My Coldest CEO

Seratus sepuluh



Seratus sepuluh

012:20 PM     

Sean mengumpat kasar di dalam hati saat melihat jam di pergelangan tangannya. Sial, ia telat dua puluh menit dari waktu yang di tentukan. Ini semua karena perihal dirinya hampir saja menabrak wanita tua yang membawa tas belanjaan saat sedang menyeberang.     

Ia ingin sekali lari dari tanggung jawab, tapi sangat di sayangkan wanita paruh baya itu mengancam berteriak di muka umum jika dirinya melakukan tindakan tercela pada wanita berusia. Di tambah lagi, wanita itu tidak mau di berikan uang untuk menggantikan semua barang belanjaannya yang sudah berserakan di jalan raya. Mau, tapi syaratnya ia harus menemani sang wanita paruh baya itu kembali berbelanja semua yang tadi dibelinya.     

Terdengar konyol memang, tapi itu lah yang terjadi. Walaupun Sean adalah seseorang yang tidak suka di perintah, tapi jika berurusan dengan orang tua pasti ia tidak bisa menolaknya.     

Kini, ia sudah turun dari mobil setelah berhasil memarkirkan mobilnya dengan benar.     

Dengan cepat ia langsung saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam restoran terkenal di kota New York itu. Pistol bermodel dessert eagle sudah terdapat di salam saku tuxedo-nya. Ia sambil masuk secara perlahan, tangannya juga mengambil alih memegang pistol sebagai bentuk ancang-ancang.     

Dan ya, keadaan restoran benar-benar hening. Tidak ada suara garpu dan pisau yang berdenting di atas piring bahkan cheers minuman beralkohol tidak berbunyi, untuk pertukaran obrolan pun tidak terdengar sama sekali.     

Matanya langsung terfokus dengan pandangan lurus yang mengarah ke seorang laki-laki yang tengah menodongkan pistol ke arah seorang gadis. Ah ia kenal dengan gadis tersebut, Xena. Memangnya siapa lagi yang berani mengajak bercanda para kriminalitas dengan topik pembicaraan aneh selain gadis itu?     

Bahkan waktu dirinya menyekap Xena, masih sempat-sempatnya gadis itu mengajak dirinya bermain ludo. Hei, dia sedang terancam kematian dan ternyata hal itu bukanlah permasalahan sama sekali. Apa sebaiknya Sean saja yang mencoba membunuh dirinya sendiri saking tidak habis pikir dengan jalan pikiran yang berada di otak Xena?     

Dengan derap langkah yang pelan, ia mencoba memberitahu banyak orang untuk tidak berisik atas kedatangannya. Ia langsung saja berdiri pada sudut ruang restoran, tempat dimana Xena tidak akan bisa melihat kehadirannya.     

Sudah dapat di pastikan jika Xena melihat dirinya, pasti gadis itu akan berteriak heboh memecahkan suasana yang mungkin saja semakin memburuk.     

Belum ingin menembaknya, Sean hanya mengeluarkan pistol dari dalam tuxedo lalu mulai mengarahkannya tepat ke kepala laki-laki tersebut. Ia sudah biasa menembak jarak jauh seperti ini, dan jangan bertanya seberapa besar tingkat keberhasilannya.     

Karena suasana yang cukup hening, membuat ucapan Xena dengan laki-laki tersebut terdengar sampai setiap sudut ruangan.     

Xena terlihat tengah menaikkan sebelah alis sambil menopang wajahnya dengan kedua tangan. "Kamu mau kasih aku hadiah ya? Iya kan? Pasti bosayang nyuruh kamu buat kasih kejutan sama ak--"     

Sean yang mendengar ucapan itu hanya memutar bola matanya. Lihat, seberapa tingkat percaya diri yang di tunjukkan Xena pada muka umum? Gadis itu yang berbicara, tapi dirinya yang merasa malu.     

"Give up or die..." ucap laki-laki tersebut dengan nada cukup rendah. Sean melihat jenis pistol yang di genggam laki-laki tersebut, lalu ia terkekeh kecil.     

"Raging bull?" gumamnya sambil tersenyum miring. Boleh juga selera laki-laki tersebut. Ia menjadi penasaran siapa kah seseorang yang dibayar oleh Hana untuk menjalankan aksinya ini? Semua teman milik kakaknya adalah temannya juga, jadi ia pasti mengetahui laki-laki yang dengan bangganya menodong pistol itu.     

Untung saja dirinya tidak telat dan suasana di dalam restoran ini baru pada puncaknya. Dan hei, kemana Vrans? Seharusnya laki-laki itu tetap berada di dekat sang gadis. Keras kepala sekali di saat dirinya sudah memberikan sederet kalimat waspada untuk tetap menjaga Xena apapun keadaannya.     

Ceroboh, itulah sifat dominan yang dimiliki laki-laki dengan wajah yang sama persis dengan milik gadisnya itu.     

"Ini pistol mainan kan?" tanya Xena, terlihat gadis itu yang meniupkan udara dari dalam mulutnya ke arah kening. Entah apa yang ia sedang lakukan tapi terlihat sangat menggemaskan. Aih tidak tidak, Erica masih menjadi satu-satunya gadis yang paling menggemaskan sedunia, bahkan seantero jagad raya.     

Terdengar pelatuk pistol yang di tarik. "You are already a player in a game." gumam laki-laki tersebut. Baiklah sepertinya ini bukanlah permainan lembut dengan cara penculikan ataupun cara murahan lainnya yang pernah ia lakukan bersama Hana saat perawalan mengincar Xena.     

Melihat Xena lagi, Sean seakan ingin membuat gadis itu untuk melempar laki-laki yang sok keren itu setidaknya dengan pisau yang berada di atas meja makan miliknya.     

Baiklah, jalan pikir manusia biasa dengan manusia yang gemar membunuh sangatlah berbeda, jauh berbeda.     

Tiba-tiba saja, terdengar kekehan kecil sambil adanya interupsi hitungan mundur yang langsung saja terdengar ke setiap pasang telinga yang berada di restoran ini, membuat suasana semakin menegang akibatnya.     

"Three...     

Two...     

Tepat dengan hitungan kedua, Sean sudah mengambil ancang-ancang dan membenarkan letak sasaran pistolnya supaya lebih tepat dengan target yang kini membuat dirinya penasaran setengah mati. Karena tidak banyak orang yang bisa memakai pistol dengan sembarang kalau tidak kuat dengan daya tembaknya.     

On--"     

Bertepatan dengan itu, Sean menajamkan matanya sambil mengulas senyuman yang terbilang sangat mirip dengan seorang 'sexy satan'. Iya, dia sangat pantas untuk diberi julukan kejam dan menyeramkan lainnya. Sesuai dengan karakter.     

DOR     

"VRANSSSSSS!"     

Pada detik itu juga, suasana berubah menjadi ricuh karena tembakan yang diluncurkan olehnya serta tumbangnya laki-laki yang tadi menodongkan pistol ke arah Xena dengan darah yang menyeruak deras dari kepalanya.     

Dengan tenang, ia meniup ujung pistol dengan mulutnya. Menyapu kepulan asap yang keluar dari dalam pistol miliknya sehabis peluru tersebut meluncur untuk mengenai kepala laki-laki tersebut. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding dan menyaksikan kehebohan ini dengan tenang.     

Sean terlewat santai untuk menghadapi kondisi seperti ini. Bahkan, ia masih sempat untuk terkekeh kecil saat menyaksikan darah segar yang jatuh ke lantai itu. Ia menaruh kembali pistol miliknya ke dalam saku tuxedo, ia menoleh ke arah tempat Xena duduk tadi.     

Menghilang, gadis itu sudah tidak berada lagi di tempatnya. Untung saja ia sempat melihat gerak gerik Xena yang masuk ke bawah kolong meja, entah apa maksud gadis itu.     

Tiba-tiba saja, indra penglihatannya menangkap sosok Vrans yang keluar dari toilet dengan tulisan laki-laki di atas dindingnya. Laki-laki itu tampak cemas dan panik bercampur menjadi satu. Dan pada akhirnya, kedua bola mata mereka bertemu. Ia dengan tatapan biasa saja layaknya seorang yang tidak melakukan kejahatan apapun, dan Vrans yang sudah melayangkan tatapan tajam pada dirinya.     

Ia hanya melihat Vrans yang mulai menghampiri ke arahnya dengan tangan terkepal. Tidak, ia tidak akan pernah ikut tersulut emosi dan membuang-buang waktu untuk hal yang tidak jelas kebenarannya.     

"Kemana Xena?" tanya Vrans to the point sambil melayangkan tatapan mematikan pada Sean. Ia menatap laki-laki itu dari atas sampai bawah, lalu berhenti tepat di wajahnya lagi. Ia seperti sedang mencari letak kesalahan seorang Sean Xavon.     

Lagipula, ini bukan salah dirinya kan kalau merasa waspada dengan adanya Sean di kondisi seperti ini? apalagi mengingat laki-laki itu yang dua kali mengambil andil dalam misi untuk menewaskan gadisnya. Mungkin dipikirannya saat ini, kejadian yang tersuguh ini adalah rencana Sean untuk yang ketiga kalinya.     

"Santai, bagaimana kalau kita merokok dulu?" tanya Sean sambil merogoh saku celananya dan langsung menggenggam satu bungkus rokok beserta pematiknya. Ayolah, apa jokes nya ini akan berhasil atau tidak? Ah, sebaiknya tidak perlu ditanya, iyakan?     

Vrans berdecih lalu menghempaskan semua benda yang berada di tangan laki-laki yang kini berada di hadapannya dengan gerakan kasar. Ia meraih kerah kemeja milik Sean, lalu menatapnya dengan bringas. "Katakan dimana gadis ku?!" tanyanya dengan nada penuh penekanan.     

Sean terkekeh kecil, lalu melepaskan tangan Vrans yang sudah menarik kemejanya dengan erat. "Emosian, dasar pengikut cinta." ucapnya sambil melayangkan senyuman miring. Ia ikut berdecih kecil, lalu merapihkan kembali penampilannya yang sempat berantakan karena ulah Vrans. Menyebalkan. Sudah tampil sangat tampan tapi di rusak begitu saja. Jika wajah Erica kini sedang tidak terbayang pada otaknya, sudah di pastikan kini jika laki-laki dengan tingkah sok beraninya itu sudah dirinya hajar tanpa rasa ampun sedikitpun.     

"Katakan dim--"     

"Di kolong meja, CEO pemarah." ucap Sean memotong pembicaraan Vrans yang sama selai belum tuntas. Ia menunjuk ke arah meja yang tadi di duduki oleh Xena, lalu menaikkan sebelah alisnya memberikan pertanda jika ia tidak main-main dengan ucapannya.     

Melihat Vrans yang bergeming, membuat dirinya langsung saja berdecak kesal. "Kalau tidak percaya, ya gak masalah." ucapnya sambil berjalan melewati laki-laki itu, ia melangkahkan kakinya tepat pada posisi tewasnya seseorang yang tadi ia tempat tanpa aba-aba sedikitpun.     

Begitu sudah sampai di dekat tubuh yang terkulai lemas dengan darah yang membanjiri area kepalanya, ia langsung saja berjongkok dan melepaskan semua aksesoris yang menutupi wajahnya tersebut.     

Matanya memicing tajam kala mengenali siapa yang telah tewas akibat ulahnya saat ini.     

"Jardeins," gumamnya sambil tersenyum miring. Ia tidak menduga akan hal ini.     

Jardeins Brethils adalah salah seorang kriminalitas asli dari Washington DC dengan gelar 'best fugitive' yang diberikan oleh para teman-teman tindak kriminal lainnya. Satu-satunya penjahat yang paling sulit untuk di tangkap, menjadi buronan dimana-mana dengan penyamaran sederhana namun dapat membuat orang lain berpikir jika itu bukanlah dia sang buronan.     

"Buronan ternyata butuh uang? Ku kira sudah kaya raya." ucap Sean lagi sambil terkekeh kecil. Ia mengenai Jardeins dari Hana, karena kakaknya itu sangat gencar di dekati oleh banyak penjahat di seluruh dunia membuat gadis itu memiliki banyak sekali teman. Dan salah satunya laki-laki itu, yang tidak disukai oleh Sean.     

"Bosayang mana?"     

Tiba-tiba saja kepala Xena muncul dari bawah meja membuat Sean terkejut kecil, namun ia kembali mengubah ekspresinya menjadi biasa.     

Belum sempat menjawab pertanyaan gadis yang kini terlihat dengan tubuh gemetar itu, pekikan nyaring menyapa indra pendengarannya.     

"AAAAA BOSAYANG ADA MAYAT!!" pekiknya sambil buru-buru keluar dari kolong meja, bulir air mata sudah menetes jatuh ke permukaan wajahnya yang memang sangat mulus itu.     

Sean hanya memutar kedua bola matanya membiarkan Xena berlari menuju Vrans untuk mendekap dengan erat tubuh laki-laki itu.     

Ia yakin, jika Hana sudah berani menunjukkan identitasnya dimuka umum, sudah dapat di pastikan jika ancaman kakaknya itu akan terasa semakin gencar.     

"I can't wait for your next game."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.