My Coldest CEO

Seratus delapan belas



Seratus delapan belas

0Erica menatap Xena dari atas sampai bawah, dan begitu seterusnya. Sudah dari lima menit yang lalu ia memperhatikan sahabatnya ini yang sama sekali tidak menunjukkan raut wajah ketakutannya. Ia bahkan hampir ingin menanyakan tentang kejadian yang sebenarnya, dan kenapa sampai bisa gadis ini berperilaku tenang seperti tidak ada masalah sedikitpun.     

"Jadi kita tinggal nunggu kedatangan Orlin," ucap Xena dengan ceria. Ia tadi habis menghubungi salah satu sahabatnya lagi untuk memeriahkan acara pesta malamnya ini, dan ternyata gadis itu sangat setuju dengan tawarannya.     

Erica menganggukan kepalanya dengan raut wajah dinginnya. "Memang dia tidak jadi bermalam dengan Niel?" tanyanya dengan satu alis yang terangkat.     

Tidak, sudah tidak dapat dipungkiri lagi jika seorang Orlin kini tengah suka menghabiskan waktu bersama dengan Niel. Karena pernikahan mereka sebentar lagi terlaksana dan akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama. Lagipula, dari Erica maupun Xena tidak pernah mempermasalahkan waktu Orlin yang semakin menipis untuk mereka.     

Kebahagiaan sahabat adalah hal utama yang patut untuk di banggakan. Justru, mereka sangat beruntung dengan Orlin yang selalu mengutamakan mereka sebelum kenal dengan Niel. Selalu ada di saat butuh, bahkan selalu saja menjadi orang yang membawa beribu-ribu topik pembicaraan.     

Xena menggelengkan kepalanya ketika mendengar pertanyaan yang diluncurkan Erica kepadanya. "Bermalam apa? Ehem-ehem maksud kamu?" tanyanya sambil terkekeh kecil. Ia kini sedang sibuk memilih di antara banyaknya bantal yang ia kumpulkan dari sebagian sudut ruangan di rumah ini. Bahkan, bantal sofa pun ia bawa ke kamar yang bernotabene adalah kamar tamu yang sengaja terletak di seberang kamar milik Vrans.     

Ya masa mereka bermain-main di kamar milik laki-laki dingin itu? Tidak mungkin kan. Apalagi banyak sekali barang-barang penting yang tidak mungkin bisa di akses bebas oleh banyak orang. Terlebih lagi, kemungkinan besar mereka akan merencanakan pertarungan besar yang mengakibatkan kamar ini bisa terlihat seperti layaknya kapal pecah. Berantakan, seperti tidak terurus.     

Erica menganggukan kepalanya merasa mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Xena. Ia menguncir rambutnya seperti ekor kuda. Kini, pikirannya menerawang jauh kala mengingat Orlin yang tidak pernah lagi ikut andil dalam hal ini. Padahal, sahabatnya itulah yang berawal memberitahukan hal ini pada dirinya. "Mentang-mentang ingin menikah pikirannya menjadi dewasa," ucapnya sambil menatap Xena dengan kekehan kecil.     

Xena mengambil salah satu bantal sofa yang berumbai berwarna coklat muda, ia lalu menatap wajah Erica yang menampilkan sebuah kekehan. "Eh? Aku hanya berpikiran mereka luas." ucapnya ikut tertawa. Memangnya siapa yang tidak tahu kedekatan seorang pasangan yang berada dalam fase tunangan seperti itu.     

Tapi tidak dengan dirinya dan Vrans. Tenang saja, semua masih berjalan tenang tanpa adanya adegan dewasa sama sekali. Karena belum adanya ikatan yang sah membuat ia dan kekasihnya itu saling menjaga satu sama lain.     

Erica memutuskan untuk memutar kedua bola matanya. "Aku saja tidak seperti itu," ucapnya tanpa ia sadari makna tersirat yang tersembunyi di balik setiap kalimatnya.     

Xena yang lebih peka dari apapun itu langsung saja membelalakkan kedua bola matanya sambil menutup mulutnya yang ternganga dengan tangan kanan. "TUH KAN BERARTI BENAR KAMU DAN SEAN SUDAH JADIAN!" ucapnya dengan heboh.     

Asik, dapat traktiran taco untuk sekian lamanya!     

Erica yang mendengar hal itu pun hanya merutuki kebodohannya yang terbilang sangat tidak berkelas. Sedangkan Xena, gadis itu dengan heboh mengguncang kedua lengannya sambil meneriaki 'Pajak Jadian' sebanyak-banyaknya. Jika saja gadis ini bukan sahabat terbaik yang ia miliki, sudah dapat di pastikan jika ia akan mendorong kasar tubuhnya.     

"Apa? Taco?" tanya Erica sambil meraih kedua tangan Xena yang memegang pundaknya. Ia menahan tangan tersebut supaya kembali tenang dan tidak mengguncang dirinya lagi. Sumpah rasanya seperti kini dunia sedang berputar-putar membuat kepalanya sedikit pusing.     

"TENTU SAJA, MEMANGNYA APALAGI YANG PALING ENAK DARI TACO?" tanya Xena dengan nada bicara yang lantang. Bahkan ia tidak segan-segan memberikan senyuman konyol untuk Erica setelah berhasil melontarkan sederet kalimat berisik itu. Berteriak masih menjadi hobinya dari dulu dan untuk selamanya. Ah sepertinya tidak, mungkin saat dirinya sudah memiliki buah hati bersama Vrans, ia harus mengubah sifatnya. Iya, hanya sedikit saja tapi.     

Erica menganggukan kepala dan sedikit mengernyitkan dahi karena indra pendengarannya merasakan pengang. "Besok aja ya, kalau ingat." ucapnya sambil terkekeh kecil.     

Berusaha tidak menghiraukan Xena yang kini sudah berceloteh panjang kali lebar meluncurkan berbagai macam kalimat protes. Entah mengatakan dirinya pelit sampai memohon-mohon taco pada dirinya. Ayolah, apa taco pemberiannya selalu membuat rasa makanan tersebut menjadi lebih fantastis? Atau bagaimana sih? Ia juga tidak mengerti.     

Erica langsung saja bergerak untuk menghempaskan tubuhnya di atas kasur king size yang berada di kamar ini. Tangannya mulai meraih ponsel yang berada di atas nakas.     

"TUH KAN, UDAH PELIT, TULI JUGA. LAMA-LAMA XENA NIKAHIN NIH SAMA SEAN!" pekik Xena dengan gemas karena melihat Erica yang bukannya meladeni setiap ucapannya tapi gadis itu malah berjalan ke arah kasur dan tiduran di atas empuknya kasur itu.     

Mendengar pekikan Xena, tentu saja secara mau tidak mau membuat Erica langsung saja mengalihkan pandangannya. Ia menatap ke arah gadis yang kini tengah menghentak-hentakkan kakinya pada lantai, seperti seorang anak kecil yang tengah merajuk untuk minta dibelikan permen namun tidak dituruti sama sekali. "Iya bawel." ucapnya sambil melemparkan seulas senyuman pada Xena.     

Begitulah sahabatnya yang satu itu, selalu saja ingin di turuti segala kemauannya. Terkadang manja, tidak jelas, kelewat percaya diri, bahkan terkadang gadis itu tidak pernah malu bertingkah konyol di hadapan banyak orang. Astaga, ia sepertinya memang harus mengucapkan puji syukur kepada Tuhan karena memiliki seorang sahabat yang antik.     

Setelah melihat Xena yang kembali pada kegiatan-kegiatan yang entah kenapa gadis itu sibuk sekali, sorot matanya langsung saja mengarah pada layar ponsel dan kembali melihat-lihat dokumen perusahaan yang selalu masuk ke email miliknya, bersiap untuk di periksa olehnya dan dikirim pada Vrans kembali untuk segera di tanda tangan atau meminta persetujuan.     

Tiba-tiba saja, ponselnya berdenting.     

Ting     

Ting     

Erica melihat pada layar atas ponsel kalau notifikasi yang masuk tersebut berasal dari nomor yang tidak ia kenal.     

Awalnya ia tidak ingin membalas karena isi pesan tersebut hanya 'hai' dan 'halo'. Ayolah, dua kalimat sapaan yang memiliki arti sama. Untuk apa mengirimkan dirinya pemborosan kata sapaan seperti itu? Sangat tidak berbobot.     

Ting     

Lagi dan lagi nomor telepon dari seseorang yang tidak di kenal itu muncul kembali pada layar atas ponselnya.     

Namun, satu pesan ini berhasil menarik perhatiannya yang tadi sempat ingin memblokir nomor telepon tersebut.     

| Ruang chatan |     

Unknown Number     

Hai     

Unknown Number     

Halo     

Unknown Number     

Ini aku, Hana. Terkejut? Pasti saja. Memangnya siapa yang tidak memekik bangga saat di chat oleh seorang pembunuh bayaran terkenal?     

Erica yang membaca beberapa deret kalimat menjijikkan itu langsung saja memutar kedua bola matanya dengan refleks. "Gadis gila," gumamnya takut Xena mendengar apa yang telah ia ucapkan tadi. Ia merasa sedikit mual karena hal itu.     

Erica     

Kenapa?     

Unknown Number     

Hanya ingin memastikan sahabat mu,     

Erica     

Oh     

Unknown Number     

Ayolah, bukankah menarik kalau aku memiliki dua pion untuk berjalan di papan permainan ku?     

Erica menaikkan sebelah alisnya. Sumpah, ia berpikir jika Hana benar-benar gila. Apa yang di maksud pion olehnya? Manusia? Atau apa?     

Erica     

Jangan banyak basa basi     

Unknown Number     

Sean hanya menginginkan beberapa bagian organ tubuh mu saja untuk di jual di pasar lelang     

Membaca pesan tersebut tentu saja tidak membuat Erica terpengaruh. Kalau benar Sean memiliki niat seperti itu, kenapa tidak dari awal saja? Dan kenapa laki-laki itu selalu mengambil andil apapun yang berhubungan dengan dirinya? Kalau mau bohong dan mencuci otaknya ini, setidaknya harus memiliki persiapan yang matang.     

Erica     

Tidak peduli juga, lagipula aku tidak sebodoh kamu yang bisa di bodoh-bodohi     

Unknown Number     

Kalau begitu, to the poin saja ya. Aku ingin menjadikan kamu pion kedua setelah Xena. Bagaimana? Terdengar seru, iya kan?     

Erica     

Lakukan saja kalau bisa, tidak takut.     

Unknown Number     

Hi, pesan ini akan terhapus tiga detik lagi dan nomor ini sudah tidak terdaftar dimanapun.     

Erica menaikkan sebelah alisnya. Lalu dengan segera ia menangkap layar pada ponselnya pada setiap bagian chat dirinya dengan Hana, sebagai bukti saja.     

| Ruang chat berakhir |     

"Sialan," umpat Erica sambil menaruh kembali ponselnya pada nakas. Ia beralih untuk menatap ke arah Xena. Tidak, ia sama sekali tidak takut jika hal serupa yang dialami oleh sahabatnya itu menimpa dirinya. Ia hanya berpikir...     

Sebaiknya memang pura-pura ceria adalah kunci utama untuk menyelimuti rasa resah di hati. Iya kan?     

Dengan segera, ia beranjak dari kasur sambil memegang bantal di tangannya. "Siap untuk perang bantal?" tanyanya sambil berjalan mendekat ke arah Xena yang sedang sibuk mengatur letak bantal kembali karena sudah berserakan di lantai.     

Melihat kehadiran Erica yang tiba-tiba, tentu saja membuat Xena langsung mengambil pertahanan diri yang paling kuat. Yaitu mengambil langkah seribu dengan bantal yang sudah ia pilih sebagai jagoannya pada malam ini.     

"MULAI PERANG BANTAL!" pekik Xena dengan lantang, kini ia sudah berada di atas sofa sambil menatap ke arah Erica yang menatap dirinya dari kejauhan dengan kekehan kecil.     

Di dalam hati Erica saat ini, ia sangat khawatir dengan apa yang terjadi selanjutnya. Untuk memikirkan hal itu, sepertinya membuat kepalanya berdenyut sakit.     

Besok adalah besok, dan sekarang adalah sekarang. Jadi, ia pikir tidak masalah untuk merasakan keceriaan ini yang mungkin saja bisa membuat dirinya melupakan sebentar permasalahan ini.     

Hana semakin ahli dalam meretas alat komunikasi sesama yang sudah menjadi candu di dunia ini, apalagi kalau bukan ponsel? Bahkan gadis itu dengan entah bagaimana caranya bisa menemukan nomor ponsel miliknya.     

Kini, mungkin setiap langkah yang ia ambil harus dipikirkan segala konsekwensinya.     

"Jangan harap bisa menang untuk kali ini, Xena." ucap Erica sambil berlari mendekati sahabatnya, ternyata gadis itu tengah menertawakan kekonyolan mereka yang terjadi secara tiba-tiba.     

Setelah ini, akan ada banyak hati yang mengharapkan supaya takdir berjalan dengan sangat mulus.     

Xena yang berharap hal ini tidak akan berlangsung lama.     

Vrans yang berharap dirinya tidak akan lalai untuk yang kesekian kalinya.     

Erica yang berharap jika setelah ada badai pasti muncul pelangi yang indah.     

Sean yang berharap bisa membunuh Hana untuk takdir yang lebih serius daripada sebelumnya.     

Dan Orlin serta Niel yang berharap dengan apapun yang terjadi selanjutnya tidak akan mempengaruhi segala kehidupan mereka.     

Benar kan? Terlalu banyak harapan setelah ini.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.