My Coldest CEO

Seratus dua



Seratus dua

0Cicit burung di pagi hari sudah sirna dari beberapa jam yang lalu, dan kini sudah berganti menjadi terik matahari yang sangat menyilaukan mata.     

"Hoam..."     

Tepat pada jam 12 siang Erica baru membuka kedua bola matanya sambil merenggangkan kedua tangannya ke udara pertanda untuk menstabilkan kinerja syarafnya karena baru saja bangun dari tidur yang panjang. Astaga sejak kapan dirinya menjadi petidur dengan jangka waktu yang lama?     

Bodo amatlah, ia juga tidak peduli akan hal itu. Dengan berbekal pakaian Sean yang melekat di tubuhnya ini, ia langsung saja beranjak dari tidurnya tanpa memikirkan harus merapihkan kembali kasur tersebut supaya dalam bentuk rapih yang sempurna sebelum ada yang menempatinya.     

Erica langsung saja mengedarkan pandangannya melihat ke segala arah yang kosong tanpa adanya manusia selain dirinya sedikitpun. Pikirannya sempat bertanya-tanya kemana perginya seorang Sean, tapi ia kembali mengubur pemikiran tersebut.     

Baru saja ingin melangkahkan kaki untuk keluar dari kamar ini, matanya langsung mengarah pada tumpukan pakaian yang berada di atas nakas beserta dengan secarik kertas berwarna putih di atasnya. Ia langsung membelokkan langkahnya untuk berjalan mendekat kesana.     

Hal yang pertama ia lakukan adalah membaca surat tersebut.     

:envelope:     

Hai, gadis dingin.     

Aku membelikan mu beberapa pasang pakaian, dan juga pakaian dalam untuk mu. Semoga ukurannya benar, don't think of me as a pervert, honey."     

:envelope:     

Erica langsung saja memutar kedua bola matanya. Untuk apa Sean membelikan dirinya baju padahal kemarin ia baru saja membeli banyak barang di pusat perbelanjaan saat bersama dengan Xena dan juga Allea. Membuang-buang uang adalah hobi yang selalu di lakukan oleh orang-orang dengan harta yang melimpah ruah. Apalagi Sean, sangat mudah mendapatkan banyak uang hanya dengan satu kali bekerja.     

Tapi, nyawa adalah taruhan dari pekerjaan Sean menjadi seorang pembunuh bayaran yang kini tengah di cari-cari banyak orang karena dia di kenal sebagai adik dari sang best assassin.     

Terlepas dari itu semua, satu hal yang baru di sadari oleh Erica, ia membelalakan kedua bola matanya dan langsung membulatkan asal kertas surat yang di buat oleh Sean dan membuangnya dengan asal. Ia meraih pakaian dalam yang dibelikan laki-laki itu untuknya dan langsung ia ikut pada tubuhnya.     

Dan ya, ternyata ukurannya pas. Dengan rona merah yang langsung terlihat di kedua pipinya sampai ke telinga terasa berdesir malu serta merasakan amarah yang bercampur menjadi satu, membuat dirinya benar-benar ingin melempar Sean pada detik ini juga.     

"SEAN!!" pekiknya dengan lantang sampai memenuhi sudut ruangan. Sialnya, setiap ruangan di rumah ini pasti lah kedap suara. Ada beberapa ruangan yang tidak kedap suara yang memiliki ahli fungsi tidak penting di rumah ini. Contohnya seperti gudang dan beberapa kamar maid yang menghuni rumah laki-laki itu.     

Ia sangatlah tidak habis pikir dengan Sean, bagaimana bisa ukuran pakaian dalamnya sangat tepat dengan ukuran dan lekukan tubuhnya.     

"Lihat saja nanti akan ku habisi dengan satu kali tembakan," gumamnya sambil menggeram kesal. Tapi tak ayal ia segera memilih pakaian yang cocok untuk dikenakannya hari ini.     

Hanya kaos polos tanpa lengan berwarna corak army dengan hotpants berbahan jeans yang membuat tampilannya mungkin akan terlihat lebih santai dan segar. Tanpa banyak waktu lagi, ia langsung saja membawa seluruh pakaian yang akan ia kenakan masuk ke dalam kamar mandi bersama dengan dirinya.     

Setelah berhasil mengunci pintunya, ia langsung saja menggantungkan semua pakaiannya pada gantungan yang berada di dekat kotak P3K yang berada di dalam kamar mandi. Ia sebenarnya sering kali tersanjung dengan apa saja yang tersedia di rumah ini, tapi mengingat sang pemilik rumah sangat membuat dirinya langsung mengurungkan niat supaya tidak kelepasan untuk memuji segala pemikiran takjub untuk laki-laki itu.     

Lalu, ia mulai melucuti pakaian dari tubuhnya. Ia langsung berjalan menuju shower dan langsung membasahi tubuhnya dengan air dingin yang langsung membangkitkan semangatnya, seperti segar kembali di udara yang cukup panas siang ini. Lebih baik meneruskan tidur daripada jalan-jalan di cuaca seperti ini, iya kan?     

Katakan Erica adalah gadis pemalas, dan itu benar adanya saat ia sudah merasa lelah dengan apa yang terjadi pada hari-harinya. Ia bahkan tidak segan-segan untuk bangun sore hari jika ini tidak berada di rumah Sean yang kini menjadi laki-laki di kehidupannya. Ya walaupun dia adalah gadis dingin dan mengintimidasi setiap orang, tapi rasa malu tetap ada di dirinya.     

Setelah beberapa menit menyibukkan diri untuk membasuh tubuh, ia langsung saja menarik handuk yang tergantung tidak jauh darinya. Lagi dan lagi ia memakai segala barang milik Sean.     

"Sepertinya aku harus membeli beberapa barang sebagai persediaan disini," gumamnya sambil berjalan menuju tempat dirinya menggantung pakaian yang tadi ia pilih dari berbagai pasang baju yang dibelikan oleh Sean untuk dirinya.     

Tanpa ingin membuang-buang waktu lebih lama lagi karena perutnya sudah berbunyi tanda dirinya sedang kelaparan, ia langsung saja memakai seluruh pakaian dari pakaian dalam sampai hotpants-nya.     

"Kalau begini, aku terlihat seperti gadis yang butuh kasih sayang." ucapnya saat melihat penampilan akhir dirinya yang terpantul di cermin besar. Ia melihat Erica yang berbeda yang tampil lebih terkesan... sexy?     

Sebenarnya menjijikkan jika tampil dengan pakaian seperti ini, tapi mengingat dirinya tidak kemana membuat dirinya menghela napas pasrah. Memangnya di rumah ingin berpakaian seperti apa? Dress? Atau baju yang menghebohkan lainnya?     

Ia langsung saja keluar dari kamar mandi dan langsung berjalan untuk keluar dari kamar tidur milik Sean juga. Astaga tidur larut malam dan tidur tengah hari seperti ini sangat membuat dirinya terlihat seperti kelelawar atau persis dengan burung hantu.     

"Hai, Erica."     

Suara bariton tersebut membuat Erica langsung mengalihkan perhatiannya langsung ke pemilik suara. Terlihat D. Krack dengan handuk kecil yang tersampir di bahu kanannya dengan pelipis terpenuhi oleh banyak bulir keringat. "Apa?"     

"Kemana Sean? Kenapa dia tidak menunjukkan batang hidungnya?" tanya D. Krack sambil mengalihkan pandangannya ke segala arah mencoba mencari keberadaan Sean si laki-laki yang selalu tidak jelas keberadaannya.     

Erica menaikkan sebelah alisnya lalu mengangkat bahunya seolah-olah tidak tahu menahu dengan keberadaan laki-laki yang paling menyebalkan sedunia. "Tidak tahu deh," ucapnya dengan sangat acuh. Ia kembali meneruskan langkahnya untuk menuruni setiap anak tangga dengan perlahan.     

Ia segera pergi menghampiri Jeremy yang tengah berkutat di dapur, entah apa yang laki-laki itu sedang masak untuk saat ini.     

"Hai, Jeremy." sapa Erica sambil duduk di kursi pantry yang langsung saja menghadap langsung ke arah kitchen.     

Jeremy yang mendengar sapaan seseorang langsung saja menolehkan kepadanya dengan durasi kira-kira lima detik karena masih fokus dengan apa yang ia masak saat ini. "Hai, Nona Erica." ucapnya balik menyapa Erica dengan seulas senyuman manis yang telat di perlihatkan membuat gadis itu tidak dapat melihat seulas senyumannya.     

Erica mulai menopang kepalanya dengan kedua tangannya. Ia memperhatikan setiap gerakan yang Jeremy lakukan dengan teliti. Apa memasak seseru itu? Ah, ia tidak pernah niat berkutat dengan panasnya api kompor. Baginya, duduk menatap laptop dengan secangkir espresso atau americano dan terpaan AC sudah sangat menjadi pekerjaan kesukaannya.     

"Makan siang, Nona. Aku sudah memasakkan sesuatu untuk dirimu atas perintah Tuan Muda." ucap Jeremy sambil menaruh satu makanan utama yaitu lobster Newberg, satu piring yang berisi dua potong pudding rasa coklat dengan fla vanilla sebagai pelengkapnya. Ah iya, jangan lupakan segelas jus jeruk dingin yang tampak sangat menyegarkan jika terkena dinding tenggorokan.     

"Untukku?" tanya Erica sambil menaikkan sebelah alisnya. Apa benar Sean yang berpesan seperti ini Jeremy untuk memasak menu makan siang untuk dirinya?     

"Iya, di perintahkan oleh Tuan Muda." balas Jeremy sambil menampilkan lekuk senyuman yang sopan.     

Makanan sebanyak ini sangat lah menggugah selera membuat air liurnya terasa ingin menetes pada saat ini juga. "Terimakasih banyak, Jeremy."     

Mengingat perut yang sudah keroncongan membuat dirinya langsung saja beranjak dari duduknya dan langsung memasuki area kitchen untuk mencuci tangan di wastafel.     

"Eh? Nona kenapa mencuci tangan disini? Aku bisa menyediakan semangkuk kecil air dengan lemon untuk membersihkan--"     

"Tidak perlu repot-repot, kamu lanjutkan pekerjaan mu saja." ucap Erica memotong pembicaraan Jeremy yang memberitahukan hal yang menurutnya sangat tidak penting. Ingin mencuci tangan di manapun asal airnya bersih, itu berfungsi sama saja untuk di pakai sebagai media pembersih tangan dan menghalau kuman tak kasat mata.     

Dengan cepat, ia langsung saja kembali pada posisi semulanya. Memangnya siapa yang berani menolak kenikmatan lobster?     

"Selamat makan, Jeremy." ucap Erica sambil mengulas sedikit senyuman kepada laki-laki yang kini tengah membersihkan area kitchen yang barusan di pakai untuk membuat semua hidangan untuknya saat ini.     

Jeremy menoleh ke arah Erica, lalu menganggukkan kepalanya. "Silahkan, Nona."     

Erica mulai menyantap hidangannya karena memang perutnya sudah mendemo meminta karbohidrat untuk memulihkan kembali energi di dalam tubuhnya.     

Tapi, detik selanjutnya setelah ia baru memakan satu suapan, pikirannya langsung tertuju pada Sean. "Jeremy, apa kamu tahu dimana Sean berada?" tanyanya dengan mulut yang sudah selesai menelan kunyahan daging lobster di dalam mulutnya.     

Sedangkan Jeremy, kini kembali membalikkan tubuhnya menatap ke arah Erica dengan tangan yang memegang towel berwarna putih yang sudah ternodai oleh beberapa corak kotor. Entah karena terkena minyak atau siraman saus yang tidak sengaja terciprat pada meja kerjanya --kitchen table--.     

"Entah, Tuan Muda hanya berpesan untuk tidak membiarkan Nona pulang tanpa sepengetahuannya."     

"Itu saja?"     

"Iya, Nona."     

"Oh yasudah kalau seperti itu,"     

Lagipula, siapa yang mempedulikan Sean? Ia hanya bertanya tentang keberadaan laki-laki itu yang pergi tanpa pamit dengan alasan yang tidak jelas tujuannya itu.     

Ya, ia hanya berpikir mungkin hari libur ini akan terasa sangat tidak menyenangkan dan membosankan.     

Ia bahkan diam-diam memanjatkan doa pada Tuhan supaya Sean cepat kembali. Hei, ayolah berpikir positif. Ia tidak diperbolehkan keluar dan berdiam di rumah yang isinya hanya ada D. Krack dam beberapa maid membuat kebosanan meningkat sangat drastis dari dirinya.     

Tanpa sadar, Erica sudah mulai ketergantungan dengan adanya Sean.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.