My Coldest CEO

Seratus empat



Seratus empat

0"Siap, aku nanti akan menghubungi mu lagi nanti ya Allea. Selamat akhir pekan,"     

Pip     

Senyum Allea mengembang sempurna tercetak jelas di wajahnya yang nyaris tanpa sapuan make up sedikitpun, walaupun begitu wajah naturalnya sangat terlihat lebih natural dan segar. Ia menaruh asal ponselnya di sofa yang kini sedang ia tempati, lalu mengambil bantal sofa dan memeluknya dengan gemas.     

Berita kematian Hana Xavon sudah menjalar sampai seluruh bagian dunia. 40% merasa senang dengan hal ini, 50% merasa berduka, dan 10% lagi memilih untuk tidak mengambil andil apapun.     

Sudah lama sejak beberapa bulan yang lalu nama Hana Xavon sudah tidak berada pada puncaknya lagi, ia bahkan hampir putus asa karena bosan tidak melakukan pekerjaan apapun dan berakhir melamar pekerjaan di Luis Company. Awalnya hanya iseng-iseng karena Hana meninggalkan dirinya sebuah flashdisk dengan kapasitas besar dan sangat cocok jika di pakai bekerja yang memegang andil besar dalam menyimpan segala dokumen.     

Dan ia bahkan tidak menyangka akan ke terima di Luis Company. Sebenarnya uang dari gaji bulanan yang selalu di berikan oleh Hana tepat pada waktunya itu sangatlah lebih dari cukup. Tapi mengingat dirinya adalah gadis yang giat, tidak bekerja dan menjadi pengangguran bukanlah hal yang baik.     

Dan kabar mengenai kembalinya Hana membuat dirinya berpuluh-puluh kali lipat merasakan senang. Astaga, ia bahkan rasanya ingin menjerit pada saat ini juga.     

"Kamu kenapa?"     

Allea langsung saja melihat Clarrie yang sudah membungkuk di hadapannya sambil meletakkan segelas americano yang tadi ia pesan. "Tidak ada apa-apa, jangan penasaran." ucapnya sambil menjulurkan lidahnya seolah-olah tengah meledek gadis yang kini sudah menegakkan tubuhnya sambil menatap ke arahnya dengan satu alis yang terangkat.     

Clarrie balas mengulurkan lidah ke arah Allea. "Yasudah, tidak penting juga." ucapnya sambil melenggang pergi meninggalkan Allea sendirian, ia masih memiliki berbagai macam pekerjaan yang harus segera di selesaikan saat ini juga. Kalau di tunda terus menerus bisa saja dirinya tidak bisa menonton drama Korea di laptopnya, karena ia paling tidak bisa ketinggalan series baru yang akan tayang pada malam ini.     

Allea terkekeh geli, lalu langsung saja meraih secangkir americano dan langsung menyesapnya secara perlahan. Astaga, kehangatan dari americano ini langsung saja menyapa dinding tenggorokannya.     

Namun kini, pikirannya kembali terarah pada pekerjaan yang sekarang tengah ia minati. Tadi di telepon, Hana kembali menawarkan pekerjaan menjadi asisten gadis itu. Ia tentu saja sejujurnya sangat lah mau, tanpa perlu persetujuan lagi ia selalu bersedia untuk menjadi bawahannya Hana. Tapi, ia sudah menyandang status di Luis Company sebagai karyawan yang bekerja pada bagian staff bersama dengan Orlin.     

Sesuai dengan perjanjian yang pernah ia baca, karyawan di kontrak satu tahun di sana. Jika kinerjanya meningkat akan di tambah masa kerjanya, dan jika menurun mau tidak mau harus di keluarkan dari sana.     

Pikiran Allea kini terbelah menjadi beberapa cabang. Memangnya siapa yang tidak ingin bekerja di Luis Company dan mengerjakan suatu pekerjaan yang baru saja ia tekuni? Tidak, ia tidak bosan melakukan hal berbahaya demi menjaga seorang Hana. Tapi kembali lagi, ia hanya merasakan suasana baru yang sebelumnya tidak pernah dilakukan olehnya.     

"Arghhh aku pusing," serunya sambil menaruh kembali cangkir tersebut ke atas meja. Ia beranjak dari duduknya, ternyata ingin berada di zona nyaman adalah keputusan yang sangat sulit untuk di lakukan. Terlebih lagi ia sudah terlanjur memilih keputusan untuk bekerja di Luis Company, mana mungkin bisa ia memutuskan kontrak dengan perusahaan besar dengan begitu saja?     

Allea mengambil ponsel yang tadi ia letakkan dan langsung saja melangkahkan kakinya menuju ke barisan anak tangga yang semakin naik mengarahkan ke lantai dua. Memangnya ingin kemana lagi selain ke kamarnya? Ingin keliling kota New York tapi sangatlah tidak mungkin, ia belum mengenal kota ini lebih dalam lagi, bagaimana jika dirinya tersesat?     

Ah baiklah, pikirannya mulai terlalu jauh. Ia bisa saja meminta bantuan pada Orlin, tapi gadis itu mengatakan jika setiap akhir pekan adalah waktu yang pas bagi gadis itu bertemu dengan laki-laki yang bernama Niel. Sedangkan Xena? Ia sudah dapat menebaknya tanpa harus menerka-nerka kemana perginya gadis itu saat ini.     

Memiliki kekasih tampan yang kaya raya, tidak mungkin Vrans membiarkan akhir pekannya Xena terasa sangat datar dengan hanya berdiam di rumah, iya kan? Sudah pasti mereka kini sedang mengunjungi salah satu tempat menarik di New York, astaga ia ingin seperti itu juga.     

Siapapun, apakah ada yang berniat untuk menjadi kekasihnya? Tidak ada? Ah iya, dirinya hanya gadis payah yang bekerja di belakang layar seorang pembunuh bayaran terkenal si Hana Xavon.     

"Aku ingin mengajak Erica main, apa gadis itu mau?" tanyanya sambil memasuki ruang kamarnya dengan perlahan menutup kembali pintunya.     

Dengan perasaan bimbang, ia menimang-nimang keputusan yang sangat membuat adrenalin-nya menciut saat ini.     

"Oh tolong bunuh rasa bosan ku ini!" serunya dengan sebal sambil melempar tubuhnya ke atas kasur. Jika ia masih bekerja pada Hana, sudah dapat di pastikan kesehariannya sangat sibuk dengan berbagai kertas sambil di temani banyak peralatan keren hasil ciptaan gadis itu. Ah, apa kini keputusannya salah? Tapi kan tidak ada yang mengetahui kebangkitan Hana dari kematian, iya kan?     

Allea menidurkan diri dengan posisi telentang, ia menatap langit-langit kamar dengan pandangan yang menyorot lurus dengan serius. "Tapi, kalau sebenarnya Hana tidak pernah tewas, kenapa dia tidak menghubungi siapapun?"     

Bagaimana pun juga, sejak adanya Sean yang menjadi 'bagian" dari aksi pembunuhan yang dilakukan oleh Hana membuat dirinya tidak pernah bekerja di lapangan lagi. Untuk mengetahui segala kasus yang berkaitan dengan segala target sasaran saja ia tidak mengetahuinya. Jadi, apa yang membuat Hana menyembunyikan dirinya dari semua orang termasuk dirinya?     

Pasti ada rencana yang tidak pernah ia tahu.     

Tanpa ingin memikirkan hal ini lebih lama lagi, ia langsung saja mengusap wajahnya dengan kasar.     

"Butuh liburan tapi tidak tahu arah," gumamnya sambil menatap layar ponsel dengan wallpaper kucing hitam, kesukaannya dengan Hana.     

Mereka memiliki beberapa kesamaan, seperti hewan kegemaran dan juga bentuk senyuman. Entahlah, hal itu hanya tiba-tiba saja dan membuat dirinya langsung merasa akrab dengan Hana. Ia bahkan tidak memerlukan banyak waktu untuk menyesuaikan lingkungannya dengan lingkungan gadis itu, semua langsung berjalan seperti aliran sungai yang mengalir sangat damai.     

Dengan satu sentuhan dengan scan sidik jari, ponselnya langsung terbuka dan jemarinya mulai menari-nari di atasnya. Ia mencari kontak telepon milik Erica untuk sekedar mengobrol santai.     

Dengan hembusan napas kecil, ia menatap sedikit ragu ke arah satu nama yang kini memenuhi layar ponselnya.     

"Demi menghapus rasa bosan!" serunya seperti menyemangati diri sendiri. Tidak dapat di sangkal lagi jika kinerja jantungnya memompa lebih cepat dari sebelumnya. Memangnya siapa yang tidak takut saat mendengar nada intimidasi milik Erica? Walaupun ia sudah berkali-kali meloloskan Hana dari para keparat yang berkepribadian jahat, hatinya ini masih lembut tanpa ada niatan yang satu alur dengan Hana.     

Ia segera menekan gagang telpon pertanda langsung menderingkan panggilan pertama yang terdengar dari ponsel.     

"Halo," sapa Erica di seberang sana.     

Allea langsung saja meneguk salivanya lalu ia menggaruk pipinya supaya menghilangkan rasa gugup yang tercipta di atmosfer kamarnya. "Ah tidak, aku hanya bosan saja tidak tahu ingin apa." ucapnya sambil terkekeh kecil supaya keadaaan awkward ini segera terpecahkan.     

Di seberang sana, Erica ber oh ria. Lalu terdengar deheman kecil dari mulutnya. "Sama, aku juga merasakan hal itu."     

Allea menaikkan sebelah alisnya, "kemana kekasihmu?" tanyanya dengan heran. Walaupun ia tidak pernah mengetahui bagaimana bentuk wajah dari kekasih para temannya itu, tapi tak ayal juga ia mengetahui mereka dari satu grup yang hanya dirinya seorang yang tidak memiliki seorang kekasih. Ah, apa hidup tanpa kekasih terasa seburuk ini?     

Sepertinya iya. Karena jika memiliki kekasih, sudah pasti ada yang mengajak dirinya keluar untuk sekedar berjalan-jalan santai atau bahkan mengunjungi tempat fantastis. Kalaupun tidak, pasti ada satu orang yang menemani dirinya di rumah. Mungkin melakukan kegiatan menggemaskan seperti maskeran bersama atau bahkan melakukan kegiatan seru lainnya yang memusnahkan perasaan bosan.     

"Tidak tahu dan tidak peduli," ucap Erica di seberang sana dengan nada acuhnya. Sudah dapat di pastikan jika gadis itu kini sedang memutar kedua bola mata. Salah satu sifat dominan yang menjerumus ke arah cuek terhadap lingkungan sekitar masih melekat setia pada tubuhnya.     

Allea terkekeh kecil, lalu menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi sedikit penglihatannya. "Jangan seperti itu, nanti kamu menyukainya." ucapnya.     

"Tidak mungkin, siapa yang ingin memiliki kekasih seperti dirinya?" balas Erica dengan dengusan kecil yang seakan-akan gadis itu tengah menahan rasa kesal kepada laki-laki yang dianggap menjadi kekasihnya saat ini.     

Allea menaikkan sebelah alisnya. "Memangnya kenapa?" tanyanya.     

"Ayolah, dia laki-laki yang menyebalkan." ucap Erica yang masih mempertahankan nada sebalnya.     

Berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, Allea langsung saja menjentikkan jemarinya. "Bagaimana kalau kita keluar sebentar?"     

"Tidak bisa, Allea. Aku tidak diperbolehkan untuk pergi keluar rumah tanpa sepengetahuannya." balas Erica.     

Allea mengambil satu bantal untuk di peluknya dengan tangan kiri yang bebas tidak melakukan aktivitas apapun. "Siapa? Kekasihmu?"     

"Bukan kekasihku, ayolah Allea." balas Erica dengan kalimat protes.     

Allea terkekeh kecil. "Baiklah, baiklah, siapakah namanya? supaya aku enak memanggilnya." ucapnya dengan penasaran. Ia menanyakan hal ini demi kenyamanan Erica yang seperti tidak suka memanggil laki-laki yang tengah dekat dengan gadis itu dengan sebutan 'kekasih'. Jadi, pertanyaan ini bukanlah hal kalau dirinya merasa ingin tahu mengenai laki-laki itu.     

Lagipula, masih banyak laki-laki yang ada di dunia ini. Merebut milik seseorang bukanlah hal elegan yang bisa membuat dirinya dengan mudah merebut apapun yang menjadi hak milik orang lain.     

Terdengar deheman kecil dari seberang sana, "Sean Xavon. Laki-laki yang paling menyebalkan sedunia."     

Pada saat itu juga, Allea membelalakkan kedua bola matanya. Ia sangat terkejut dengan apa yang di ucapkan oleh Erica. Kenapa ruang lingkupnya sekecil ini dan selalu bertemu dengan orang-orang yang berkaitan satu sama lain?     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.