My Coldest CEO

Sembilan puluh empat



Sembilan puluh empat

0Erica menaikkan sebelah alisnya kala melihat Sean dan D. Krack sudah bersiap untuk bermain vidio game di ruang televisi dengan tumpukan camilan ringan di atas meja. Ia menaruh asal semua paper bag yang berisi barang belanjaannya pada tepian dinding supaya tidak merusak akses jalan bagi para maid yang bolak-balik melakukan pekerjaannya.     

"Ekhem." Erica berdehem untuk menginterupsi suasana supaya kedua laki-laki itu tidak fokus pada benda pipih yang terpasang jelas di dinding.     

Pasalnya, tadi saat dirinya di kantor, Sean menyuruh dirinya untuk segera pulang. Ya walaupun ia telat hampir empat jam, tapi bukan salahnya kan untuk menghabiskan waktu bersama para teman-temannya? Dan kini, ia sudah mengendarai mobil seperti orang kesetanan demi mengejar waktu keterlambatan dirinya yang sudah fatal, tapi Sean dengan enaknya tengah bersantai bermain vidio game.     

Mereka berdua tidak menoleh, padahal Erica berdehem dengan nada yang cukup keras. Memang sih backsound dari permainan yang kini di pilih oleh Sean memang meredam suara sunyi, yang mengambil artian ramai sekali sampai-sampai menurutnya sangat memekakkan telinga.     

"SEAN XAVON!!" pekik Erica dengan kepala yang sudah seperti mengepulkan asap tak kasat mata. Sudah mengorbankan dan berbondong-bondong supaya tidak banyak waktu yang terbuang lagi, tapi sayangnya ekspetasi tidak sebagus realita.     

Pada detik itu juga, Sean maupun D. Krack tersentak kaget lalu langsung saja menoleh ke arah Erica yang kini sudah menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan satu alis terangkat, tidak lupa juga dirinya memberikan tatapan dingin yang mengintimidasi.     

Sean langsung saja menaruh stik vidio game di tangannya, lalu langsung beranjak dari duduk untuk melangkah mendekati Erica yang sepertinya tengah dilanda kesal.     

"Eh, sayang. Sejak kapan kamu disini?" Tanya Sean sebagai sapaan basa-basi karena merasa canggung saat melihat raut wajah Erica yang terlewat menyeramkan. Ia tersenyum kaku, lalu mengelus pipi kanan gadis di hadapannya ini dengan jari telunjuknya.     

Erica berdecih lalu mengembalikan tangannya seperti semula yang awalnya menyilang, ia menghempaskan tangan Sean yang menyentuh pipinya. "Hentikan, tangan mu pasti kotor." ucapnya sambil menepuk-nepuk pipinya yang tadi dielus oleh laki-laki itu. Matanya beralih menatap D. Krack yang acuh tak acuh kembali memusatkan perhatiannya pada layar televisi. Tanpa memperdulikan laki-laki yang bernotabene teman penjahat yang selalu ada untuk Sean, ia kembali menatap laki-laki yang entah berstatus apa di hidupnya.     

"Sudah pulang?" Tanya Sean sambil menampilkan senyum konyolnya. Ia tidak pernah menghadapi gadis manapun kecuali kakaknya yang tidak pernah merajuk sama sekali pada dirinya. Dan kini, ia akan merasakan amukan Erica yang mulai terasa membuat dirinya kebingungan sebagai seorang laki-laki yang baru mengenal percintaan. Bahkan pertanyaan konyol yang kini meluncur dari mulutnya seakan bodoh untuk di dengar.     

Erica tambah menajamkan tatapannya seperti berbicara dengan gerak tubuh 'are you kidding me right now?!' sudah jelas-jelas jika dirinya berada di hadapan Sean. Apa perlu laki-laki itu menanyakan hal ini lagi?     

Dari menjadi pembunuh bayaran yang menyeramkan, menjadi seorang laki-laki aneh, bodoh, dan konyol yang menyatu sebagai paket lengkap.     

"Kalau begitu, kamu ikut merayakan kembalinya Hana Xavon saja alias kakak ku." ucapnya sambil terkekeh kecil seolah-olah apa yang dikatakannya barusan adalah hal yang biasa saja, tidak berarti apapun yang mungkin saja bisa menimbulkan kepanikan.     

Baiklah, pada detik selanjutnya saat Erica mencerna tiap kalimat yang keluar dari mulut Sean barusan, ia langsung membelalakkan kedua bola matanya. "APA?!"     

Pekikan Erica menggema sampai sudut ruangan televisi, mengalahkan latar suara game yang tengah di mainkan oleh D. Krack.     

"TIDAK PERLU BERCANDA!".     

Sean meringis dengan ucapan Erica yang sempat menyapa indra pendengarannya dengan suara melengking yang khas milik gadisnya itu. Seakan tidak pernah salah mengatakan hal 'kembalinya Hana' ia dengan cepat langsung terkekeh kecil. "Memangnya ada masalah apa?"     

"Stupid," gumam Erica dengan geraman kecil, ia mencubit pinggang Sean dengan kesal. Bagaimana laki-laki itu masih setenang ombak di lautan? Bahkan setenang-tenangnya ombak pasti ada sesuatu yang berbahaya di dalamnya.     

"Awsh!" pekik Sean sambil mundur beberapa langkah menjauhkan tubuhnya dari Erica yang terlihat seperti iblis berwajah dewi Yunani itu. Tapi detik selanjutnya setelah meringis kecil, ia langsung terkekeh kecil. Gadisnya yang menyeramkan itu justru terlihat seperti layaknya anak kucing menggemaskan yang perlu di rawat dengan baik supaya tumbuh menjadi kucing manis yang nurut dengan majikan. Ya, Sean tidak bisa mendeskripsikan hal yang lebih bagus lagi untuk gadisnya ini.     

Erica disamakan dengan kucing? Jika gadis itu tau, mungkin dirinya akan kena murka lagi. Mungkin bisa lebih kejam daripada sebelumnya, ia bisa saja di tembak tepat di kepalanya. Ah, ia menjadi ingat saat pertamanya kali menghadapi seorang Erica yang dengan tingkat keberanian tinggi menodongkan pistol ke arahnya. Ia tidak takut dengan kematian, jadi todongan pistol gadisnya pada saat itu tidak berarti apa-apa baginya.     

"Menggemaskan," ucap Sean sambil mengedipkan sebelah matanya pada Erica dengan kecupan menggoda tak kasat mata yang dilayangkan ke udara. Astaga, kini memang sepertinya jika mengenal dirinya lebih dalam akan mengetahui tingkah konyolnya seperti ini.     

Erica yang mendengar kalimat menjijikkan itu langsung saja berpura-pura mual. "Dasar pembunuh bayaran aneh! DAN APA YANG TADI KAMU KATAKAN TENTANG HANA XAVON?!" dari nada suaranya yang rendah sampai meninggi, raut wajah Sean hanya mengulum senyum seperti ingin menertawakan dirinya.     

"Lebih baik, duduk terlebih dahulu. Minum soda dingin sepertinya bagus untuk menyegarkan tenggorokan mu." ucap Sean.     

Sebelum mendapatkan beberapa kalimat yang menunjukkan kekesalan Erica, Sean segera menggendong gadisnya ala bridal style tanpa aba-aba sedikitpun.     

"SEAN!" pekik Erica sambil memukul punggung laki-laki yang kini sudah membopong tubuhnya tanpa rasa sopan sedikitpun. Ia melayangkan tatapan tajam, berharap Sean akan melepaskan dirinya pada detik ini juga.     

Tapi harapan biasanya akan selalu menjadi harapan, dan ya hal itu memang benar adanya. Karena kini, tubuhnya sudah di taruh lembut di sofa panjang yang bersamaan dengan D. Krack.     

"Minum dulu," ucap Sean sambil menyodorkan soda kaleng ke hadapan Erica.     

Tanpa rasa gengsi sedikitpun, Erica langsung saja mengambil paksa soda tersebut. Dan sepertinya minuman soda ini baru saja di keluarkan dari lemari pendingin karena masih terdapat bulir-bulir air yang kecil di luar kalengnya.     

Sean menatap Erica yang tengah minum dengan tatapan yang sulit di artikan. Arah tatapnya terfokus pada satu titik. Bibir ranum berwarna merah muda itu, ah jangan sampai ia bertindak seperti pengikut cinta di hadapan D. Krack.     

"Jangan menebar kasih sayang di hadapan ku."     

Dengan serempak, Sean dan Erica menoleh ke arah D. Krack yang masih memfokuskan pandangannya pada layar televisi. Ia ternyata sedang serius bermain tinju dengan raut wajah yang sangat tenang karena selalu berhasil mengenai lawannya dengan mudah.     

"Jangan iri," ucap Sean sambil duduk di antara Erica dan D. Krack. Bagaimana pun juga, ia tidak akan pernah membiarkan gadisnya duduk berdekatan dengan laki-laki selain dirinya.     

Ah iya, gadisnya?     

Sudah berapa kali ia mengatakan jika Erica adalah gadisnya? Ia harus segera periksa ke dokter spesialis otak, mungkin saja salah satu sistem syarafnya telah terguncang menyebabkan dirinya bisa mengatakan nyaman kepada Erica tanpa ingin memberikan kepastian sama sekali.     

Laki-laki memang seperti itu.     

"Jangan memakan tempat!" seru D. Krack merasa risih dengan kehadiran Sean yang menempati jarak yang tadinya memisahkan dirinya dengan Erica. Tidak, ia sama sekali tidak berniat ingin menggoda seorang gadis yang di anggap 'gadis milik Sean' itu.     

Belum sempat menyatakan cinta dengan bersungguh-sungguh, tapi sudah mengakui Erica menjadi miliknya. Hanya Sean yang dapat berbuat semaunya dimanapun dan kapanpun.     

Sean menaikkan sebelah alisnya, lalu ia mengerling jahil mendapatkan sebuah ide yang sangat cerdas. Ia beranjak dari duduknya dan kembali mengangkat tubuh Erica.     

"Hei!" protes Erica yang lagi-lagi tubuhnya diangkat begitu saja tanpa aba-aba sedikitpun.     

Sean tidak peduli dengan kalimat protes yang diluncurkan Erica, ia langsung saja kembali duduk di sofa dengan gadis itu yang berada di pangkuannya.     

"Kalau seperti ini, apa masih memakan tempat?"     

D. Krack yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya. Sean ahli sekali beralibi yang membuat jalan pikirannya langsung saja berbelok seperti mencari kesempatan dalam kesempitan. "Yeah, whatever." ucapnya sambil kembali memfokuskan dirinya menatap layar televisi.     

Sedangkan Erica, ia berpasrah diri lalu menyenderkan tubuhnya pada dada bidang milik Sean. Nyaman sekali, tapi ia langsung menepis pemikiran itu. "Kalau begitu, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Tanyanya, kali ini tidak ada emosi yang ikut andil dalam kebingungannya.     

Sean berdehem, lalu memeluk tubuh Erica dari belakang. "Hana Xavon kembali, dan kita salah mengincar Allea." bisiknya tepat pada telinga Erica.     

Bum     

Pada detik itu juga, pertahanan Erica seperti hancur pada detik itu juga. "Bagaimana bisa?"     

"Tadi aku dikirimkan hadiah spesial darinya."     

"Dan apa itu?"     

"Pisau kesayangan ku, yang aku pakai saat mengukir indah wajah milik Xena."     

"Lalu?"     

"Aku mengirimi dirinya hadiah kembali."     

"Dan....?"     

"Dan aku mengirimi dirinya bomb watch."     

Erica menepuk pelan pipi kanan Sean dengan gemas. Bagaimana bisa pikiran laki-laki itu hanya memberikan jam tangan bom pada gadis yang sudah beberapa tahun menyandang gelar pembunuh bayaran terbaik?     

"You are crazy, stupid, weird--"     

"And handsome."     

"AYOLAH SEAN, TOLONG SERIUS!"     

Sean terkekeh geli, lalu sedetik kemudian raut wajahnya langsung berubah menjadi datar seperti dalam mode tidak ada lagi lelucon yang keluar dari mulutnya.     

"Aku ada rencana lain yang terkesan tidak bertele-tele dan menusuk dari belakang seperti ini, dan D. Krack ingin mengambil bagiannya." ucap Sean yang kini sudah melepaskan pelukannya pada tubuh Erica. Ia langsung saja kehilangan suasana hati untuk bersikap romantis ataupun humoris. Inilah Sean yang sesungguhnya, dingin, menyeramkan, sekaligus mematikan.     

Erica menghela napasnya, ia kini sangat khawatir dengan apa yang terjadi selanjutnya.     

"Jadi, apa yang sudah kamu dapatkan?"     

"Allea."     

Erica menaikkan sebelah alisnya, merasa bingung dengan jawaban yang diucapkan oleh Sean. "Maksud kamu apa?"     

"Allea adalah asisten setia kakak ku."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.