My Coldest CEO

Sembilan puluh tujuh



Sembilan puluh tujuh

0Banyak yang bilang jika wangi lavender dapat menghilangkan stress dan penat, tapi kini Xena dengan tatapan sebal tengah menutup indra penciumannya.     

"Ah, Orlin bohong nih. Mana ada buat stress hilang, yang ada hidung ku terasa menciut karena wanginya menyengat sekali." ucapnya sambil mengibaskan handuknya di udara berharap wangi yang kini memenuhi kamar mandi bisa hilang dengan cara seperti itu.     

Ia menggembungkan pipinya, lalu dengan kesal membuang botol pengharum ruangan yang baru saja tadi ia beli di toko atas saran dari Orlin yang mengaku jika wangi ini sangatlah enak dan menenangkan.     

Entah karena dirinya tidak suka, atau tidak terbiasa dengan wangi lavender, membuat hidungnya sangat tersiksa ketika mencium wangi yang sudah memenuhi ruangannya ini.     

Berusaha tenang, ia melepas japitan jemari yang menahan hidungnya sedari tadi. "Ah, akhirnya bisa bernapas walaupun masih tidak enak wanginya." ucapnya sambil berjalan menuju kaca besar yang terdapat di dalam kamar mandinya. Setiap gadis, pasti membutuhkan kaca untuk mematut penampilannya.     

Baru memakai pakaian dalam saja, ia langsung menaruh handuk di gantungan yang terletak tepat di dinding samping kaca besar itu. Dengan tatapan cermat, ia memeriksa bodynya yang terbentuk sempurna. Padahal kesehariannya hanya memakan makanan siap saji, tapi tidak ada sapaan lemak yang menetap di bagian tubuhnya.     

Ia adalah salah satu gadis beruntung yang sangat menyukai makan tanpa harus memikirkan naiknya berat badan dan menumpuknya lapisan lemak.     

Tok     

Tok     

Tok     

Xena menaikkan sebelah alisnya kala mendengar ketukan pintu dari luar kamar mandi.     

"Sayang, kamu sudah mandi berapa lama?"     

Suara bariton Vrans langsung saja menyapa telinganya. Ia terkekeh kecil saat laki-laki itu masih sempat memeriksa dirinya dan menghitung berapa lama dirinya menghabiskan waktu di kamar mandi. Bahkan Vrans rela meninggalkan pekerjaannya hanya untuk mengecek sebentar kondisinya.     

"Aku belum selesai!" seru Xena yang kini sudah beralih menyisir rambut lurusnya yang teramat lemas jatuh menyentuh punggungnya.     

Terdengar decakan sebal dari luar sana. Untung saja kamar mandinya tidak kedap suara, jadi ia masih bisa bertukar ucapan dengan Vrans seperti saat ini. Karena menurut laki-laki itu, kecelakaan dengan tingkat persentase paling besar terdapat di dalam kamar mandi.     

Ya sebagai tindakan antisipasi akan hal itu, Vrans tidak membuat kamar mandi menjadi kedap suara jika sewaktu-waktu dirinya ataupun Xena memiliki masalah saat berada di dalam kamar mandi.     

Sebenarnya Vrans perhatian, tapi tidak pernah terlihat saja karena tertutupi dengan wajah datar yang terlihat sangat dingin seperti enggan di ajak mengobrol ataupun di sapa ringan seperti biasa.     

"Segera keluar, hari semakin malam dan kamu masih menghabiskan waktu di kamar mandi. Nanti bagaimana kalau sakit? Bagaimana kal--"     

"IYA BOSAYANG AKU YANG BAWEL." pekik Xena sambil menaruh kembali sisir ke tempatnya semula dan segera menyambar kembali handuknya yang tadi ia gantung di dinding. Ia segera memakainya kembali supaya tidak mengundang perhatian Vrans lagi dengan dirinya yang hanya memakai pakaian dalam saja.     

Dengan cepat, ia keluar dari kamar mandi dan langsung melihat dada bidang Vrans tanpa kaos polos yang tadi menutupinya. Dalam detik itu juga, ia meneguk ludahnya dengan tenggorokan yang terasa mulai tercekat. "E-eh? Kenapa di lepas bajunya?" tanyanya sambil mendongakkan kepala, menatap rahang kokoh itu dari bawah.     

Vrans menaikkan sebelah alisnya. "Memangnya kenapa? Bukan pertama kalinya juga kamu melihat ku seperti ini." ucapnya sambil menjulurkan tangan untuk mengelus puncak kepala gadisnya yang kini terlihat seperti salah tingkah karena penampilannya. Memang benar bukan pertama kali ia melakukan hal ini di hadapan Xena.     

Lagipula, hei, ini adalah rumahnya kan? Jadi, apapun yang menjadi kesehariannya akan tetap menjadi kesehariannya. Dan hal itu tidak bisa di ganggu gugat begitu saja.     

Xena mengerjapkan kedua bola matanya, lalu menggelengkan kepala merasa malu dengan apa yang dikatakannya tadi. "Ah tidak tahu deh!" cicitnya sambil berjalan menuju ke lemari pakaian miliknya yang sudah terdapat beberapa tumpuk pakaian baru yang diam-diam Vrans belikan untuk dirinya. Ah padahal ia tidak meminta, tapi kekasihnya itu memiliki rasa inisiatif yang tinggi.     

Beruntung? Tentu saja. Bayangkan saja saat bersama dirinya, sudah berapa uang yang di habiskan Vrans untuknya?     

Tapi, hal itu bukanlah suatu yang penting jika dibandingkan dengan kehadiran Xena yang mengubah segala bentuk sudut pandang dalam hidupnya.     

Dengan cepat, Xena langsung mengambil setelan baju tidur bermotif kucing yang terlihat menggemaskan. "Kenapa Vrans sangat mengetahui kegemaran ku?" gumamnya sambil terkekeh kecil melihat beberapa setelan baju tidur lainnya yang tentu saja mempunyai motif berbeda.     

Setelah itu, ia menutup lemari pakaiannya.     

"Cepat, aku tunggu."     

Xena tersentak kaget karena ternyata suara bariton itu masih berada satu ruangan dengan dirinya. Dengan mata yang membelalak lebar, ia langsung saja berjalan mendekati Vrans dan langsung mendorong-dorong laki-laki itu supaya kembali masuk ke ruang kerjanya.     

Tapi namanya ia seorang gadis yang tidak mampu menyaingi kekuatan seorang laki-laki, Vrans sama sekali tidak mengubah pijakannya. Bahkan bergeser saja tidak, ia ternyata tidak mampu membuat laki-laki itu pergi dari kamarnya sendiri.     

"VRANS!" pekik Xena dengan sebal. Untung saja ia memakai handuk bermodel baju, jika ia memakai handuk biasa yang di lilitkan melingkar pada tubuhnya, sudah dapat di pastikan handuknya terlepas begitu saja.     

Vrans terkekeh kecil, lalu langsung saja mengangkat gadisnya ala bridal style dan berjalan ke arah kasur king size-nya. Setelah itu, ia meletakkan dengan lembut tubuh mungil gadisnya tepat diatas kasur. "Kamu pakai baju, aku tunggu di ruang kerja." ucapnya sambil mengecup puncak kepala Xena dengan sayang.     

Ia memberikan perhatian pada Xena karena gadisnya ini sangat lupa waktu jika sudah berada di dalam kamar mandi. Entahlah, sebagai seorang laki-laki ia tidak pernah mengerti dengan jalan pikiran seorang gadis yang mempunyai banyak kegiatan kecantikan di dalam kamar mandi.     

Entah mengeringkan rambut, memakai produk kecantikan atau vitamin rambut, dan banyak hal lain yang bahkan tidak pernah ia mengerti.     

Xena menganggukkan kepalanya dengan paham, lalu memberikan satu buah ibu jari ke arah Vrans karena satu tangannya lagi tengah memegang setelan baju tidurnya. "Siap bosayang!"     

Mendengar itu, Vrans langsung menganggukan kepalanya dan berjalan menuju ke ruang kerja. Kembali pada kegiatan favoritnya bersamaan dengan tumpukan dokumen yang sebelum hadirnya Xena sempat menjadi candu baginya.     

Beralih pada Vrans yang kembali mendaratkan bokongnya di kursi kerja. Ia merenggangkan kedua tangannya yang terasa pegal.     

Baru saja ia ingin kembali memusatkan perhatiannya pada laptop yang sedaritadi tertunda terus menerus, tiba-tiba saja ia melihat layar ponselnya menyala di iringi dengan getaran pertanda adanya telepon masuk.     

Erica     

Satu nama yang berhasil membuat dirinya menaikkan sebelah alisnya. Dengan tatapan yang langsung menoleh ke arah pintu ruang kerjanya yang sudah tertutup untuk memastikan jika gadisnya belum berniat masuk ke dalam sini, ia langsung saja menyeret tombol hijau untuk mengangkat panggilan telepon tersebut.     

"Halo, Tuan." ucap Erica di seberang sana. Masih dalam sapaan sopan yang membuat Vrans bisa langsung memandang gadis itu dengan berkharisma. Walaupun status Erica adalah sahabat kekasihnya, tapi tak ayal gadis itu tetap bersifat hormat dan tidak berlebihan pada dirinya.     

Vrans berdehem kecil. "Iya?"     

"Sean ingin berbicara dengan mu," ucap Erica di seberang sana, setelah itu terdengar suara seperti telpon tengah di oper kepada orang lain.     

Tunggu, bukannya Sean memiliki nomer ponselnya? Kenapa harus lewat perantara Erica?     

"Halo, Vrans." sapa Sean di seberang sana dengan nada sangat dingin yang terdengar sangat serius.     

Jadi, kini terjadi percakapan telepon pada dua orang laki-laki dingin yang mempunyai karakter sama. Ah hanya tidak sama dalam prestasi saja. Sean memilih jalan iblis yang menuju ke arah kriminalitas, dan dirinya memilih jalan malaikat yang mengarahkan dirinya menjadi CEO mudah sukses di usianya yang sama sekali belum mendekati umur kepala tiga.     

"Ada apa?" tanya Vrans tanpa berniat untuk menanyakan lebih banyak lagi tentang apa yang kini berada di pikirannya saat ini. Ia malas untuk berbicara panjang lebar kepada orang selain Xena.     

Terdengar deheman maskulin dari seberang sana. "Jaga Xena dengan baik, Vrans. Kita menargetkan seseorang yang salah."     

Tunggu, Vrans mulai menyatukan alisnya merasa belum mengerti dengan apa yang kini diucapkan oleh Sean.     

"Apa maksudmu?" tanyanya yang kini sudah mengepalkan tangannya dengan kuat. Apa jika dirinya memiliki niat untuk menghajar Hana, dirinya langsung di cap sebagai laki-laki lemah karena berani menghajar seorang gadis? Apa perkataan 'laki-laki lemah' itu masih akan berlaku baginya?     

"Ku pikir, Allea gadis baik-baik." ucap Sean di seberang sana.     

Vrans menghembuskan napasnya dengan perlahan, mencoba untuk menghalau rasa gelisah yang sudah mulai menyapa relung hatinya. "Lalu?"     

"Hana akan tetap menjadi Hana, tidak ada operasi apapun untuk mengubah gadis itu." balas Sean dengan nada yang tidak berubah sedikitpun. Masih datar, namun ia tahu jika pasti laki-laki itu menanamkan dendam yang sangat kepada Hana.     

"Lalu senyuman Allea? Bukankah itu hampir menyerupai Hana?" tanya Vrans yang masih belum percaya dengan pernyataan yang di berikan oleh Sean di seberang sana.     

"Hanya hampir kan?" tanya Sean.     

"Iya." jawab Vrans sambil menganggukkan kepalanya.     

Vrans mendadak resah mendengar pengakuan ini, bagaimana bisa Hana tetap menjadi Hana? Apa yang sebenarnya gadis itu rencanakan sampai membuat mereka semua berada dalam posisi yang paling sangat membingungkan dan menebak-nebak sesuatu yang hasilnya selalu salah.     

"Bagaimana pun, mata Hana terdapat dimana-mana. Bisa saja, salah satu pegawai di kantor mu adalah mata-mata sewaannya."     

"Tidak mungkin, aku tidak merekrut karyawan baru kecuali Allea Liagrelya."     

Sean bergeming, tidak membalas ucapannya sama sekali. Sampai ia berpikir jika sambungan teleponnya sudah terputus. Baru saja ia ingin memeriksa sambungan teleponnya, suara deheman bariton Sean kembali terdengar.     

"Iya, Allea adalah asisten mahir yang bekerja untuk Hana. Jangan salah, gadis itu bisa membebaskan segala akses keamanan perusahaan besar. Dan ya, flashdisk milik Hana yang di bawa gadis itu sudah berada di tangan ku."     

"Lalu? Apa yang harus ku lakukan?"     

"Just shut up and enjoy the game, we will help you."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.