyumnya lalu mengambil tisu yang dijulurkan oleh Orlin. Sebagian untuk menghapus air mata dan sebagian lagi untuk menghapus cairan kental yang bening di hidungnya.     

Sekarang matanya terlihat sedikit sembab akibat tangis dengan durasi yang cukup sebentar itu.     

Melihat Xena yang sudah selesai dengan kegiatannya dan menaruh tisu kotor itu tepat di atas meja, lalu Orlin bergerak untuk mengambil gelas minuman yang tadi sudah ia pesankan untuk Xena.     

Satu manggo smoothies untuk Xena dan satu watermelon smoothies untuk dirinya. Sangat segar sekali, dan cocok untuk menyapa tenggorokan mereka yang terasa kering.     

"Minum dulu," ucap Orlin sambil menyodorkan gelas dengan minuman milik Xena. Ia memang belum mengerti dengan apa yang terjadi, tapi ia lebih dulu bertindak untuk menenangkan Xena supaya gadis itu lebih lega untuk bercerita.     

Mereka meminum smoothies masing-masing, lalu Xena menatap ke arah Orlin dengan tatapan yang sangat cemas. Ia tidak ingin sahabatnya kepikiran, tapi ia tidak ingin juga menyimpan semuanya sendiri.     

"Hana kembali, tadi dia menelpon diriku." cicit Xena.     

Pada detik itu juga, Orlin tersedak minumannya sendiri lalu membulatkan kedua bola matanya merasa terkejut. "APA?!"     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.