My Coldest CEO

Seratus empat belas



Seratus empat belas

0"Puas?!"     

Erica menatap Sean dengan sorot mata yang sangat sengit. Ia benar-benar ingin mematahkan tulang laki-laki itu saat juga. Bagaimana tidak kesal? Ia sedari tadi di tahan-tahan supaya tidak pergi ke rumah Xena karena menurut pengakuan Sean, sahabatnya itu tengah beristirahat. Dan barusan, telpon terputus dan langsung membuat dirinya naik pitam karena belum selesai berbicara dengan Vrans.     

Melihat gadisnya yang semakin mirip dengan iblis membuat senyuman Sean melebar. "Puas, sangat puas." ucapnya sambil meraih dagu Erica dan mendekatkan wajahnya dengan wajah gadis itu. Napas mereka saling terasa pada masing-masing permukaan wajah, yang satu terdengar lembut dan terasa sangat damai sedangkan yang satunya terdengar kasar dan tidak beraturan.     

"Tidak perlu modus!" seru Erica sambil menarik tangan Sean yang meraih dagunya. Namun nihil, tenaga laki-laki itu benar-benar kuat. Ia hampir nyaris meringis kecil merasakan rahangnya yang terasa nyeri. "Ingin membunuhku?!" sambungnya sambil meninju dada bidang Sean.     

Sedangkan laki-laki yang meraih dagunya itu hanya terkekeh kecil lalu berganti mengendus lekukan leher milik Erica.     

"Argh.." erang Erica tanpa sadar, detik berikutnya ia langsung saja mendorong bahu Sean supaya menjauh darinya, dan ya berhasil.     

"Aku bahkan belum mencium mu," ucap Sean dengan nada lesu sambil meraih kunci mobil yang berada di atas nakas tepat berada di samping kasurnya itu. Ia beralih menatap Erica yang menatap dirinya dengan galak.     

"JANGAN BERTINDAK MACAM-MACAM, ASSASSIN ANEH!" pekik Erica dengan pipi yang sudah memerah padam. Ia marah kepada Sean sekaligus malu terhadap dirinya sendiri mengingat desahan yang tadi keluar dari dalam mulutnya. Astaga, siapapun tolong selamatkan dirinya dari perasaan yang semakin menarik dirinya kembali pada kenyataan ini.     

"Hanya refleks," ucap Sean sambil mengangkat bahunya dengan acuh. Ia langsung saja memakai jaket Boomber ke tubuhnya lalu beralih memakai sneakers dengan logo centang satu sebagai daya tarik utamanya.     

Erica memutar kedua bola matanya, lalu menghembuskan napas supaya rasa malu serta rasa kesal yang hinggap di hatinya ini segera kandas. "Damn you," gumamnya sambil melirik Sean dengan sinis. Ia tadi sudah berkemas dengan koper kecil untuk menginap di rumah Xena.     

Sebenarnya ia bisa saja meminjam segala peralatan milik sahabatnya itu, tapi ia selalu merasa tidak nyaman ketika memakai barang-barang milik orang lain. Ia langsung saja meraih sling bag untuk di letakkan dengan posisi miring pada tubuhnya, serta memakai flatshoes berwarna hitam supaya tidak kesulitan untuk membuka pasang alas kakinya nanti.     

"Sudah siap?" tanya Sean sambil menepuk telapak tangannya di udara, lalu berjalan menuju ke arah Erica dengan tatapan yang sangat berwibawa.     

Mendengar pertanyaan itu, Erica langsung saja menganggukkan kepalanya lalu berjalan ke arah pintu kamar dan segera meninggalkan Sean yang tadi berjalan menghampiri dirinya.     

"Sial, di dekati malah pergi. Dasar gadis," ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia akhirnya hanya terkekeh kecil lalu mengikuti jejak Erica yang keluar dari kamar miliknya itu.     

Ia melihat gadisnya yang sudah berjalan keluar dari pintu utama rumahnya ini dengan tangan kanan menyeret koper. Astaga gadisnya berjalan seperti melayang di udara, cepat sekali.     

Sedangkan Erica, ia kini sudah berdiri di samping mobil Audi R8 V10 plus yang baru saja di beli Sean satu minggu yang lalu. Gemar sekali laki-laki itu membeli mobil dengan harga fantastis.     

Melihat Sean dari kejauhan, membuat dirinya memutar kedua bola matanya. "Lama sekali!" serunya dengan sangat kesal. Ia benar-benar ingin sekali menarik tangan laki-laki yang langkah kakinya diperlambat itu.     

"Iya, bawel dasar." ucap Sean sambil berlari kecil ke arahnya. Sungguh, ia mengakui ketampanan laki-laki itu yang kini terlihat sangat bertambah berkali-kali lipat.     

Melihat Sean yang sudah membuka akses pintu mobil dan membukakan pintu untuk dirinya, ia segera masuk ke dalam mobil. "Terimakasih," gumamnya sambil menaruh koper kecil yang sedari tadi berada di tangannya ke jok belakang mobil. Setelah itu, ia beralih memakai seatbelt guna menjaga keselamatan berkendara.     

Ia melihat Sean yang mengitari mobilnya dan langsung masuk tepat di kursi pengemudi sambil menyunggingkan sebuah senyuman konyol yang selalu membuat dirinya ingin melempari laki-laki itu dengan kulit pisang. Hei, Sean memang tidak pernah bisa serius saat berhadapan dengannya.     

"Let's go, cantik." ucap Sean sambil mencolek dagu Erica. Ia awalnya sebal dengan keputusan gadisnya itu yang memutuskan untuk menginap di rumah Vrans. Tapi ia baru ingat jika nanti malam memiliki misi khusus bersama dengan D. Krack yang sedari tadi sibuk menghabiskan waktu di dalam ruang bawah tanah miliknya.     

Erica menganggukan kepala, "anggap saja ini hukuman untukmu." ucapnya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia menoleh ke arah Sean yang sudah memakai seatbelt pada tubuhnya dengan benar. Laki-laki itu sebenarnya tampan, tapi... AH TIDAK PERLU MEMUJI SEAN!     

Sean memegang stir mobil, lalu memakai kembali kacamata favorit milik dirinya yang selalu ia pakai untuk menutupi mata tajamnya ini yang bisa saja di kenal oleh banyak orang. Ia menoleh ke arah Erica dengan satu alis yang terangkat. "Maksudnya? Hukuman untuk apa?" tanyanya dengan nada kebingungan.     

Hei, setahu dirinya ia sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun. Iya kan? Ah iya, semoga saja seperti itu karna dirinya tidak pernah merasa bersalah dengan segala hal yang ia lakukan pada orang lain. Untuk apa merasa bersalah jika dirinya mendapatkan kepuasan dari segala macam sifat yang menjadi ciri khasnya?     

Merasa bersalah adalah sifat pecundang. Dan dia adalah pemenang yang selalu menguasai keegoisan serta berperilaku seenaknya supaya mendapatkan apa yang diinginkan.     

Erica berdecih kecil, lalu menatap Sean dengan sinis. "Lupa atau pura-pura lupa?" tanyanya dengan nada bicara yang terdengar sangat mengintimidasi. Ia benar-benar masih kesal dengan laki-laki yang berada di sampingnya ini.     

Sean menghela napasnya dengan perlahan. "Aku hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa dan merasa khawatir dengan hal ini." ucap Sean dengan raut wajah sendu.     

Erica yang mendengar itu tambah menatap Sean dengan sorot mata sengit seolah-olah berkata 'what the hell?!' tanpa suara.     

"Iya maaf, aku hanya berasumsi lebih." ucap Sean. Lagi dan lagi dirinya mengalah untuk memulihkan keadaan mereka berdua.     

Baiklah, mungkin perjalanan ke rumah Xena akan sedikit tertunda dengan beradu argumentasi yang semakin sengit ini.     

"Aku bahkan lebih baik menjaga diri sendiri tanpa dirimu," ucap Erica sambil menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi mobil. Ia berniat untuk mengistirahatkan kepalanya yang terasa berat karena terlalu banyak berpikir hal yang sangat berlebihan. Seperti mengkhawatirkan keadaan sahabatnya itu sampai mencemaskan bagaimana keadaan psikis sang sahabat.     

Sean meraih tangan Erica, lalu mengusap punggung tangannya dengan sangat lembut. "Hei, apa aku perlu menebus kesalahan ku?"     

Pada detik ini juga, Erica seperti merasa mual dengan ucapan Sean yang terlihat seperti pengikut cinta. "Halah, jangan merayu dan mengatakan hal yang menjijikkan seperti itu." ucapnya sambil menarik kembali tangannya yang di genggam oleh laki-laki itu. Ia masih merasa geli jika di perlakukan layaknya 'gadis' dengan porsi kasih sayang yang mungkin saja sudah mulai terbentuk di dalam tubuh Sean. Astaga, ia tidak bisa membayangkan jika dirinya kemungkinan akan menang dari perjanjian konyol yang pernah ia buat bersama Sean.     

"Siapa yang merayu? Aku hanya merasa bersalah." ucapnya sambil menyibakkan rambutnya ke belakang. Ia masih saja bertindak keren padahal kini gadis yang berada di sampingnya itu sudah mulai memutar kedua bola matanya untuk yang kesekian kalinya.     

Erica yang mendengar itu pun hanya mengangkat bahunya dengan acuh. "Terserah," ucapnya dengan mengeluarkan kalimat seadanya.     

"Kalau beg--"     

"Ini kapan berangkatnya? Menunggu waktu sampai tengah malam?" tanya Erica yang sudah merasa jengah dengan percakapan yang tidak berujung ini.     

Sean menghembuskan napasnya, seorang gadis seperti Erica memang sangat sulit untuk di mengerti. Ia pikir justru gadis bermodel Xena yang banyak mau, tapi ternyata gadis dingin seperti Erica juga tidak kalah susah dengan gadis petakilan dan banyak bicara itu.     

"Baiklah, laksanakan Nyonya Xavon." ucap Sean sambil terkekeh kecil, ia memang selalu memiliki berbagai cara untuk menghalau perasaan yang terus menerus ingin meluncurkan beberapa deret kata untuk menangkis ucapan Erica.     

Sedangkan gadis di sampingnya itu kini sudah mengalihkan pandangannya lurus menatap keadaan luar mobil yang mulai meninggalkan pekarangan luas rumahnya. Dengan gerbang yang selalu otomatis terbuka saat dirinya melakukan pemindaian wajah, ia langsung saja melajukan kembali mobilnya.     

Akses di rumah Sean sebenarnya selalu memiliki berbagai tingkat keamanan canggih yang berkaitan dengan dirinya. Bahkan jika ada sang penjaga sekalipun, mereka juga memiliki akses tersendiri lainnya.     

Contoh, tadi saat membuka gerbang khusus dirinya melakukan pemindaian wajah untuk mengkonfirmasi terbukanya gerbang. Dan jika khusus untuk karyawan, mereka diberikan card spesial berwarna hitam untuk akses tertentu saja sesuai dengan pekerjaan mereka.     

Rumah siapa yang bisa menandingi kecanggihan rumah megah milik Sean ini? Tidak ada.     

Untuk urusan Erica dan D. Krack yang mudah sekali keluar masuk ke rumah ini, tentu saja mereka di berikan akses penuh untuk rumahnya sebagai orang kepercayaan. Tapi khusus untuk Erica, terkadang gadis itu dengan pintarnya mengotak-atik akses keamanan hanya dengan tangan kosong dan bermodal otak yang terlewat cerdas.     

"Nanti aku ikut mampir ke dalam, ya?" tanya Sean meminta izin terlebih dahulu. Ia hanya ingin memastikan jika Vrans mencerna semua perkataan yang akan ia luncurkan tadi siang. Sejujurnya, ia masih merasa kesal dengan laki-laki itu yang selalu menyepelekan apapun.     

Erica kembali memusatkan perhatiannya pada Sean, ia menaikkan sebelah alisnya. Tumben sekali laki-laki itu ingin ikut bersama dirinya masuk ke dalam rumah seseorang hanya untuk berkunjung dalam jangka waktu sebentar. "Kenapa memangnya?"     

Mobilnya sudah memasuki area jalan raya, ia tidak mengalihkan sedikitpun pandangannya pada Erica. "Hanya ingin memastikan sesuatu saja," ucapnya dengan raut wajah serius. Karena walaupun ia sudah profesional dalam berkendara, tapi tak ayal dirinya juga masih menjaga keselamatan saat sedang membawa seseorang yang sudah menjadi alasannya untuk bertindak lebih baik daripada sebelumnya.     

Erica hanya mengangguk kepalanya saja merasa tidak ingin memikirkan hal ini lebih lanjut. Lagipula, apapun urusan laki-laki itu ia tidak memiliki andil sama sekali. "Yasudah kalau begitu," ucapnya sambil kembali mengalihkan pandangannya, lurus menatap jalan raya dan beberapa orang yang tengah berlalu lalang.     

Kini, Erica tengah memanjatkan doa dalam hati supaya keselamatan Xena tetap berada tepat di tangan Tuhan.     

"Apa aku boleh menginap satu minggu disana?"     

"Dan menyiksa ku karena tidak bertemu dengan mu selama itu? Jawabannya adalah tidak."     

"Kenapa? Aku ingin menjaga Xena, itu saja."     

"Kalau begitu, apa boleh dalam satu minggu itu juga aku menerima semua tawaran job untuk membunuh para 'tikus nakal' itu?"     

"Tentu saja tidak!"     

"Kalau kamu berhak tidak setuju, aku pun juga seperti itu."     

Erica memilih untuk bergeming, ia merasa kalah berargumentasi dengan Sean. Daripada hal ini berlanjut lebih lama lagi, sebaiknya ia segera menuruti saja apa yang di ucapkan oleh laki-laki itu.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.