My Coldest CEO

Seratus tujuh belas



Seratus tujuh belas

0Vrans's sweet home     

Setelah di sambut terlewat baik oleh Xena dengan senyuman yang mengembang pula, kini sang pemilik rumah bersama dengan sahabatnya itu sudah duduk di hadapannya. Yang laki-laki berwajah datar mirip seperti es di Antartika, sedangkan yang gadis tengah menatap dirinya dengan kedua bola mata yang berbinar.     

Erica yang melihat itu hanya bisa menggaruk lengannya lalu menyikut perut Sean untuk membantu dirinya supaya memulai percakapan.     

Tentu saja dengan tingkat kepekaan yang tinggi, Sean langsung saja berdehem dan membuat sepasang kekasih yang berada di hadapannya ini langsung tertarik melihat ke arahnya. "Bagaimana kondisi mu?" tanyanya sambil menyandarkan tubuhnya pada kepala sofa yang rendah.     

Mendengar pertanyaan Sean yang terdengar konyol itu, Erica mengumpat kasar dalam hati. Apa laki-laki ini tidak melihat betapa cerianya seorang Xena? Apa kedua bola mata laki-laki itu katarak? Ia mungkin harus segera menyesali permintaannya tadi karena menyuruh Sean membuka topik pembicaraan yang sangat konyol.     

Vrans menaikkan sebelah alisnya, lalu menatap Sean dengan tajam. Sudah mati-matian ia menghindari pertanyaan yang dapat memicu kembali ingatan gadisnya tentang kejadian yang bisa membuatnya muncul kembali. "Ekhem," dehemnya sambil melayangkan tatapan setajam silet. Ia bahkan belum berterimakasih pada laki-laki ini, entahlah ia menganggap aksi penyelamatan yang Sean lakukan untuk Xena masih terhitung kurang untuk menebus kesalahannya.     

Bahkan, gadisnya itu sudah melakukan berbagai cara untuk segera memulihkan bekas luka yang terlihat jelas di wajahnya. Masa dengan hanya menyelamatkan satu kali nyawa Xena dapat menghilangkan segala kesalahannya? Tidak, ia perlu pembuktian yang lebih kuat lagi.     

Sean yang di tatap tajam seperti itu hanya memutar kedua bola matanya. "Sial, salah terus." gumamnya sambil menoleh ke arah Erica. Ia kini memberi aba kepada gadis yang berada di sampingnya itu untuk segera mengambil topik pembicaraan, lebih tepatnya mengalihkan.     

Jadilah aksi oper mengoper obrolan.     

Belum sempat salah satu di antara mereka berbicara, Xena langsung saja bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Erica untuk menarik tangan gadis itu supaya ikut berdiri sama dengan dirinya. "Ayuk kita ke kamar ku!" serunya dengan senyuman yang belum pudar.     

Erica yang melihat hal tersebut tidak ada waktu untuk menanyakan hal apa yang terjadi. Kenapa sahabatnya ini bertindak berkebalikan dengan apa yang telah di prediksi olehnya beberapa jam yang lalu? Apa kepala Xena kembali terbentur dan mengalami amnesia? Kalau iya, mana mungkin gadis itu mengingat dirinya.     

Baiklah, kini sejuta pertanyaan tidak akan pernah memiliki jawaban yang berujung.     

Dengan melambaikan tangan kepada Sean sebelum dirinya mengikuti jejak Xena yang membawa dirinya menuju ke deretan anak tangga yang menuju ke lantai 2 itu, ia dengan santainya memberi aba-aba kepada laki-laki itu untuk membawakan kopernya nanti ke atas sana.     

Sedangkan Sean, ia hanya menganggukkan kepalanya sambil memberikan ciuman udara yang kasat mata. Hal itu membuat Erica ingin berpose mual jika dirinya kini sedang tidak di tarik paksa oleh sahabatnya itu.     

Sean hanya terkekeh kecil, dan begitu melihat gadisnya sudah mulai masuk ke dalam sebuah pintu yang ia yakin adalah kamar milik Xena, ia kembali memusatkan perhatiannya kepada Vrans.     

"Suka sama diri ku?" tanya Sean dengan alis yang naik turun saat memergoki Vrans yang terus menerus menatap ke arahnya tanpa henti. Iya sih memang bukan tatapan memuja atau lainnya yang terlihat menjijikkan, melainkan tatapan penuh seolah-olah mengibarkan bendera perang pada dirinya. Ia kian menahan gelak tawa saat melihat ekspresi kecut yang di tunjukkan oleh laki-laki yang berada di hadapannya ini.     

Ternyata, jika seorang pembunuh bayaran melayangkan aksi humorisnya terlihat sangat aneh dan menyebalkan.     

Vrans yang mendengar ucapan Sean pun langsung memutar kedua bola matanya dengan jengah. "Untuk apa masih disini?" tanyanya tanpa ingin memberikan laki-laki itu seulas senyuman. Wajahnya terbilang sangat datar untuk laki-laki dingin si penggila kerja.     

"Memangnya kenapa? Xena aja gak masalah," ucap Sean sambil menampilkan senyuman miring kepada Vrans. Ia pun sudah santai menghadapi sosok seperti laki-laki yang ada dihadapannya kini.     

(Maaf sedikit kalau kalian sedikit bingung dengan kata 'laki-laki' sebagai penggambaran orang kedua)     

Vrans menyipitkan kedua matanya, menatap Sean dengan sorot mata yang lebih intens lagi. "Kamu yang menyelamatkan Xena?" tanyanya yang sudah mulai mengesampingkan ego. Bagaimana pun juga, ia pikir mungkin tanpa adanya Sean waktu itu gadisnya lah yang akan berlumuran darah di lantai restoran.     

"Tentu saja, memangnya ada seseorang yang bisa menembak tepat sasaran dari kejauhan seperti diri ku?" tanya Sean dengan kekehan kecil, ia sangat suka memamerkan apa yang telah ia lakukan, hal yang berjasa bagi orang lain.     

Walaupun dirinya seorang assassin, tapi membanggakan keahliannya saat menolong seseorang adalah perasaan yang paling puas untuk dilakukan.     

Mendengar itu, Vrans memutar kedua bola matanya. Namun setelah itu, ia memilih untuk duduk dengan tubuh yang tegak sambil menatap Sean dengan sorot mata keseriusan. "Terimakasih," ucapnya sambil menganggukkan kepalanya untuk memberitahukan kepada laki-laki tersebut jika dirinya serius dengan apa yang dikatakannya barusan.     

Gelak tawa yang sedaritadi ditahan oleh Sean keluar begitu saja sampai menggema memenuhi setiap sudut yang berada di ruang tamu ini. "Ku pikir kamu adalah CEO dingin yang tidak punya perasaan," ucapnya sambil menampilkan senyuman meledek pada detik berikutnya. Ia sama sekali tidak mengharapkan ucapan 'terimakasih' atau apapun dari Vrans. Yang ia pikirkan hanya bagaimana caranya untuk Erica merasa senang dengan kehadirannya. Dan untuk hal itu, ia selalu berusaha untuk menepati segala janji yang dirinya pernah ucapkan.     

Laki-laki itu pantang menyerah. Apalagi kalau sudah menyangkut tentang perjanjian terhadap seorang gadis, ia tidak akan pernah lari dari kenyataan sedikitpun. Ingkar janji hanya untuk laki-laki payah yang hanya dapat memberikan harapan palsu untuk mempertahankan sesuatu yang tidak pasti.     

Vrans terkekeh kecil, tapi bukan kekehan ramah yang menunjukkan bahwa dirinya antisipasi. "Dan ku pikir, kamu akan tetap bertindak jahat sama seperti Hana." ucapnya berlagak suara yang dimiripkan dengan milik Sean.     

Tatapan Vrans sangat sengit, namun Sean dengan kedua lengan yang sudah tersampir di kepala kursi itu menatap lawan bicaranya tanpa rasa takut sedikitpun. "Hana? Tentu saja berbeda, aku tampan."     

Jika Sean bukanlah musuh di mata Vrans, sudah dapat di pastikan jika dirinya akan menobatkan Sean sebagai laki-laki yang mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi sama seperti Xena.     

"Tidak ada laki-laki tampan yang mengaku ketampanannya," ucap Vrans dengan senyuman miring. Ia tidak pernah ingin kalah dan mengalah kepada laki-laki yang bernotabene seorang penjahat itu.     

Sean hanya terkekeh kecil, lalu menyibakkan rambutnya ke belakang dengan gerakan yang keren. Terlebih lagi kini ia berpenampilan seperti laki-laki yang baru menginjak 20 tahun, ternyata style yang di pakainya saat ini sangat membawa pengaruh besar pada raut wajah yang kini terlihat lebih fresh. Jaket yang melekat pada tubuhnya serta sneakers yang menjadi alas kakinya, memiliki peran penting untuk membuat penampilannya lebih seperti anak remaja.     

"Bagaimana dengan kondisi Xena? Ku pikir dia akan merasakan trauma berat," ucap Sean, mulai mengubah alur pembicaraan mereka yang sedaritadi terdengar seperti saling berargumentasi yang sangatlah sengit.     

Vrans menaikkan bahunya, ia bahkan tidak tahu kenapa Xena kembali menjadi Xena. Ah maksudnya seperti ini, apa kejadian tadi yang pastinya gadis itu melihat secara langsung pembunuhan di depan matanya tidak mengalami trauma? Terlebih lagi sebelumnya Xena memiliki psikis yang menurun saat kejadian serupa menimpanya beberapa bulan lalu.     

"Aku juga tidak mengerti, tadi aku tinggalkan sendirian dia di kamar berniat untuk meneruskan kembali pekerjaan. Bahkan saat Erica menelpon ku, itu aku sedang sendirian." jelas Vrans lebih perinci lagi. Tak ayal dia juga harus berbagi informasi tentang apapun yang berkaitan dengan Xena. Ia mungkin akan bekerja sama dengan Sean dengan lebih kuat lagi.     

Jangan sampai lengah. Itu adalah kunci segalanya.     

Sean menaikkan sebelah alisnya, lalu ia menegakkan tubuhnya sama seperti yang dilakukan oleh Vrans. "Kalau begitu, mungkin Xena sedang menyembunyikan rasa trauma dengan senyuman dan keceriaan." ucapnya memberikan pendapat dengan apa yang didengarnya sesuai dengan penjelasan yang diluncurkan oleh Vrans.     

"Tapi hal itu membuat ku semakin khawatir," ucap Vrans sambil menatap kosong ke arah meja yang menjadi pemisah di antara dirinya dengan Sean.     

Xena murung salah, Xena ceria juga salah. Bagaimana tidak salah? Toh gadisnya itu memposisikan 'keceriaan' bukan dalam situasi yang tepat. Ia sangat yakin jika rasa sakit yang dirasakan kekasihnya itu di sembunyikan sangat dalam.     

Sean yang melihat kemurungan Vrans pun yang tadinya ingin memutar kedua bola matanya, akhirnya memilih untung menghembuskan napas dengan perlahan. Sambil menyatukan kedua tangan untuk bertumpu pada kakinya, ia berdehem kecil. "Kamu tahu? Hal yang paling sulit untuk di taklukkan itu adalah seorang gadis. Dan jika sudah berhasil di taklukkan, hal selanjutnya yang paling menyulitkan adalah perubahan suasana hatinya. Jadi, sebagai laki-laki harus paham dengan segala porsi yang dimiliki." ucapnya tanpa raut wajah yang tengil sedikitpun. Entah kenapa memang terdengar menjijikkan jika di ingat kembali tentang apa yang ia ucapkan, tapi tak ayal juga ia dengan perlahan mulai mempelajari semua itu dari Erica.     

Mendengar sederetan kalimat yang penuh dengan kebijakan dan motivasi itu membuat Vrans langsung saja mendongakkan kepalanya menatap ke arah Sean yang kini sudah menampilkan raut wajah yang serius pertanda dirinya tidak perlu lagi mendengar celotehan menyebalkan yang selalu keluar dari mulut laki-laki itu.     

"Jika bisa, aku ingin memusnahkan Hana." ucapnya dengan tiba-tiba. Memangnya siapa dalang terbesar dari hadirnya kehancuran yang berada di hidup gadisnya ini? Ya seorang Hana Xavon lah, memangnya siapa lagi?     

Sean yang mendengar kalimat itu pun langsung menarik senyuman iblis sampai tercetak jelas di wajahnya. "Akan ku lakukan untuk mu, kita hanya perlu rencana yang matang untuk menewaskan gadis bebal itu." ucapnya sambil mengacak rambutnya dengan gerakan bebas.     

"Bagaimana caranya?" tanya Vrans sambil menaikkan sebelah alisnya, menatap Sean dengan perasaan yang sangat penasaran. Bagaimana pun juga, ia selalu heran dengan jalan pikiran seorang pembunuh bayaran.     

Ingin membunuh saja harus memiliki persiapan yang matang. Lebih baik menjadi CEO besar di perusahaan keluarganya sendiri, tidak merepotkan.     

Sean terkekeh kecil lalu selanjutnya ia menertawakan pertanyaan Vrans yang bodoh. "Apa-apaan, mana ada rencana yang dibocorkan." ucapnya sambil menggelengkan kepala.     

Vrans menaikkan sebelah alisnya. Kalau hanya Sean yang boleh tau dengan persiapan yang matang itu, bagaimana caranya membantu?     

"Just shut up and become a pawn in this chess game," gumam Sean dengan smirk yang sudah menjadi ciri khas jiwa iblis yang berada di dalam tubuhnya.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.