My Coldest CEO

Seratus tiga belas



Seratus tiga belas

0"Makan dulu yuk, ini nanti keburu dingin loh makanannya nanti jadi tidak enak lagi dimakan."     

Sudah hampir puluhan kali Vrans membujuk gadisnya untuk makan, dan sebanyak puluhan itu ia hanya mendapatkan Xena yang bergeming tanpa ingin menatap kearahnya atau sekedar menjawab ajakan makannya yang kini sudah berada di tangannya. Ia sudah siap menyuapi satu sendok bubur yang tadi di buatkan Chef Aldo secara mendadak khusus untuk gadisnya ini.     

Xena hanya menatap lurus seperti menyorot secara kosong dengan pikiran yang terus menerus memutar kejadian beberapa jam yang lalu. Kini sudah jam 7 malam yang artinya ia tertidur pulas sejak kepulangannya meninggalkan restoran yang telah menjadi sasaran untuk membunuh dirinya. Tanpa perlu di tebak-tebak lagi, ia sudah tahu siapa yang berniat sekali melakukan hal ini padanya.     

Hana.     

Iya, satu nama yang tiada henti untuk terus menerus membinasakan dirinya. Ia bahkan tidak mengerti kenapa gadis itu masih saja menjalankan niat Paula yang sudah di batalkan itu. Entah gadis itu tertantang untuk membunuhnya karena orang-orang yang melindungi dirinya selalu berhasil menyelamatkannya, atau memang gadis itu memiliki tingkat zona merah saat belum berhasil membunuh targetnya.     

Ia tidak pernah tahu apa alasan yang jelas.     

Vrans menghembuskan napasnya, lalu mengembalikan sendok yang berada di tangannya ke dalam piring dan piring tersebut kembali ia taruh pada nakas yang berada tepat di samping kasur king size miliknya. "Nanti kamu sakit," ucapnya dengan wajah yang sudah menyorotkan kecemasan yang dalam.     

Gadisnya hari ini baru makan satu kali saat jam sarapan dan menu pagi juga terbilang ringan jika dibandingkan dengan makan siang dan makan malam. Hal ini membuat dirinya merasa khawatir, ia takut kesehatan gadisnya menurun drastis dan berakhir dengan kepikiran dengan semua ini. Memulihkan kembali seorang Xena dari kejadian dulu yang sudah dua kali menimpa gadisnya itu sangatlah susah, terlebih lagi gadisnya mudah sekali kepikiran dengan banyak prasangka yang berlebihan.     

Hei, ia akan menjaga Xena dengan segenap hati. Ia juga tidak akan pernah membiarkan siapapun untuk menyentuh gadisnya, lagi.     

Lagi dan lagi Xena hanya bergeming. Sudah beberapa menit ia tidak pernah membalas segala uncapan Vrans yang di luncurkan untuknya. Ia terlalu syok dengan kejadian tadi siang.     

Pistol yang kembali mengarah ke kepalanya, dan dirinya kembali menjadi sasaran oleh assassin yang sama. Apa hidupnya masih berlanjut dengan penuh rintangan seperti ini? Apa ia tidak akan hidup berbahagia? Padahal sebentar lagi... ia akan mengadakan acara pernikahan bersama Vrans.     

Apa kebahagiaan tetap tidak berpihak padanya?     

Vrans mengusap wajahnya dengan kasar, lalu beranjak dari duduknya di tepian kasur. "Kalau kamu masih ingin mendiami diri ku seperti ini, lebih baik aku melanjutkan pekerjaan ku saja." ucapnya sambil berjalan menuju pintu yang langsung menghubungkan dirinya dengan ruang kerja pribadi miliknya. Ia lebih bisa memahami tumpukan dokumen daripada memahami seorang gadis.     

Melihat Vrans yang sudah meninggalkan dirinya, Xena akhirnya menghembuskan napas dengan pelan. Ia bersandar di kepala kasur, lalu menatap langit-langit kamar dengan sorot mata yang masih menatap kosong.     

"Kalau takdir terlalu kejam kepada ku, apa jika aku pergi dari ke dunia ini langsung dibawa ke sisi paling spesial di samping Tuhan?" tanyanya.     

Ia suka sekali berpikir sejauh itu tanpa ia berpikir panjang untuk sebelumnya. Ia benar-benar merasa tidak adil dengan apa yang terjadi. Takdir selalu mempermainkan dirinya sejak ia masih kecil dan sampai pada detik ini juga.     

Dengan kepergian Vrans membuat dirinya memiliki luang kesendirian untuk merutuki segala kesedihan yang tertanam di hatinya. Tidak, ia sama sekali tidak marah dengan perilaku laki-laki itu yang meninggalkan dirinya untuk kembali bekerja. Ia cukup nyaman jika ditinggalkan sendiri dalam kondisi seperti ini.     

"Apa nanti akhirnya aku akan tiada dan batal untuk menjadi seseorang yang spesial di hidup Vrans?"     

Tes     

Satu bulir air mata berhasil meluncur membasahi kedua pipinya. Semua rencana yang telah ia bangun di dalam kotak memorinya yang akan dilakukan setelah menjalin rumah tangga bersama Vrans kini terasa menyesakkan karena bisa saja takdir berputar haluan.     

Rasa sesak kian memuncak kala membayangkan hadirnya sosok Vrans junior atau Xena junior yang mengisi hari-harinya nanti. Ia menginginkan seorang bayi bersama dengan kekasihnya, seperti apa yang sudah mereka rencanakan.     

Iya, ia sangat paham jika sebuah rencana bisa sewaktu-waktu berubah atau bahkan batal terlaksana. Tapi untuk hal ini, ia merasa tidak rela jika takdir membatalkan persiapannya yang sudah sejauh ini.     

Akibat dari beberapa kejadian aneh yang mulai memimpa Vrans, membuat laki-laki itu mengundur acara pernikahan mereka sampai kondisinya lebih membaik.     

Ia tidak sedih, hanya saja... kenapa hal ini harus terjadi lagi untuk yang kedua kalinya?!     

Merasakan pening yang mulai menyapa kepalanya, ia langsung saja menoleh ke arah nakas dan langsung mengambil jus tomat segar yang tadi di bawakan oleh Chef Aldo beserta satu mangkuk kecil bubur tanpa topping apapun di atasnya.     

Untuk menyegarkan kembali pikiran, bersamaan dengan itu ia langsung saja meneguk jus tomat tersebut sampai menyapa dinding tenggorokannya yang menghadirkan kesegaran.     

Setelah itu, ia kembali menaruh gelas yang berada di genggamannya ke atas nakas. Lalu ia langsung saja beralih mengambil semangkuk bubur itu. Ia berpikir jika pasti Chef Aldo sudah susah payah membuatkan makanan ini untuk dirinya.     

Xena dengan perlahan mulai memasukkan suapan demi suapan bubur ke dalam mulutnya. Rasa kaldu ayam dan gurih bercampur menjadi satu. Tanpa topping pun, Chef Aldo dengan sangat hebat bisa membuat bubur ini terasa sangat nikmat.     

Ah, iya jadi merindukan Chef Dion.     

Sedangkan di ruang kerja yang selalu terisi dengan tumpukan dokumen di atas mejanya itu, seorang Vrans tengah asyik kembali berkutat pada layar laptopnya untuk segera memeriksa beberapa email masuk. Ia lebih suka bekerja menggunakan laptop daripada ponsel, baginya ya sudah terbiasa saja.     

Ia berusaha untuk tidak memikirkan kejadian tadi, lagipula ia tahu pasti Xena membutuhkan waktu sendiri untuk meratapi segalanya supaya dirinya merasa tenang.     

Vrans tidak pernah marah jika diperlukan seperti itu pada gadisnya karena ia tahu betul jika seorang gadis yang sedang merasakan apa yang ada di posisi Xena saat ini pasti juga akan melakukan hal yang serupa dengan gadisnya, mungkin bisa saja lebih parah dari itu.     

Jemarinya dengan lincah menggeser kursor laptop membuka beberapa file dengan kedua bola mata yang mulai meneliti apa yang kini sudah terpampang di layar laptopnya.     

Baiklah, ia akan menghabiskan waktu untuk malam ini bersama dengan pekerjaannya dan membiarkan Xena untuk menenangkan diri sendiri.     

Belum sempat melanjutkan pekerjaannya lebih lanjut, dering ponselnya menggema menyapa indra pendengarannya dengan sangat. Ia langsung saja menghembuskan napasnya dan langsung meraih ponselnya itu untuk segera melihat nama yang tertampil pada layarnya.     

Erica     

Ia menaikkan sebelah alisnya, lalu segera menyeret tombol hijau untuk menjawab panggilan tersebut.     

"Halo, Tuan." ucap Erica di seberang sana dengan nada yang selalu sopan.     

Vrans menatap jam dinding yang berada tepat di atas pintu masuk yang artiannya langsung berhadapan dengan meja kerjanya. "Iya?"     

Terdengar deheman kecil di seberang sana. "Bagaimana keadaan Xena? Maaf aku tidak ada di lokasi, aku merasa sangat--"     

"Tidak perlu cemas, Xena baik-baik saja." ucap Vrans memotong pembicaraan Erica yang diluncurkan dengan nada khawatir yang tinggi. Ia sangat tahu jika gadis ini yang paling menomor satukan keselamatan kekasihnya.     

"Kalau begitu, aku akan segera kesana." ucap Erica di seberang sana.     

Belum sempat ia menjawab perkataan Erica, terdengar suara bariton yang tersenyum dari seberang sana. Tidak perlu di tebal lagi, sudah pasti Sean sedang berada di samping karyawan dengan pangkat sekretaris bawahan Xena itu.     

"Ku antar," ucap Sean di seberang sana.     

Baiklah, kini Vrans jadi mendengarkan percakapan mereka. Namun tangannya terlalu malas untuk mengakhiri panggilan telepon ini.     

"Apa?! Kamu sudah menahan diri ku untuk tidak kesana dengan alasan Xena sedang tertidur." sargah Erica dengan nada kesalnya.     

"Aku tidak berbohong, Erica." nada bicara Sean terlihat melembut, tidak ada makian ataupun nada suara tinggi yang biasa dilontarkan seorang laki-laki jika dirinya sudah di puncak emosi.     

Vrans akhirnya berdehem membuat percakapan kedua orang di luar sana langsung saja berhenti. "Xena memang benar tadi sedang beristirahat, gadis ku baru terbangun satu jam yang lalu."     

Tidak, ia tidak bermaksud untuk membela Sean. Tapi ia hanya ingin meluruskan Erica yang tampaknya sudah terlewat kesal itu.     

"Yasudah, aku berkemas dulu untuk menginap disana." ucap Erica.     

Vrans hanya menganggukkan kepala, ia tidak pernah keberatan dengan kedatangan sahabat gadisnya terlebih jika mereka meminta untuk menginap di rumah besarnya ini.     

"Tentu saj--"     

"Kamu ingin menginap?" tanya Sean dari seberang sana yang berhasil membuat mulut Vrans terbungkam sebelum menyelesaikan ucapannya.     

Pada detik itu juga, Vrans langsung memutar kedua bola matanya. Tanpa salam apapun, ia langsung saja menjauhkan ponselnya dari telinga dan langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak tanpa menunggu persetujuan dari pihak di seberang sana.     

"Ada-ada saja," ucapnya sambil menggelengkan kepala dan langsung menaruh ponselnya tepat berada di samping laptop. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, tapi...     

Tok     

Tok     

Tok     

"Bosayang-nya Xena?"     

Astaga, suara lembut itu terdengar menyapa indra pendengarannya yang langsung membuat dirinya merasakan ketenangan. Dengan deheman kecil, ia menopang dagunya dengan tangan kanan. "Masuk," ucapnya.     

Bertepatan dengan itu, pintu ruang kerja miliknya terbuka dan langsung menampilkan Xena yang sudah berganti bajunya menjadi bahu tidur. Apa gadisnya itu mandi pada malam hari? Ah, mandi ataupun tidak, ia sama sekali tidak peduli. Xena akan selalu terlihat cantik bagaimana kondisinya.     

"Aku takut sendirian," cicit Xena sambil menekuk senyumnya. Ia langsung saja berjalan ke arah Vrans, dan menduduki dirinya tepat di pangkuan laki-laki itu.     

Vrans yang merasa kebingungan mendapati Xena yang sudah duduk di pangkuannya ini, terlebih lagi menghadap ke arahnya. "Kenapa memang? Sudah lebih baik?"     

Xena hanya menganggukkan kepalanya, lalu segera meraih dagu Vrans dan langsung menempeli bibirnya dengan bibir laki-laki itu untuk melumatnya dengan lembut.     

Mendapatkan perlakuan seperti itu, hati Vrans berdesir hangat. Dengan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung saja membuka mulutnya membiarkan gadis ini untuk mengabsen segala deretan gigi rapih nan putihnya. Ia membiarkan gadisnya untuk kali ini mengambil alih lumatan yang diluncurkan untuknya.     

"One kiss to cool off," gumam Xena ketika sudah memutuskan untuk menyudahi ciuman mereka. Gadis itu tampak memeluk tubuh Vrans dengan sangat erat, ia menyembunyikan wajahnya ke dada bidang laki-laki itu.     

Vrans mengulas sebuah senyuman hangat, lalu mencium puncak kepala Xena dengan lembut. "One kiss from you to give love."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.