My Coldest CEO

Seratus delapan



Seratus delapan

0"Aku ke toilet dulu," ucap Vrans dengan nada kecil sambil tersenyum ke arah Xena, astaga senyuman laki-laki ini mampu membuat gadis yang tengah sibuk berbicara dengan nada sangat antusias pada seseorang di seberang sana.     

Xena langsung saja menganggukkan kepala, mengiyakan ucapan Vrans yang akan pergi ke toilet. Mungkin laki-laki itu hanya tidak ingin mendengarkan segala topik pembicaraannya dengan Leo mengenai hubungan mereka.     

Biasa, Vrans pasti malu! Iya, pasti seperti itu. Karena hei, kekasihnya itu adalah laki-laki yang sangat dingin dan tak tersentuh. Namun kini Vrans seolah-olah sudah menjadi laki-laki yang lemah lembut saat berdekatan dengannya.     

Sudah sangat di pastikan jika Leo kini sedang mengulum senyuman dan ia sangat yakin pasti ayah mertuanya itu tengah menertawakan sang putra di dalam lubuk hatinya. Baiklah, hubungan ayah dan putra yang dijalin oleh mereka justru terlihat seperti teman dekat yang tahu segala hal.     

"Kemana perginya Vrans?" tanya Leo di seberang sana membuat Xena langsung berpikir jika sebentar lagi pasti laki-laki paruh baya yang masih terlihat sangat berwibawa itu akan meluncurkan beberapa deret kalimat ejekan.     

Entah kenapa, Xena mengangkat bahunya seolah-olah ia berbicara tatap mata dengan Leo. "Ke toilet, ayah. Memangnya ada apa?" tanyanya dengan tangan yang memainkan ujung taplak meja. Ia memang tidak bisa diam, apalagi tangannya yang gemar sekali menyentuh sesuatu.     

Dari seberang sana, terdengar kekehan kecil Leo yang terdengar sangat senang. "Ceritakan perubahan putra ku, aku sudah menduganya ia akan berubah menjadi laki-laki penikmat cinta." ucapnya dari seberang sana dengan nada seperti mengejek putranya. Sudah dapat di pastikan jika ia nanti menghubungi Vrans lagi, ia akan menanyakan bahkan melontarkan segala pertanyaan yang akan membuat Vrans merasa skakmat.     

Xena ikut terkekeh geli mendengar pernyataan yang di lontarkan dari mulut Leo dari seberang sana. "Ayolah Ayah, jangan menggoda Vrans." ucapnya dengan nada pelan, ia sama sekali tidak ingin membuat Leo merasa jika dirinya terlalu mengatur tata bahasa dari laki-laki di seberang sana itu. Ia hanya ingin membela Vrans karena dirinya juga ikut malu saat Leo membahas tentang 'perubahan' pada sifat sang putra Luis itu.     

"Memangnya kenapa? Malu? Ah bukannya kamu selalu tidak tahu malu? Ciri khas menggemaskan dari menantu ku."     

Blush     

Memangnya siapa yang tidak merona saat sang mertua memuji dirinya dan sangat merestuinya hubungannya dengan sang putra? Coba bilang kepada Xena, siapa yang tidak merasa bahagia ketika di perlakukan sangat spesial oleh ayah dari kekasih mu?     

Rasanya seperti melayang sampai langit pada tingkatan paling atas sampai bertemu dengan barisan para dayang langit yang akan memenuhi segala permintaan. Iya, kira-kira seperti itu.     

Xena langsung saja menggaruk pipinya yang tidak gatal sama sekali. "Ah Ayah, aku-- jangan memuji ku seperti itu." ucapnya dengan canggung sampai nada bicaranya terdengar gugup dan terbata-bata.     

Terdengar kekehan kecil dari seberang sana, lalu disusul dengan deheman suara bariton milik Leo. "Kalau begitu, aku masih ada pekerjaan. Sampai jumpa lagi ya, calon menantu idaman ku." ucapnya. Dapat di yakinkan jika Leo berada di hadapan Xena, mungkin laki-laki itu sudah mengerling jahil sambil menaik turunkan alisnya.     

Baiklah, Xena merasakan semburat merah di pipinya semakin terasa jelas sampai ke telinga. "Ba-baiklah Ayah Leo, sampai jumpa juga..." ucapnya masih dengan nada yang gugup. Astaga, ia sangat malu saat ini.     

Rongga dadanya seakan dipenuhi jutaan kupu-kupu yang terasa menggelitik sampai berhasil mencetak sebuah senyuman manis dengan pipi yang merona pada wajahnya.     

"Berikan salam ku pada Vrans, anak itu terlalu dingin padaku melebihi kulkas." ucap Leo dari seberang sana.     

"Iya Ayah, Vrans adalah kulkas berjalan ku." ucap Xena sambil mengulum sebuah senyuman manis, ia bahkan sempat melupakan semburat merah jambu pada pipinya yang sudah sangat tercetak jelas.     

Pip     

Panggilan telepon terputus oleh orang di seberang sana. Dengan detak jantung yang memompa tidak karuan, Xena langsung saja menaruh ponsel milik Vrans pada posisi semua.     

"Astaga, rasanya aku ingin pingsan pada saat ini juga." ucap Xena sambil memeriksa keningnya yang terasa sangat dingin.     

Berbicara dengan orang lain yang membawa topik tentang Vrans sangat membuat dirinya malu yang membuat wajahnya merona. Ia bahkan tidak segan-segan untuk membuat lawan bicaranya mengubah topik pembicaraan mereka seperti tadi yang ia lakukan, hanya tidak ingin merasakan pipinya yang memanas, itu saja.     

Dengan mengambil napas sebanyak-banyaknya, ia langsung saja mengibaskan kedua tangannya di depan wajah bermaksud untuk mendapatkan angin dari kibasan tangan tersebut. "Rasanya lebih merah daripada kepiting rebus," gumamnya dengan dengusan kecil. Ia masih berusaha menghalau perasaan itu dari dalam dirinya.     

"Excuse me, Mam."     

//*Permisi, Nyonya."//     

Xena mengalihkan pandangannya, melihat pelayan tadi yang sudah kembali ke mejanya membawa nampan yang berisi seluruh pesanan milik dirinya dan juga Vrans. Ia hanya mengangguk kecil membiarkan sang pelayan meletakkan seluruh pesanan yang di bawa ke atas meja makannya.     

"Please enjoy the food, Mam." ucap sang pelayan sambil membungkukkan tubuhnya dengan sopan, tidak lupa juga ia memperlihatkan senyuman manis yang terlihat sangat profesional.     

//*Silahkan di nikmati makanannya, Nyonya.//     

Xena menganggukkan kepalanya, ikut sedikit membungkukkan badannya supaya terlihat sopan. Ia juga menyunggingkan senyuman manis yang justru membuat dirinya terlihat berlipat-lipat kecantikannya.     

"Thank you, wait." ucapnya dengan ramah. Ia langsung saja meraih tas yang dibawanya dan mengambil dompet untuk meraih beberapa lembar uang dollar. "It's money for your perfect service." sambungnya sambil menjulurkan tangan yang berisikan uang tersebut langsung ke hadapan sang pelayan, masih dengan senyuman manisnya.     

//*Terimakasih, tunggu.//     

//*Itu uang untuk layanan sempurna kamu.//     

Sang pelayan tersenyum ramah, lalu mendorong uluran tangan Xena. "Sorry, Mam. If you are happy with my service, that is enough." ucapnya.     

//*Maaf, Nyonya. Jika Anda senang dengan layanan saya, itu sudah cukup.//     

Xena menautkan kedua alisnya, lalu dengan segera meraih tangan sang pelayan. "Take this and I'll be happy," ucapnya dengan raut wajah yang sedikit memohon supaya pelayan itu menghilangkan rasa tidak enak terhadap dirinya. Lagipula, ia dengan tangan terbuka memberikan uang ini sebagai bentuk kinerja yang sempurna dari pelayan tersebut.     

//*Ambil ini dan aku akan merasa senang.//     

Pelayan tersebut melebarkan senyumnya, lalu beralih mengambil tangan dirinya untuk segera di cium punggung tangannya.     

Xena yang mendapatkan perlakuan seperti itu langsung saja menarik tangannya sebelum pelayanan tersebut berhasil mencium punggung tangannya. Untung saja sang pelayan ini wanita, jika tidak sudah dapat di pastikan Vrans akan menghajar dirinya karena walaupun niatnya sangat sopan sebagai tanda syukur dan terimakasih tapi tetap saja terlihat seperti merendahkan.     

Lagipula, Xena tidak pernah suka diperlakukan seperti layaknya konglomerat yang harus diperlakukan spesial. "Don't do it, we are all the same." ucapnya dengan segera takut sang pelayan tersebut langsung menobatkan dirinya sebagai gadis tidak tahu diri yang menolak penghormatan dari dirinya.     

//*Jangan lakukan itu, kita sederajat.//     

"May always be blessed and happy. Excuse me, Madame, I still have work to do." ucapnya sambil mengulas senyuman, ia menunjuk ke belakang letak tempat dirinya mengambil pesanan para pelanggan.     

//*Semoga selalu diberkati dan bahagia. Permisi, Nyonya, masih ada pekerjaan yang harus aku lakukan.//     

Xena menganggukkan kepalanya, dan langsung saja pelayan tersebut mengundurkan diri untuk melanjutkan pekerjaannya karena hari ini restoran ramai mengingat akhir pekan dengan artian hari libur para pekerja.     

Matanya beralih menatap hidangan yang sudah tersedia di meja makanannya. Sangat terlihat lezat, astaga ia ingin segera mengisi perutnya yang kosong dengan makan itu.     

Xena menatap ke arah toilet laki-laki yang memang masih terlihat dari meja yang kini ia duduki. Di sana terlihat seorang laki-laki yang tengah keluar dari toilet, kemana perginya Vrans? Padahal ia yakin seratus persen jika laki-laki itu tidak akan pernah lama di dalam toilet, seperti sebelumnya.     

Tiba-tiba saja mungkin karena dirinya tidak sadar, laki-laki yang tadi keluar dari toilet tersebut sudah berdiri tepat di hadapannya tanpa menunjukkan gerakan apapun.     

"Excuse me?" tanya Xena dengan nada kebingungan, ia menatap sekelilingnya, tidak ada yang memperhatikan interaksi mereka. Ia juga tidak mengenal laki-laki dengan wajah yang tertutup topi ini, di tambah lagi scraf yang menutupi mulutnya menjadi dirinya berkali-kali lipat merasa tidak bisa mengingat dan mengenal wajah tersebut.     

Tiba-tiba saja, laki-laki itu berdehem kecil. "Xena Carleta Anderson, right?" ucapnya dengan nada rendah sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. Dengan gerakan misterius itu, ia mampu membuat Xena merasakan kebingungan yang semakin membuncah.     

Xena semakin menaikkan sebelah alisnya sambil menopang wajahnya dengan kedua tangan. "Kamu mau kasih aku hadiah ya? Iya kan? Pasti bosayang nyuruh kamu buat kasih kejutan sama ak--"     

"Give up or die..." ucap laki-laki tersebut dengan nada sangat rendah, ia menampilkan sedikit matanya yang berkilat tajam sambil menodongkan sebuah pistol bermodel Raging Bull yang sudah dengan apik di genggam olehnya.     

//*Menyerah atau mati...//     

//Fyi; Pistol asli buatan perusahaan Taurus yang berlokasi di Brasil ini mampu melakaukan tembakan sampai kecepatan 580 meter per detik. Energi yang dilontarkan pistol ini juga tak main-main, hingga 2700 joule.//     

Kedua mata Xena membelalak sempurna, ia melirik ke kanan dan kiri. Banyak sorot mata yang menatap ke arah mereka, ada yang ingin berteriak namun tertahan. Bahkan tidak ada yang berani mendekat ke arah mereka untuk menghentikan aksi dari laki-laki yang kini mengarahkan pistolnya tepat ke kepala sang calon Nyonya Luis.     

"Ini pistol mainan kan?" tanya Xena sambil menelan salivanya dengan kasar. Keringat di pelipisnya sudah mulai berjatuhan, ia bahkan sempat meniup keningnya supaya tidak merasa kegelisahan yang dalam.     

Laki-laki tersebut menekan pelatuk pada pistol yang di genggamnya. "You are already a player in a game." gumamnya lagi. Sorot mata tersebut semakin berkilat seolah-olah jiwa membunuhnya sangat kental sampai memuncak.     

//*Kamu sudah menjadi pemain dalam sebuah game.//     

Xena menaikkan sebelah alisnya merasa bingung dengan apa yang diucapkan laki-laki tersebut. Game? Bahkan ia tidak sedang memainkan permainan apapun pada saat ini. Belum sempat ia meluncurkan kalimat protes, laki-laki di hadapannya kini langsung saja menghitung mundur di mulai dari angka tiga.     

"Three...     

Two...     

On--"     

DOR     

"VRANSSSSSS!"     

Xena langsung saja bersembunyi di bawah meja kala bunyi peluru langsung menyapanya indra pendengarnya. Ia menutup kedua telinganya dengan rasa takut yang memuncak.     

Entah siapa yang menembak laki-laki yang tadi mengarahkan pistol kepadanya. Yang jelas, laki-laki tersebut sudah tewas terlebih dahulu sebelum berhasil menembak dirinya.     

Saat ini, di pikirannya hanya terbesit satu nama yaitu si kekasihnya sang Vrans Moreo Luis.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.