My Coldest CEO

Sembilan puluh dua



Sembilan puluh dua

0Untuk merayakan ledakan di kediaman baru milik Hana Xavon, ia disini menikmati segelas alkohol dengan satu botolnya yang berharga fantastis.     

"For victory and for defeat." gumam Sean sambil mulai meminum alkoholnya dengan sekali tenggak. Ah, sangat berbeda sekali dari sudut rasa dan kepuasan ketika cairan tersebut mengalir dan mulai menyapa dinding tenggorokannya.     

Jeremy yang melihat itu langsung tersenyum senang. Bagaimana tidak? Walaupun ia hanya menyajikannya saja, tapi rasa bangga terhadap dirinya sendiri tidak pernah luput.     

"Apa kamu ingin minum bersama ku?" Tanya Sean dengan tiba-tiba sambil menaruh kembali gelas yang berada di tangannya tepat pada hadapan Jeremy. Ia tentu saja tidak ingin sendirian merasakan kebahagiaan ini, ia perlu seseorang yang menemani dirinya. Erica? Tidak, ia tidak akan pernah membiarkan gadisnya menyentuh deretan minuman beralkohol-nya ini. Bukan karena ia pelit atau tidak ingin berbagi walaupun sedikit, ia hanya menjaga kualitas gadisnya supaya tidak terlalu sering minum alkohol.     

Ah baiklah, kualitas seperti apa yang kini berada di pikirannya? Pikirannya memang mungkin sudah mulai kacau karena kedatangan Erica yang tiba-tiba di dalam hidupnya. Padahal baru beberapa hari saja, tapi gadis itu mampu membuat dirinya seperti ini. Menolak Hana, bahkan terkadang ia tidak segan-segan menolak costumer yang menugaskan dirinya membunuh seseorang dengan bayaran $3000.     

Menolak uang sebanyak itu? Memang dirinya sudah gila. Tapi entah kenapa, ia menjadi malas melakukan kegiatan yang terbilang menjadi hobinya itu.     

Kembali lagi pada Jeremy. Laki-laki itu kini tengah mengubah raut wajah seriusnya menjadi kebingungan. Pasalnya, Sean sama sekali tidak pernah mengajak dirinya untuk sekedar minum berdua seperti ini. Apalagi sebelum adanya ke Erica yang selalu datang kesini, Sean tidak pernah mengajak dirinya berbicara. Untuk memesan minuman dan makanan padanya saja, hanya mengeluarkan kalimat seperlunya. Jadi, ia kini merasa sangat heran sekaligus canggung di saat yang bersamaan.     

"Apa kepala Tuan tidak terbentur dinding?" Tanya Jeremy dengan nada hati-hati. Ia bahkan di detik selanjutnya langsung saja merutuki perkataannya yang sangat bodoh itu. Untuk apa menanyakan benturan kepala?     

Sean menaikkan sebelah alisnya, lalu terkekeh kecil. "Ingin ku bunuh?" ucapnya yang mulai merendahkan nada bicaranya. Ia sempat melayangkan tatapan bringas layaknya singa yang tengah mengincar mangsanya dari kejauhan untuk segera di koyak dagingnya.     

Mendengar pertanyaan Sean yang sangat menyeramkan itu, nyali Jeremy langsung menciut begitu saja. "Eh? Ah Tuan, maafkan saya." ucapnya sambil meremas kedua tangannya dengan cemas. Memangnya siapa yang ingin di bunuh karena salah berbicara? Tidak ada. Ia hanya bisa merapalkan doa supaya di dengar oleh Tuhan, ia masih ingin hidup layaknya kebanyakan orang.     

Sean menatap Jeremy semakin tajam, lalu pada detik selanjutnya ia langsung saja tertawa lebar melihat raut wajah ketakutan milik laki-laki yang kini berada di hadapannya. Ayolah, apa dirinya semenyeramkan itu?     

"Kenapa takut? Aku hanya mengajak mu untuk minum bersama, itu saja."     

"Tapi, Tuan--"     

"Tidak ada yang boleh menolak permintaan ku."     

Baru saja Sean ingin menyuruh Jeremy mengambilkan segelas The Macallan Valerio Adami 1926 untuk dirinya dan juga laki-laki itu, suara derap langkah terdengar mulai mendekati dirinya.     

"Ku pikir, aku bisa menentang dirimu."     

Sean mengalihkan pandangannya ke sumber suara, disana terlihat D. Krack yang mulai berjalan ke arahnya dengan tangan kanan yang sudah masuk ke dalam saku celananya. Ia terlihat menampik wajah garangnya seperti siap untuk melaksanakan sesuatu yang sangat penting.     

"Apa apa?" Tanya Sean to the point. Ia mengenal D. Krack cukup lama, jadi ia paham setiap ekspresi yang ditunjukkan laki-laki itu. Entah saat sedang marah, kecewa, atau bahkan bahagia yang di sembunyikan. Ia tahu semuanya. Bahkan saat D. Krack menahan tangis haru atau tangis sedih karena memang ada hal yang pentas untuk di tangisi, ia tahu semua akan hal itu.     

D. Krack duduk di samping Sean, namun arah mata kaki itu menatap Jeremy. "Tolong pergi." ucapnya dengan nada yang tegas. Ditambah dengan suara bariton yang menjadi ciri khasnya, membuat ia terlihat sangar pada saat ini juga.     

Jeremy langsung saja menegakkan tubuhnya merasa tegang dengan perintah yang baru di katakan oleh D. Krack. Semua orang juga takut kepada laki-laki yang termasuk senior dalam ruang lingkup kriminalitas di dunia. Dengan cepat, ia menganggukkan kepalanya dengan sopan lalu membawa gelas khusus yang di pakai oleh Sean tadi bersamanya untuk segera di cuci bersih.     

"Saya permisi, Tuan." ucapnya sambil mulai melangkahkan kaki keluar dari mini bar yang selalu menjadi tempat bekerjanya.     

Melihat hal itu, Sean memutar bola matanya. "Oh ayolah, aku baru saja ingin merayakan kemenangan untuk--"     

"Jangan banyak bicara." ucap D. Krack memotong pembicaraan Sean, padahal laki-laki itu masih ingin mengeluarkan beberapa kalimat protes karena sebal dengan dirinya yang mengusir Jeremy.     

D. Krack memutar bola matanya dengan malas. "Katakan yang sebenarnya." ucapnya sambil menaruh lengan berototnya pada meja bar untuk menopang kepalanya. Kini tatapan tajam yang sebelumnya itu tunjukkan pada Jeremy, sudah terarah pada Sean.     

Menjadi seorang D. Krack tentu saja sangat mudah. Memiliki pusat informasi yang sangat luas, bahkan ia tidak segan-segan di beritahu oleh beberapa temannya tentang berita yang bahkan belum tersebar oleh publik. Jika bisa di bilang, ia adalah pusat informasi utama yang tahu lebih banyak hal daripada orang lain.     

"Apa maksudmu? Memangnya aku ingin mengatakan apa padamu?" Tanya Sean sambil terkekeh kecil. Ia menunjuk kepalanya dengan jari telunjuk, seolah-olah mengatakan pada D. Krack pakai bahasa tubuh kalau laki-laki itu mungkin berhalusinasi atau syaraf ingatannya rusak.     

Ia bahkan ingat betul terakhir bertemu dengan D. Krack saat berduel kemahiran menembak. Setelah itu, mereka tidak bertemu lagi. Dirinya yang sibuk dengan Erica, dan D. Krack yang sibuk dengan barang illegal yang terus menerus mengalami peningkatan yang pesat. Belum lagi laki-laki itu harus menjadi seorang yang siap membantu para kenalannya yang sedang dalam kesulitan.     

Ya seperti layaknya Sean yang pernah masuk penjara dan di bebaskan oleh D. Krack. Itu yang si maksud 'bantuan' yang di berikan laki-laki itu. Sangat bermanfaat sekali bagi para kriminalitas untuk kembali menjalankan aksi kotornya.     

Karena di dunia ini, ada pihak baik dan pihak jahat. Dan siapapun yang memihak salah satu dari kedua pilihan itu, masih berhak untuk menjalani hidup selayaknya manusia. Di penjara tentu akan menghabiskan waktu bertahun-tahun yang membosankan, jadi D. Krack selalu menolong teman-temannya yang merasa kesulitan. Daripada hidup di dalam penjara, lebih baik berkeliaran di luar menjadi buronan petugas keamanan sampai FBI sekalipun. Ya, itu jauh lebih baik.     

D. Krack memutar kedua bola matanya. "Bodoh," umpatnya sambil mengetuk pelan puncak kepala Sean dengan tangannya yang terkepal.     

Sean yang merasa tidak mengerti dengan arah pembicaraan D. Krack pun langsung mengangkat bahunya acuh. "Tidak mengerti," ucapnya dengan nada yang terdengar cukup menjengkelkan.     

"Akan ku bunuh kamu."     

"Bunuh saja jika bisa."     

Seperti inilah Sean. Terkadang menyebalkan, terkadang juga menjadi sosok iblis yang seperti tidak pernah mempunyai hati nurani. Bahkan laki-laki itu pernah dengan brutal membunuh salah satu target sasarannya sebagai pelampiasan amarah karena Hana dengan sangat sombongnya memamerkan medali penghargaan yang tercetak jelas dengan tulisan 'best assassin'. Ia setuju jika berada di posisi Sean dan melampiaskan amarahnya pada sesuatu yang pantas untuk di musnahkan.     

Baiklah, apa pikiran seorang pembunuh bayaran selalu seperti ini?     

"Hana Xavon. Ku pikir kamu sudah mengetahuinya." ucap D. Krack yang akhirnya memilih untuk berbicara langsung pada intinya.     

Sean menaikkan sebelah alisnya, ia tidak menebak sebelumnya kalau alasan D. Krack menemui dirinya kesini hanya untuk bertanya perihal Hana. "Sudah, kenapa?"     

"Dan kamu masih tenang-tenang saja di sini?"     

"Aku sudah bertindak, jangan cemas yang berlebihan."     

"Apa yang kamu lakukan?"     

"Memberikan kakak kesayangan ku itu bomb watch."     

D. Krack mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak habis pikir dengan tindakan Sean yang seperti itu. Hanya bomb watch? Mungkin tanpa perlu bersusah payah Hana sudah berhasil menyingkirkan bom yang tidak ada apa-apanya itu.     

"Kamu ini bodoh atau bagaimana?"     

"Tampan."     

"Berhentilah bercanda, atau aku tembak pada saat ini juga."     

Sean menganggukkan kepalanya mengerti lalu langsung menatap D. Krack dengan serius.     

"Tadinya ku pikir ingin ikut bergabung lagi bersamanya--"     

"WHAT?!"     

"Dengarkan perkataan ku dulu, baru berkomentar."     

D. Krack bergeming, ia menunggu kelanjutan ucapan yang akan keluar dari mulut Sean. Ia sangat penasaran, terlebih saat salah satu kenalannya menemukan simbol H dengan kucing hitam di atasnya. Memangnya siapa yang tidak kenal dengan simbol ciri khas para pembunuh bayaran? Terlebih lagi Hana sempat populer beberapa tahun sebagai yang terbaik.     

"Dan aku pikir ingin mengelabui dirinya. Bahkan aku sudah membuat rencana untuk berpura-pura menjadi Sean yang brutal untuk bekerjasama kembali dengannya."     

"Lalu? Kenapa berganti rencana?"     

"Tidak tahu, hanya ingin mencoba."     

"Dengan seperti itu, kamu menantang Hana supaya lebih gencar lagi masuk ke hidup kalian. Bisa jadi, Erica juga menjadi target sasarannya."     

"Tidak perlu di pikirkan, aku masih punya seribu rencana yang tidak akan pernah di ketahui orang selain diriku."     

D. Krack menaikkan sebelah alisnya. "Apa aku boleh ikut memberikan gadis sombong itu sebuah pelajaran?"     

Sean menaikkan sebelah alisnya, lalu menganggukkan kepala. "Tentu. Tapi apa kamu tidak memiliki pekerjaan lain yang lebih penting?"     

"Memangnya apa yang lebih penting selain ikut andil dalam membunuh best assassin itu?"     

Pada detik itu juga, Sean dan D. Krack tertawa bersama memenuhi sudut ruangan yang memang sepi sekali seperti tidak ada orang lain selain mereka berdua.     

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita merayakan kegagalan mu saja?" Tanya D. Krack yang sudah mengubah raut wajahnya menjadi sedikit lebih santai daripada tadi. Ia beranjak dari duduknya, lalu mulai masuk ke dalam area bar yang tadi di tempatkan oleh Jeremy.     

Sean yang melihat itu langsung saja menampilkan senyum miringnya. Minuman apapun yang di racik oleh D. Krack, pasti memiliki rasa yang sangat memabukkan.     

"Bagaimana jika dua gelas Sazerac?" Tanya D. Krack sambil menaik turunkan alisnya.     

Sean tertawa ringan, "Siapa yang berani menolak?"     

//Fyi; Sazerac yang diracik dari Peychaud's bitter, Pernod absinthe tahun 1950 dan sebotol cognac Sazerac de Forge et Fils dari tahun 1858, Harganya Rp 89 juta jika di racik oleh bartender yang berada di American Bar pada menu Vintage Cocktails.//     

D. Krack menganggukkan kepalanya. "Wait to enjoy the sensation." ucapnya sambil mengerling mata seperti hal ini adalah kegiatan yang sudah mahir ia lakukan.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.