My Coldest CEO

Seratus dua belas



Seratus dua belas

0Sean's mansion     

01 : 30 PM     

Bertepatan dengan jam tersebut, Erica menatap Sean dari atas sampai bawah dengan tatapan bringas. Ia sangat ingin membasmi laki-laki yang tengah berdiri di hadapannya dengan senyum konyol khas seorang Sean Xavon.     

"Tidak ingin menyambut kepulangan ku dengan sebuah kecupan manis?" tanya Sean sambil menaik turunkan alisnya. Ia dengan sorot mata tengil menatap ke arah manik mata lain yang melayangkan tatapan membunuh padanya.     

Mendengar ucapan Sean barusan, Erica langsung saja berkacak pinggang dengan tangan kanan yang sudah berhasil meraih dasi berwarna merah pada kemeja laki-laki itu. "INGIN KU TAMPAR?!"     

Great, this is Sean's girl.     

Melihat tindakan Erica yang sangat ganas terhadap itu membuat Sean terkekeh kecil, ia segera melepaskan cekalan tangan pada dasinya tersebut dan langsung mendekap erat tubuh mungil gadis yang berada di hadapannya ini.     

Mendapatkan perlakuan yang seperti itu dengan mendadak tentu saja bukanlah hal yang manis menurut Erica, gadis itu langsung saja mendorong keras dada Sean sampai laki-laki itu mengalah untuk melepaskan pelukannya.     

"Gak jelas," ucap Erica dengan tangan yang mulai disilangkan ke depan dadanya, ia benar-benar tidak ingin diperlakukan romantis di saat dirinya ingin meluncurkan deretan kalimat sebagai bentuk protea terhadap laki-laki itu.     

Sean hanya terkekeh geli, "ayolah sebentar saja." ucapnya sambil merentangkan kedua tangannya seolah-olah menyuruh Erica untuk segera menghamburkan tubuh pada dada bidangnya ini.     

Modus sekali.     

"Tidak!" seru Erica sambil menjulurkan lidahnya kepada Sean. Niatnya ingin meledek laki-laki itu, tapi raut wajahnya yang datar memang tidak pernah mendukung perasaan apapun yang ingin ia gambarkan untuk seseorang itu.     

Merasa tindakannya akan sia-sia dan tidak membuahkan hasil, ia langsung saja bergegas untuk menggendong gadisnya seperti layaknya sedang membawa karung beras pada pundaknya.     

Baiklah, kesabaran Erica sudah habis.     

"SEAN!" pekik Erica sambil memukul-mukul punggung Sean dengan kesal. Ia bahkan tidak segan-segan untuk menarik rambut laki-laki itu, pokoknya tindakannya ini benar-benar sudah sangat di luar kendali.     

Tapi, Sean tidak memperdulikan semua itu. Yang ia tahu, kini langkah kakinya membawa dirinya beserta Erica mulai masuk ke dalam ruangan favorit miliknya. Apalagi kalau bukan ruangan hitam merah kesayangannya?     

Setelah selesai melakukan pemindaian identitas untuk menginformasikan supaya mendapatkan akses, ia langsung saja melangkahkan dirinya untuk masuk ke dalam sana.     

"Jangan seperti kucing liar," ucap Sean dengan kekehan kecil sambil menurunkan tubuh mungil Erica ke sofa yang selalu menjadi destinasi utama yang berada di ruangan ini untuk mengistirahatkan diri atau sekedar meletakkan bokong untuk duduk manis.     

Erica memutar kedua bola matanya, lalu memperhatikan Sean yang tengah duduk tepat di sampingnya dengan wajah yang masih menampilkan senyuman konyol yang membuat dirinya mual pada detik ini juga. Ayolah, siapapun bantu dirinya untuk menjadikan Sean seperti Vrans. Laki-laki dingin yang tidak banyak bicara, daripada laki-laki yang sok keren dan selalu bertingkah seenaknya itu. Astaga mual sekali membayangkan setiap inci wajah Sean.     

"Katakan kemana saja dirimu sejak tadi?" tanya Erica yang sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya. Memangnya siapa yang ingin berada di posisinya tadi? Bosan dan tidak diperbolehkan keluar tanpa pengawasan dari laki-laki yang membuat peraturan konyol itu.     

Sean menaikkan sebelah alisnya, lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah milik Erica. Ia menyipitkan kedua matanya untuk menatap lebih perinci gadisnya itu. "Jangan-jangan, kamu menunggu kepulangan ku, iyakan? Ngaku deh!" ucapnya dengan senyuman yang mengembang.     

Astaga, kalau sampai benar Erica menunggu kepulangannya, sudah pasti pada detik selanjutnya ia akan melumat bibir manis itu.     

Mendengar nada dengan tingkat kepercayaan diri yang sangat akut itu membuat Erica langsung membelalakkan matanya lalu mendorong bahu Sean dengan pelan. "Jangan terlalu percaya diri, tidak pantas." ucapnya dengan nada yang terdengar sangat sinis.     

Sudah beribu-ribu kali ia katakan jika Sean sangat sulit untuk di ajak serius, dan lihat kini 'keseriusan' yang ia inginkan seolah-olah tidak pernah terwujud.     

"Jangan malu," ucap Sean sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Ia menyilangkan kaki kanannya dengan tumpuan kaki kiri sambil menatap ke arah Erica dengan wajah yang dibuat sangat tampan.     

Ah iya, tidak perlu di buat-buat juga pahatan wajahnya memang benar-benar sebelas dua belas dengan Dewa Yunani. Salah satu ciptaan Tuhan yang memiliki fisik sempurna namun jalan pikirannya kian melenceng karena gemar membunuh banyak orang untuk memenuhi hasrat kepuasan yang selalu berada di tubuhnya.     

Erica hanya memutar bola matanya untuk yang kesekian, akhirnya ia memutuskan untuk berdehem karena ingin lebih serius dengan topik pembicaraan yang mungkin akan mendapatkan banyak jawaban dari Sean. "Jadi, apa jawaban dari pertanyaan ku tadi?" tanyanya dengan nada yang serius, raut wajahnya pun tidak menunjuk tanda-tanda jika ia ingin di ajak bercanda atau di luncurkan beberapa kalimat lainnya yang sangat tidak berbobot.     

Melihat mode serius yang di tampilkan Erica, Sean pada detik itu juga langsung menghembuskan napasnya dengan kasar. "Aku bertemu dengan Hana," ucapnya dengan nada yang terbilang tenang seakan-akan hal itu bukanlah masalah sama sekali.     

"Kenapa tidak bilang?" tanya Erica sambil menaikkan sebelah alisnya.     

"Kamu bukan siapa-siapa di hidupku, jadi apapun yang aku lakukan itu bukan urusanmu."     

Sial, Erica mengumpat dengan kalimat kasar lainnya di dalam hati. Ia melupakan satu hal jika Sean telah dalam mode serius, pasti laki-laki itu akan segera meluncurkan kalimat pedas lainnya yang secara tidak sadar menampar kenyataan. Dengan berusaha tidak memperdulikan ucapan tersebut, Erica langsung saja menyunggingkan senyum di wajahnya. "Kalau begitu, kamu juga tidak berhak seenaknya terhadap ku, jerk."     

Erica melepas sandal jepit yang berfungsi sebagai alas kaki, ia langsung saja menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Lagipula, kalau misalnya Sean merasa jijik dengan tingkahnya yang lebih mirip dengan layaknya laki-laki, ia tidak masalah akan hal itu. Ini adalah Erica, dan Sean juga akan tetap menjadi Sean. Seperti itu kan hukumnya?     

"Baiklah baiklah, aku mengalah." ucap Sean sambil mengusap wajahnya. Ia langsung saja mengambil kaki Erica yang berada di atas meja untuk di letakkan pada pahanya yang di gunakan sebagai tumpuan.     

Erica yang mendapatkan perlakuan seperti itu hanya mengangkat bahunya acuh, membiarkan Sean untuk mengubah posisi kakinya. "Yasudah, katakan untuk hal apa kamu menemui Hana?"     

Dengan menarik napas yang dalam, Sean langsung saja menyibakkan rambutnya ke belakang. "Rindu pada ku,"     

Satu-satunya hal yang menjadi alasan bagi dirinya adalah, ia tidak ingin Erica mengkhawatirkan sahabatnya. Tidak, bukan karena dirinya egois mengenai apapun yang berada di kehidupan gadis itu. Tapi ia tidak ingin membuat Erica kepikiran, itu saja.     

Lihat, dibalik tingkah konyolnya terdapat beberapa alasan yang menunjukkan seberapa rasa peduli dirinya terhadap seorang Erica.     

"Jangan bercanda," ucap Erica.     

Selepas dari itu, Sean kembali terkekeh kecil lalu berdehem supaya seluruh tingkah konyolnya tersedot masuk kembali ke dalam peti pengekspresian diri yang berada di dalam tubuhnya. "Harus jujur?"     

"Akan ku tombak kamu," ucap Erica dengan kesal. Memangnya siapa yang tidak kesal jika berada di posisinya? Hei, ia bertanya kan sudah jelas untuk mengetahui kebenaran. Apa perlu pertanyaan konyol itu harus dilontarkan?     

Sean terkekeh kecil, tidak akan ada habisnya untuk menggoda Erica dengan 1001 cara yang tersimpan baik di otaknya. "Dia merencanakan suatu kejadian besar di restoran terkenal New York,"     

"Lalu?"     

"Dia tahu kalau aku akan bergerak untuk menyelamatkan situasi yang akan dibuat hancur oleh Hana tanpa pemikiran yang matang," ucap Sean memberikan alasan yang lebih terperinci lagi. Ia benar-benar tidak punya pilihan untuk memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.     

Tunggu sebentar, Erica semakin tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Sean. "Maksud mu apa? Kenapa kamu akan menyelamatkannya?" tanyanya dengan alis yang terangkat sebelah. Yang awalnya memposisikan kaki bertumpu pada paha milik Sean itu, sudah ia turunkan sampai kembali pada pijakan lantai. Ia kini merasa tertarik dengan apa yang di bicarakan oleh Sean.     

"Tentu saja, dia menyewa seseorang untuk membunuh Xena." ucap Sean tanpa banyak basa basi sedikitpun. Walaupun ia tidak ingin gadisnya kepikiran dengan hal ini, tapi tak ayal juga ia beri tahu tanpa menahan alur ceritanya. Tipe bertele-tele bukanlah khas dirinya yang terlalu menyukai konsep to the point.     

Belum sempat mencerna dengan baik apa yang diucapkan oleh Sean, Erica masih memutar otaknya.     

Dan pada detik selanjutnya...     

"APA?! KENAPA TIDAK MEMBERITAHU KU!" pekik Erica dengan kilatan marah yang tampak di kedua manik bola matanya. Jika ia kehilangan kendali, bisa saja saat ini menembak kepala Sean pada detik ini juga. Dan berkat laki-laki itu, ia merasa menjadi sahabat yang paling tidak berguna sedunia.     

Sean mengernyitkan dahi, lalu menatap Erica dengan raut wajah yang serius. "Ayolah, kini gadis itu sudah selamat dan tidak ada yang perlu di khawatirkan."     

"Mudah berbicara tapi sulit untuk merasakan, itulah seorang Sean Xavon. CIRI KHAS." ucap Erica dengan yang yang mulai mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Seharusnya ia ada di lokasi kejadian untuk memberikan setidaknya pelukan hangat dan kalimat penenang lainnya untuk Xena. Tapi dengan enaknya ia menghabiskan waktu di rumah megah ini dengan bersantai ria.     

Erica memegang kepalanya yang tiba-tiba saja terasa pening, ia memilih untuk menjauhi jarak duduknya dengan Sean demi menghindari lepas kontrol yang bisa saja akan melukai laki-laki itu. Ia menghembuskan napasnya berkali-kali supaya tidak terbawa suasana. Hei, ia hanya khawatir dengan kondisi Xena, itu saja.     

Mengingat Xena yang terlewat polos dan selalu menebarkan kebahagiaan membuat gadis itu berada di posisi penting pada hidupnya. Ia tidak akan memberikan izin bagi siapapun untuk mencelakakan sahabatnya itu.     

"Hei, tenang. Maafkan aku," ucap Sean dengan nada bicara yang terdengar sangat tulus. Ia benar-benar merasa bersalah tidak memberitahu hal yang sebenarnya dari awal kepergiannya.     

Erica mengulas sebuah senyuman. "Dasar laki-laki tidak punya perasaan," gumamnya. Tidak, ia tidak menampilkan senyuman manis ataupun jahat melainkan sebuah senyuman getir yang terlihat sangat memilukan.     

Bahkan, Sean yang melihat itu sempat tersentak kaget karena baru kali ini melihat raut wajah yang tertampil pada wajah manis itu. "Maa--"     

"Apapun yang terjadi pada kondisi psikis Xena setelah ini, aku akan menyalakan kamu. Aku ingin di antar ke kediaman Vrans, kalau kamu menolak aku akan kesana sendiri." ucapnya sambil beranjak dari duduk. Ia melangkahkan kakinya lalu mengutak-atik pintu yang hanya bisa terbuka dengan scan pemindaian wajah Vrans.     

Dan voila,     

Berhasil.     

Dalam hitungan kurang dari lima menit gadis itu bisa menerobos akses canggih yang di buat oleh Sean dengan sangatlah mudah.     

Bukan waktunya terpesona ataupun memuji keahlian keren yang di miliki Erica. Tapi kini, Sean merasakan sesak yang baru pertama kali ia rasakan saat melihat sorot wajah gadis itu.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.