My Coldest CEO

Seratus lima belas



Seratus lima belas

0(Kembali pada waktu pagi hari menceritakan dari sudut pandang seorang Hana Xavon.)     

"Sial, ini lebih dari kata lezat."     

Hana menatap berbinar ke arah Alard yang kini tengah membersihkan meja kerja di dalam kitchen, ia tampak dengan seulas senyuman ikut menoleh disaat yang bersamaan gadis itu meluncurkan sederet kalimat pujian pada dirinya.     

Alard lalu menaruh towel yang tadi bersih, kini sudah terdapat noda kecil membuat kain tersebut harus di cuci setelah ini. "Tentu saja, Nona. Sudah kubilang jika memasak adalah hal yang paling mudah." ucapnya sambil terkekeh kecil.     

Sudah terbukti dari kebiasaannya yang terbilang hanya bisa mengendarai berbagai kendaraan saja tak ayal membuat dirinya juga harus pintar memasak. Memangnya kenapa dirinya meminta bantuan Chef yang berada di rumah ini saat dirinya kelaparan? Lebih baik buat makanan sendiri dan voila, majikannya itu menyukai apa yang dirinya masak.     

Lagipula dirinya hanya memasak Tuna Sandwich dan bukannya masakan berat pada umumnya. Soalnya ia sangat tahu betul jika Hana selalu menjaga pola hidup yang sehat. Sehingga makanan berkalori besar sudah di tolak besar oleh bagian lambung yang berada di tubuhnya. Jadi bisa dikatakan jika Hana adalah pecinta sandwich, salad, atau makanan lainnya yang hanya terdapat berbagai macam sayuran dengan kombinasi protein yang sedikit.     

Terlebih lagi, Tuna Sandwich adalah makanan populer di USA, negara yang mereka tempati saat ini. Dan sepertinya, dari sekian banyak sandwich yang terjual, mungkin Hana menyukai buatannya ini. Iya kan?     

"Kenapa kamu tidak menjadi Chef saja?" tanya Hana setelah berhasil menelan kunyahan sandwich yang berada di dalam mulutnya. Ia menatap ke arah Alard dengan sorot mata yang dalam seperti mencari alasan lain kenapa laki-laki itu lebih memilih menjadi private driver miliknya.     

Alard hanya menampilkan sebuah senyum yang sangat sopan. "Memangnya siapa yang bekerja lebih baik dari aku saat membantu mu melarikan diri atau menjemputmu seperti tadi dengan helikopter?" tanyanya sambil membenarkan lengan jas-nya yang sedikit tergulung.     

Hana hanya menganggukkan kembali kepalanya dengan mulut yang kian sibuk menggigit dan mengunyah sandwich. Ia bahkan tan segan-segan untuk memuji betapa lezatnya ini. Memang mungkin terdengar berlebihan, ia bertindak seperti ini karena dirinya adalah pecinta makanan dengan bahan dasar yang tidak memiliki banyak kalorinya.     

"Yasudah lanjutkan lagi pekerjaan mu," ucap Hana sambil menoleh lagi ke arah Alard. Ia heran ada saja yang di kerjakan oleh laki-laki itu. Lihat, kini dia tengah menyusun kembali peralatan yang tadi ia gunakan untuk membuatkan makanan untuk dirinya setelah di cuci bersih pada wastafel.     

Alard yang mendengar itu, langsung saja menganggukkan kepala lalu menaruh piring terakhir ke arah rak kecil khusus peralatan yang baru selesai di cuci dikarenakan masih basah.     

Ia melihat Alard yang sudah pergi dari hadapannya, lalu dirinya langsung saja mengambil ponsel yang masih berada pada tas selempang miliknya. Dengan tangan kiri yang masih sibuk menyuapkan sandwich ke dalam mulutnya, lain halnya dengan tangan kanan yang sudah membuka aplikasi galeri yang berada di ponselnya.     

Dengan mata yang kian menelusuri dari atas sampai bawah, ia melihat semua potret yang dirinya ambil sejak menjadi mata-mata super tentang kehidupan Xena dengan segala isinya. Setiap harinya ia akan berpenampilan berbeda entah itu gaya berpakaiannya ataupun dirinya yang sibuk bergonta-ganti kacamata untuk sedikit menyamarkan wajah familiar-nya.     

Beberapa potret Xena dari berbagai sisi telah dirinya abadikan disana. Lama kelamaan dirinya terlihat sama persis seperti seorang psikopat, iya kan? Ah iya, memangnya assassin bukanlah psikopat? Sama-sama memiliki jiwa keinginan membunuh yang sangat tinggi. Dan ya, bisa saja ia memang sedikit bersifat seperti psikopat.     

Pelan-pelan tapi pasti, itu adalah motto yang selalu ia terapkan untuk segala hal.     

Hana tersenyum miring kala melihat satu foto yang bisa saja ia targetkan sebagai pemanis dalam permainan kali ini. Ia melihat wajah tanpa senyuman itu. Menarik, justru gadis itu memiliki aura yang sangat tajam untuk seorang gadis biasa. Mungkin jika gadis ini bukan kekasih dari adiknya, sudah dapat di pastikan ia akan mengajaknya untuk bergabung membunuh banyak orang dan mendapatkan bayaran yang sangat besar hanya untuk satu kali pekerjaan.     

Iya, satu kali pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa jika tidak gesit dalam bertindak. Tentu saja mendapatkan uang yang sangat besar toh perjuangannya juga tidak main-main. Terkadang menerobos akses keamanan di dalam gedung besar, ataupun terkadang juga seringkali berhubungan dengan pihak keamanan karena alarm kesialan yang dibunyikan saat adanya tindak kejahatan dengan otomatis.     

"Gadis dingin yang lugu dan cukup pintar," gumamnya sambil terkekeh kecil. Kini, suapan sandwich terakhir sudah berhasil masuk ke dalam tenggorokannya untuk dicerna.     

Mengetahui segala tentang seorang gadis yang tengah dekat dengan Sean bukanlah hak yang sulit. Ia bisa langsung saja membuka satelit di angkasa yang selalu mengintai semua orang yang menjadi targetnya. Satelit yang di rancang oleh dirinya sendiri tanpa bantuan siapapun dan juga ia menembakkan satelit tersebut di angkasa dengan caranya sendiri.     

Penasaran? Baiklah, sepertinya hal ini tidak perlu dirahasiakan. Karena apapun yang dilakukan oleh sang pembunuh bayaran akan selalu bersifat rahasia tanpa perlu dibeberkan pada orang lain.     

Ia sudah berkali-kali membesarkan daya penglihatan satelitnya untuk memata-matai seorang Erica Vresila. Ia bahkan tidak segan-segan untuk menyaksikan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh gadis itu. Memang terdengar konyol dan mustahil, tapi satelitnya ini bisa melihat masuk menembus dinding atau gedung-gedung dan memfokuskan diri pada seseorang yang dituju. Kelewat canggih? Dunia tanpa adanya kecanggihan yang semakin tinggi mungkin bisa jadi mengalami kemunduran yang drastis.     

Dan orang-orang seperti dirinyalah yang mampu mengembangkan berbagai macam teknologi canggih tanpa diketahui banyak orang. Ia bekerja untuk dirinya sendiri, jadi fasilitas yang dibutuhkan harus sangat memadai dan tercukupi.     

Setelah itu, ia langsung saja meraih segelas red wine yang tadi sudah di sediakan oleh Alard sekalian dengan menu masakan sederhananya ini.     

Ia pikir tadi dirinya akan membunuh laki-laki yang sudah mengabdi lama padanya itu hanya karena gagal membuatkan menu makan siang untuk dirinya. Ternyata dia yang gagal membunuh orang pada hari ini.     

Setelah selesai meneguk minuman yang sudah habis setengah, Hana langsung saja beranjak dari duduknya. Ia berjalan ke arah ruang televisi untuk menghabiskan waktu disaat sedang menunggu bagaimana aksi Sean selanjutnya untuk bertindak cepat. Apa laki-laki itu akan kalah, atau sebaliknya.     

"Watching TV while waiting for death,"     

...     

(Kembali pada waktu sesuai alur cerita.)     

06:00 PM     

Setelah selesai melampiaskan kemarahannya pada boneka sasaran penembakannya kali ini, Hana langsung saja menaruh pistol yang berada di tangannya ke atas nakas. Ia menatap dengan bringas boneka sasaran yang sudah terdapat lubang hasil tembakannya tersebut, berharap jika benda itu adalah Xena.     

"Sial, sepertinya adikku sudah semakin ahli." gumamnya sambil mengacak-acak rambutnya dengan kasar.     

Tadi dengan bangganya ia sangat positif jika laki-laki suruhan dirinya itu akan segera berhasil membawakan apa yang ia inginkan sedari dulu. Membunuh Xena mungkin sekarang termasuk cita-cita yang sangat ingin dicapai olehnya.     

Bisa-bisanya Sean dengan sangat cepat sampai ke tempat lokasi. Bahkan sepertinya laki-laki suruhan dirinyalah yang mungkin saja datang terlambat. Sial, ini semua tidak bisa ia terima dengan mudah.     

Ia langsung saja menghempaskan bokongnya ke sofa merasakan kemarahan yang kian memuncak membuat dirinya mau tidak mau harus menerima kekalahan pada detik ini juga.     

Dengan tangan yang mulai meraih ponsel, ia langsung saja menghubungi nomer Sean untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ah iya, ia cukup munafik sebagai seorang kakak yang mulai merasa tersaingi oleh sang adik.     

"Halo," suara bariton di seberang sana langsung menginterupsi ke indra pendengarannya. Tampak nada suara malas diselingi dengan kekehan kecil yang ia tahu sekali jika kekehan tersebut diluncurkan untuk meledek dirinya. Seperti itulah Sean jika berhasil menandingi dirinya, pasti akan meninggi setinggi-tingginya.     

Hana mendengus kesal, "Puas?!"     

Terdengar tawa kemenangan dari seberang sana. "Tentu saja, memangnya siapa lagi yang mampu menandingi seorang Hana Xavon selain Sean Xavon? Tidak ada." ucapnya dengan nada sombong. Sekali-kali sepertinya Sean harus bertindak layaknya Hana yang setiap saat sudah terbiasa untuk menyombongkan dirinya sendiri secara tersirat.     

"Sombong," gumam Hana sambil memutar kedua bola matanya. Sudah ia katakan jika pasti Sean akan bertindak seperti ini. Salahnya juga karena sudah meremehkan laki-laki itu. Ia hanya terlalu pesimis untuk me dapatkan kemenangan untuk yang kesekian kalinya.     

Kalau sudah seperti ini, dapat di pastikan jika dirinya harus menyiapkan segala sesuatunya lebih dari persiapan sebelumnya.     

"Sekali-kali," balas Sean dari seberang sana.     

Menghalau rasa kesalnya, Hana segera berdehem kecil. "Bagaimana caranya?" tanyanya yang memang sudah kelewat penasaran.     

Di seberang saja, terdengar decakan beruntun seperti mengejek dirinya yang tidak tahu apa-apa. "Lupa kalau aku seorang deadly rider?" tanya Sean dari seberang.     

Hana memutar kembali otaknya mengingat dulu Sean sebelum menjadi pembunuh bayaran bersama dirinya selalu pulang larut malam, terlebih lagi terkadang di tubuh adiknya terdapat beberapa luka lebam dari malam ke malam.     

"Oh jadi itu profesi mu dulu?" tanya Hana. Sudah sekian lama bertahun-tahun lalu lamanya, ia baru tahu mengenai hal ini sekarang. Jarak dirinya dan Sean memang sudah terlampau jauh sehingga saling tidak mengenal dalam satu sama lain.     

"Tentu saja, aku sudah keren sejak dulu tanpa perlu rasa pamer dan gelar yang semakin membuat diri merasakan tinggi yang merugikan," ucap Sean di seberang sana tanpa berniat memudarkan nada sombongnya.     

Hana kembali memutar kedua bola matanya merasa jengah dengan apa yang dikatakan oleh Sean saat ini. "Bilang saja iri,"     

Iya, mungkin ini adalah karma untuk dirinya yang berasal dari seseorang yang satu darah dengannya.     

"Iya, aku iri dan akhirnya bisa menandingi dirimu. Terbukti dari kasus ini, payah sih orang suruhan mu itu." balas Sean. Laki-laki itu tidak pernah malu untuk mengungkapkan apa yang dirasakan. Bahkan saat dia ingin membunuh Hana saja di tulis dalam surat dan dikirimkan kepada kakaknya itu.     

"Dia Jardeins," jelas Hana.     

"Iya, aku tahu. Laki-laki yang bertindak dengan pekerjaan yang selalu tidak pernah becus." ucap Sean dengan kekehan kecil.     

"Kalau begitu--"     

"SEAN, APA KAMU MASIH LAMA?!"     

Terdengar teriakan khas seorang gadis di seberang sana. Tanpa perlu menebaknya pun Hana tahu siapa pemilik suara itu.     

Bertepatan setelah teriakan tersebut, suara Sean kembali terdengar. "Aku ada urusan yang lebih penting dari diri mu, sampai jumpa."     

Pip     

Sambungan telepon mati secara sepihak membuat Hana langsung saja menaruh kembali ponselnya di atas meja yang berada di hadapannya saat ini. "Lebih penting ya? Baiklah sekarang aku mulai paham apa yang menjadi kelemahan mu."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.