My Coldest CEO

Sembilan puluh lima



Sembilan puluh lima

0"Jadi, apa yang sudah kamu dapatkan?" Tanya Erica dengan penasaran, ia mendongakkan kepalanya sampai terlihat rahang kokoh milik Sean yang terlihat begitu menawan. Astaga masih sempat-sempatnya ia berpikiran seperti itu. Tapi percayalah, menatap seorang laki-laki dari bawah adalah hal yang paling memabukkan sedunia. Seakan-akan titik fokus sudah terpacu pada setiap pahatan sempurna yang telah di ciptakan Tuhan.     

"Allea." gumam Sean dengan nada datarnya. Tak ayal dadanya mulai naik turun mengingat kembali sosok Hana yang sangat ia benci. Tadi, ia hanya menyelipkan kadar humoris supaya amarahnya ini sedikit tersingkirkan. Tapi begitu mengingatnya kembali, hal ini memang sangat tidak pantas untuk di buat bahan lelucon. Karena pembunuh bayaran adalah hal yang harus di hindari bagaimana pun keadaannya.     

Terlebih lagi jika tidak bisa menghindari mereka, maka sudah dapat di pastikan jika hari itu adalah hari terakhir melihat bagaimana bumi dan segala isinya menjalankan aktivitasnya.     

Erica menaikkan sebelah alisnya, merasa bingung dengan jawaban yang diucapkan oleh Sean. "Maksud kamu apa?" tanyanya dengan tangan yang sudah meraih tangan kanan Sean untuk di genggam olehnya. Ia menyalurkan sedikit ketenangan karena ia merasakan detak jantung laki-laki ini yang terasa sahut-sahutan dengan kencang. Ia hanya mengkhawatirkan     

"Allea adalah asisten setia kakak ku," ucap Sean lebih perinci lagi. Ia beranjak dari duduknya dan menahan tubuh Erica yang masih menempel padanya. Ia memutar tubuh gadisnya supaya terlihat melayang dalam pelukannya. Kini, mata mereka saling bertatapan satu sama lain.     

Erica sudah mengalungkan tangannya pada leher Sean dan menahan kakinya tepat di pinggang laki-laki itu supaya tidak jatuh. "Astaga, apa mau mu?!" pekiknya karena mendapati pergerakan tiba-tiba Sean. Ia hampir saja terjatuh jika laki-laki itu tidak menahan bobot tubuhnya.     

"Kita periksa flashdisk-nya sekarang." ucap Sean mulai melangkahkan kakinya menuju barisan anak tangga yang mengarahkan siapapun yang masuk ke rumah ini untuk segera ke lantai dua.     

"Tunggu," ucapan D. Krack membuat langkah Sean terhenti, dan laki-laki itu kini sudah mendahului langkahnya untuk segera pergi ke ruang merah hitam kebanggaan seorang Sean Xavon.     

Melihat itu, Erica terkekeh kecil. "D. Krack lucu juga." ucapnya dengan arah mata yang mulai mengikuti setiap langkah D. Krack saat menaiki anak tangga.     

Mendengar itu, Sean memutar bola matanya lalu melanjutkan langkah untuk segera menyusul D. Krack karena segala akses di rumah ini yang tergolong pribadi hanya dapat di buka oleh dirinya. "Lebih baik memuji ku yang sudah jelas tampan dan mempesona." ucapnya.     

"Jangan terlalu percaya diri," balas Erica sambil menjulurkan lidahnya, tapi wajahnya sangat datar membuat kesan 'meledek' yang di tunjukkan oleh gadis itu menjadi terkesan menyebalkan.     

Setelah berhasil melewati anak tangga, Sean langsung saja menaruh sidik jari dan pemeriksaan retina mata untuk membuka akses pintu masuknya.     

Dan ketika pintu sudah terbuka, ia kembali melangkahkan kakinya dan langsung berjalan menuju sofa yang terletak di dalam sana untuk menaruh tubuh mungil yang berada di dalam dekapannya.     

"Tunggu sini ya sayang," ucap Sean begitu tubuh Erica sudah mendarat mulus di atas sofa. Ia segera melangkahkan kakinya menuju deretan laci yang selalu diberi kata sandi. Dan ya, lagi-lagi hanya dirinya yang dapat membuka semua itu. Tidak, mungkin juga Erica bisa membukanya tapi gadis itu tidak memiliki niat apapun untuk bertindak seperti kriminal yang mencuri akses penting apapun milik Sean.     

Ia memang berada di dalam kehidupan laki-laki itu, tapi bukan berarti ia bisa bertindak seenaknya.     

Sedangkan Erica sendiri, ia kini memusatkan perhatiannya pada D. Krack yang sedang menyusun beberapa peralatan aneh yang sebelumnya tidak pernah ia lihat.     

"Kamu sedang apa?" Tanya Erica sambil menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap D. Krack yang memegang sebuah alat dengan bulatan kecil dengan satu selang kecil dan terdapat jarum di ujungnya.     

D. Krack menoleh ke arah Erica lalu menyunggingkan senyum miringnya. "Oh ini?" Tanyanya sambil mengangkat sebuah alat yang di pegang dirinya. Ia berjalan mendekati Erica dan segera duduk di samping gadis itu.     

Erica menoleh ke arah D. Krack. Ia bergeming, tidak berkomentar apapun karena ingin mendengarkan apa yang akan di ucapkan oleh laki-laki yang kini sudah berada tepat di sampingnya.     

"Ini namanya nerve repair," ucap D. Krack sambil menunjukkan alat yang ada di genggamannya. "Alat tercanggih satu-satunya yang di buat oleh Hana. Hanya ada dua di dunia, ini dan yang berada di tangan Hana." sambungannya sambil menatap serius ke arah Erica. Ia benar-benar merasa tersanjung dengan rasa penasaran gadis yang berada di sampingnya ini. Walau terlihat dingin dan mengintimidasi, Erica sangat antusias dengan apa yang berkaitan dengan Sean.     

Bersikap tidak peduli, dan bahkan tutup mulut dengan semua ini. Sangat sempurna bagi seorang gadis yang berhasil masuk ke dalam kehidupan seorang laki-laki dengan profesi pembunuh bayaran.     

Erica menganggukan kepalanya seperti paham dengan apa yang diucapkan oleh D. Krack. "Lalu, apa kegunaannya?" Tanyanya dengan tingkat penasaran yang sangat tinggi, terlebih lagi alat tersebut dinamakan 'nerve repair' yang memiliki arti 'perbaikan saraf'.     

"Ini alat yang dapat memperbaiki sel syaraf yang rusak hanya dapat beberapa detik saja. Di pakai pada bagian tubuh mana saja, dan setelah jarum kecil ini masuk ke dalam jaringan tubuh maka saat mengalami cidera parah ataupun ringan yang menyangkut tentang syaraf akan segera terobati namun tidak menghilangkan rasa sakit." ucap D. Krack menjelaskan dengan sangat perinci supaya Erica tidak kebingungan lagi. Ia adalah orang ketiga yang berhasil menyaksikan selesainya pembuatan alat yang sempat di uji coba pada seekor kelinci yang sengaja dibunuh oleh Hana.     

Throwback     

"Finally!" seru Hana sambil mengangkat tinggi-tinggi alat penemuan pertama dirinya ke udara. Ia dengan mata berbinar langsung saja menatap bangga ke arah alat itu sambil melepas kacamata dengan lensa khusus yang diperlukan saat membuat alat tersebut.     

Sean menatap Hana dengan datar, ia menghela napas lelahnya karena bukan hanya berjam-jam saja mereka menghabiskan waktu untuk membuat alat ini tapi memerlukan waktu berbulan-bulan supaya mendapatkan hasil yang memuaskan. "Ingin di beri nama apa?" Tanyanya sambil menepuk-nepuk kedua punggung tangannya yang terdapat debu kotor karena dirinya sama sekali tidak memakai sarung tangan pengaman.     

Hana tampak mengerutkan alisnya, seolah-olah tengah berpikir keras. "How about it be named "neural renewal?" Tanyanya sambil menatap Sean seperti menunggu pendapat tentang apa yang di ucapkan olehnya.     

Kini, Sean menaikkan sebelah alisnya merasa aneh dengan nama julukan yang diberikan Hana. "No, it's too hard to say." ucapnya sambil berjalan ke arah meja untuk meminum segelas jus dingin yang di sediakan oleh Jeremy.     

"Then, what's a better name than mine?" Tanya Hana sambil ikut mengarahkan kakinya menuju Sean. Ia meminum jus stroberi miliknya juga. Untuk membuat alat ini membutuhkan energi ekstra supaya membuahkan hasil.     

Setelah berhasil menyapa dinding tenggorokannya dengan segelas jus, Sean kembali menaruh gelas tersebut ke atas meja. "It would be better if it was named 'nerve repair'." ucapnya sambil mengambil alat tersebut dari tangan Hana. Ia melihat benda kecil yang akan memiliki fungsi besar ini.     

"Oke, terdengar bagus."     

"Bagaimana jika kita tes kemampuan?"     

Hana mengangguk setuju, lalu melangkahkan kakinya menuju ruang uji coba senjata yang berada di rumah Sean ini. Ia sudah menyiapkan semuanya, dari objek uji coba sampai segala peralatan yang di butuhkan seperti tembakan. Ia mengambil satu kelinci berwarna putih bersih yang ia rawat dari awal sejak memulai pembuatan alat ini.     

Ia mengambil pistol, lalu mulai menaruh kelincinya pada tempat kotak seperti kandang kecil.     

"Tunggu, apa yang ingin kalian lakukan?"     

Sean maupun Hana langsung saja menoleh ke sumber suara yang terdengar bariton khas laki-laki. Terlihat D. Krack yang dengan santainya menggenggam anak panah di tangan kanannya.     

"Menguji coba alat," ucap Hana sambil kembali mengarahkan pandangannya pada kelinci yang terlihat menggemaskan itu. "Say goodbye to the world."     

DOR     

Pada detik itu juga, Sean langsung berlari ke arah kelinci tersebut dan langsung menancapkan jarum kecil yang berfungsi untuk menyambungkan alat tersebut dengan sel darah kelinci.     

Setelah berhasil.     

Satu detik     

Dua detik     

Sampai bahkan hampir satu menit tidak ada reaksi apapun dari kebangkitan kelinci tersebut.     

Mereka menatap dengan penasaran dengan apa yang terjadi, bahkan Hana pun berharap lebih pada tingkat keberhasilannya.     

"C'mon." gumam Hana, karena setahu dirinya ia merancang alat ini supaya langsung memperbaiki syaraf hanya dengan beberapa detik.     

Hampir 2 menit, tapi tetap tidak ada perubahan apapun. Hana menghembuskan napasnya dengan pasrah. "Just get rid of it."     

Throwback off     

"Dan apa itu yang dilakukan oleh Hana?"     

"Iya, dia dengan liciknya ternyata membuat dua alat yang berfungsi di pegang olehnya dan yang tidal berfungsi di berikan untuk Sean."     

Erica membinarkan matanya. Ia merasa Hana memanglah gadis keren yang patut mendapatkan gelar pembunuh bayaran terbaik. Karena hei, siapa yang mampu membuat alat seperti itu? Dan kerennya lagi, mampu membangkitkan Hana dari kematian. Sungguh, ini ia memuji gadis tersebut bukan karena dirinya kagum atau menggemarinya. Tapi secara harfiah ini adalah hal terkeren yang pernah ia temukan selama hidup di dunia ini.     

"Bagaimana kalau kita perbaiki alat ini menjadi sempurna sama seperti milik Hana?" tawar Erica sambil mengambil alat tersebut dengan sangat hati-hati takut jatuh atau lebih parahnya lagi rusak.     

D. Krack terkekeh, lalu menggelengkan kepalanya. "Itu mustahil, IQ kita sangat kalah dengan IQ milik Hana." ucapnya dengan nada yang mengecil. Ia tidak ingin Sean mendengar hal ini karena bisa saja topik pembicaraannya dengan Erica mampu mempengaruhi suasana hati Sean. "Bahkan IQ Sean kalah dengan kakaknya sendiri," gumamnya sambil melirik hati-hati ke arah Sean yang masih sibuk mengambil flashdisk beserta beberapa perlengkapan lainnya yang dibutuhkan.     

Erica menaikkan sebelah alisnya merasa tertarik dengan sosok Hana. Walaupun gadis itu memiliki niat jahat pada sahabatnya, apa salahnya untuk mencari tahu lebih dalam lagi tentang gadis itu? Siapa tahu dia bisa meluluhkan Hana sama seperti dirinya meluluh Sean.     

Ah iya, lagi-lagi dirinya hanya berangan dan menaruhkan harapan yang sangat mustahil terjadi.     

"Ekhem,"     

D. Krack maupun Erica langsung memusatkan perhatiannya pada Sean yang sudah memegang apa yang kini di butuhkan untuk memeriksa flashdisk tersebut.     

"Ready to know the truth?"     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.