My Coldest CEO

Seratus tujuh



Seratus tujuh

0Hana menatap kepergian Sean dengan tatapan yang meremehkan. Bisa apa adiknya itu tanpa dirinya? Ia segera memasukkan stop watch yang berada di tangannya ke dalam tas selempang yang berada di pinggangnya. Ia menekan tombol pada handsfree yang terdapat di telinga kanannya.     

"Turunkan tangganya," ucapnya sambil mendongakkan kepalanya. Ia menatap helikopter yang segera menuju ke arahnya, setelah itu sesuai dengan apa yang ia pinta tadi helikopter tersebut langsung menurunkan tangga tepat di hadapannya.     

Ia dengan gerakan cepat langsung saja menaiki satu persatu anak tangga, lalu setelah itu ia mengambil tangga yang bergelantungan untuk kembali masuk ke dalam helikopter.     

"Bagaimana keadaan di New York?" tanya Hana sambil melihat ke arah seorang laki-laki yang mengemudikan helikopter pribadi miliknya ini. Ia menyunggingkan senyuman lalu bergerak ke arah depan dan menduduki kursi yang berada tepat di samping laki-laki tersebut.     

"Tentu saja sesuai arahan Nona Muda," balas laki-laki tersebut sambil menjalankan kembali kinerja helikopternya. Ia terlihat mahir mengendarai kendaraan ini dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Astaga keren sekali, terlihat seperti laki-laki yang sangat sempurna.     

Mengendarai mobil sudah biasa, tapi mengendarai helikopter bukanlah suatu hal yang biasa dan tidak bisa di lakukan oleh sembarang orang.     

Mendengar ucapan laki-laki di sampingnya ini, Hana langsung saja tersenyum jahat. Ia bisa membayangkan bagaimana buruknya kinerja Sean dalam mengejar waktu untuk sampai tepat waktu di New York.     

Ia sangat sengaja mengajak adiknya itu ketemuan di tempat yang jauh dari keramaian, bahkan tempatnya tadi berpijak termasuk salah satu lahan kosong di pedalaman kota Albany. Ia suka sekali berkeliling Amerika entah untuk hal yang penting atau hal yang tidak penting sekalipun.     

Dengan berbekal kewaspadaan dan terkadang ia memaksa aksesoris yang berlebihan untuk menutupi identitasnya sebagai pembunuh bayaran yang bernotabene sudah tewas itu, membuat dirinya harus dengan profesional menutupi diri di muka publik.     

Anggap saja berita tentang dirinya yang tewas beberapa minggu kebelakang ini adalah liburan mendadak yang ia ambil untuk menetralkan kinerja otaknya supaya tidak terlalu tertekan dengan ramainya pekerjaan yang harus ia pilih-pilih. Hei, ia tidak sembarang menerima pekerjaan para costumer. Hanya menerima tawaran sang konglomerat yang berani membayar kinerja yang telah ia lakukan dengan jumlah tidak sedikit.     

Memangnya siapa yang mau di bayar dengan jumlah kecil saat dirinya sudah berhasil membunuh orang, bahkan mencuri beberapa dokumen penting?     

Uang harus sebanding dengan apa yang ia lakukan. Jika tidak sanggup, sebaiknya tidak perlu menghubungi dirinya, hanya membuang-buang waktu dan tenaga saja.     

"Good job, you are the best maid." ucap Hana yang sudah selesai memasang sabuk keamanan pada tubuhnya. Kini tujuannya hanya kembali ke rumah dan memantau pekerjaan laki-laki bayaran yang sudah kontrak perjanjian dengan dirinya.     

Kira-kira perjanjiannya seperti ini,     

_______     

Win : get 100 million dollars from me     

Lose : ready to be killed by yourself or others     

Happy work, I hope bad luck does not befall you     

_______     

Hanya surat perjanjian sederhana, tanpa materai ataupun tanda tangan yang biasa di sampirkan untuk mencegah ketidaktepatan sang pejanji atau si yang di beri janji. Ya lagipula kalau laki-laki itu ingin lari dari tanggung jawab, ia tidak segan-segan untuk mengotori kedua tangannya untuk segera menewaskannya.     

Berani lari, berarti siap untuk di tangkap. Itu adalah hukum alam yang selalu berlaku pada kehidupan manusia, terima atau tidak.     

"Nona ingin makan apa nanti?" tanya laki-laki itu tanpa mengalihkan pandangannya untuk Hana sedikitpun. Mengendarai helikopter sangat di butuhkan konsentrasi dan keahlian yang tinggi.     

Hana yang tadinya sedang memperhatikan pemandangan beberapa gedung dan perumahan di bawahnya langsung saja menoleh pada laki-laki di sampingnya dengan kekehan kecil. "Kamu itu doorman dan private driver ku, bukan chef ataupun bartender, Alard." ucap Hana sambil mengambil helaian rambutnya yang menjuntai kebelakang telinga.     

Alard ikut terkekeh kecil. "Siapa tahu Nona ingin makan, ku pesan kan." ucapnya dengan nada yang terbilang lebih santai. Semua ini sesuai perintah Hana untuk tidak terlalu tegang saat berada di dekatnya.     

Hana memutar kedua bola matanya. "Aku tantang kamu untuk memasak, bagaimana? Jika tidak berhasil, aku akan menembak diri mu." ucapnya sambil mengulum senyuman jahat. Ayolah, memasak adalah yang termudah sedunia. Iya, mudah jika minat untuk di pelajari. Sayangnya, ia tidak berminat untuk menjadi ibu rumah tangga yang kerjaannya hanya menetap di dapur dan melakukan kegiatan selayaknya seorang maid.     

Astaga, menjadi woman assassin dan bekerja di lapangan itu membuat dirinya mengesampingkan kodrat sebagai seorang wanita. Darah, pistol, dan beberapa peralatan canggih serta kolega besar yang membayar dirinya sudah lebih dari cukup untuk menikmati dunia tanpa perlu repot-repot mengurusi pernikahan dan seorang bayi.     

Ia tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan apapun. Tidak, ia bukan tidak suka dengan laki-laki atau pikiran buruk lain akibat keputusannya ini. Ia hanya merasa jika menikmati kehidupan itu akankah lebih baik jika tanpa orang kedua yang ikut andil di dalam hidupnya.     

Alard menoleh sekilas ke arah Hana, lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa, Nona. Untuk memasak sih mudah, tapi aku tidak akan pernah menjanjikan rasanya." ucapnya dengan sungguh-sungguh. Ia mengatakan kebenaran tentang kemudahan memasak, tapi ia adalah perasa yang buruk.     

"Bilang saja tidak bisa," ucap Hana.     

"Apa ada imbalan lain jika menang?"     

"Tentu saja, kamu boleh memiliki helikopter ini."     

Iya, itu lah Hana. Sangat suka membagi-bagikan harta tanpa berpikir panjang. Bahkan ia tidak peduli menang atau kalah, yang terpenting ia tidak pernah mengecewakan dirinya sendiri.     

Alard yang merasa tertarik itu pun langsung saja tersenyum. "Baiklah, aku akan memasakkan dirimu satu hidangan yang spesial."     

Gelak tawa Hana terdengar sempurna. Spesial? Yang spesial saja masih sering diperlakukan layaknya sampah. "Dan apa itu?" tapi tak ayal ia juga penasaran dengan apa yang akan di masak Alard untuk dirinya.     

"Tidak boleh ku beri tahu, Nona. Itu semua rahasia dan kamu tidak perlu penasaran." ucap Alard dengan mata yang masih terfokus pada lalu lintas angkasa di hadapannya.     

Hana memutar kedua bola matanya, lalu berdecih sinis. Ia meningkatkan gengsinya kalau dirinya memang benar-benar penasaran dengan menu apa yang akan di hidangkan Alard untuk dirinya "Memangnya siapa yang penasaran?" tanyanya dengan nada malas.     

Alard terkekeh kecil, "Nona Muda."     

"Jangan terlalu percaya diri." ucap Hana dengan kesal, ia menarik kacamata yang bertengger di hidung mancung Alard lalu memakainya tanpa perlu izin sedikitpun.     

Hei, seorang Hana Xavon memang terbiasa melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang di inginkan olehnya. Tidak ada yang boleh membantah ataupun melarangnya. Jika ada, ia tidak akan segan-segan untuk memaki orang tersebut, parahnya lagi ia pasti akan menodongkan pistol ke arah kepala atau bagian lainnya yang sangat ampuh untuk mematikan kinerja syaraf dengan sangat mudah.     

Ia langsung saja mengeluarkan ponsel yang sedari tadi berada di tas selempang miliknya. Ia langsung saja mencari kontak panggilan terakhir yang tidak di beri nama pengguna itu. Ia langsung saja menekan tombol hijau memberikan tanda panggilan masuk untuk sang pemilik telepon di seberang sana.     

"Good morning, Nona." sapa seorang laki-laki di seberang sana. Nada bariton tersebut langsung saja menginterupsi indra pendengarnya.     

Hana menganggukkan kepalanya. "Yes, good morning too. How's New York City?" tanyanya sambil memainkan ujung kukunya dengan ujung kuku yang lain. Ia kemarin habis memanggil sang pendekor kuku untuk menghias kukunya yang sudah lama tidak terkena sapuan perawatan oleh sang ahli.     

Tapi sayangnya, ternyata pendekor tersebut setelah selesai merawat kukunya langsung saja pucat karena mengenali dirinya. Astaga, apa semua orang akan bertindak seperti itu saat melihat dirinya? Bahkan sang perawat kuku itu ingin menghubungi pihak kepolisian di belakangnya, untung saja saat itu ia berinisiatif untuk mengikutinya dan langsung menembak dengan pistol yang selalu tersimpan di setiap sudut rumahnya.     

"Yes, miss. I'm waiting for the target to leave his house." ucap laki-laki itu di seberang sana.     

Hana menyunggingkan sebuah senyuman yang sangat sulit untuk di artikan. "Everything depends on you. If you fail, you will know what happened." ucapnya.     

Ia melihat titik pendaratan helikopter yang tepat berada di belakang rumahnya. Tanah berhektar-hektar ini ia beli dengan harga yang tentunya sangat fantastis.     

Lambang H besar terdapat di landasan tersebut. H until helikopter dan H untuk Hana.     

"Ready, miss. Have prepared money for me, right?" tanya seseorang di seberang sana. Sudah dapat di pastikan     

"Of course, I have also prepared a prayer to God in case you die." balas Hana dengan senyuman miring yang tercetak sangat jelas di wajahnya. Ia benar-benar sudah mempersiapkan imbalan sekaligus doa panjat kepada Tuan atas kebinasaan laki-laki bayaran ini.     

Ya seperti layaknya kejadian beberapa minggu lalu, sudah pasti Xena memiliki banyak orang yang berperan penting dalam membantu keselamatan gadis itu.     

Cih, bahkan hanya untuk seorang gadis yang tidak memiliki kespesialan sama sekali di perlakukan sesempurna itu. Jika dendam Paula belum tersampaikan dan ternyata gadis malang itu sudah tewas, ia yang akan menyampaikan segala rasa sakit yang pernah di rasakan Paula.     

Lagipula, Paula sudah membayar dengan harga full yang terbilang fantastis. Jadi, anggap saja ini imbalan yang setimpal. Ia bahkan tidak peduli tentang perjanjian yang sudah di batalkan itu.     

Karena Xena, adalah target yang paling susah untuk di taklukkan membuat dirinya semakin memiliki hasrat gencar untuk membunuhnya.     

"Just leave it to me." ucap laki-laki di seberang sana seperti berbicara dengan nada sombongnya. Ia belum tahu saja jika takdir bisa berbelok menjadi boomerang tajam yang merugikan.     

Hana hanya mengangkat bahunya, "hope." gumamnya yang masih mempertahankan senyuman miring yang terlihat sangat menyeramkan.     

Pip     

Sambungan terputus secara sepihak tanpa dirinya harus memberikan salam akhir untuk mengakhiri panggilan telepon ini. Ia kembali memasukkan ponsel ke dalam tas selempangnya bersamaan dengan helikopter pribadi miliknya yang sudah mendarat pada landasan.     

""I'll be waiting for your meal." ucap Hana sambil menepuk pundak Alard dengan pelan. Ia segera keluar dari helikopter dengan lompatan yang membuat kakinya langsung berpijak di area landasan tanpa bantuan siapapun dan apapun. Ia tetap akan menjadi seseorang yang terbaik dan keren tanpa harus di bantu oleh orang lain. Tidak, ia bukan hidup yang menghilangkan status 'manusia sosial' tapi ia kurang nyaman kalau ada seseorang yang sok akrab ataupun sok dekat dengan dirinya mulai masuk ke dalam hidup.     

Kecuali, dirinya sendiri yang memberi akses supaya seseorang itu bisa masuk ataupun menetap di dalam hidupnya.     

Don't feel cool if you've never met Hana Xavon.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.