My Coldest CEO

Seratus sembilan belas



Seratus sembilan belas

0Setelah berlama-lama menghabiskan akhir pekan yang terlewat membosankan ini, akhirnya pada malam hari Allea memutuskan untuk sekedar bersantai ringan di belakang halaman rumahnya. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi santai yang terletak di dekat kolam renang.     

Bersama dengan Clarrie, ia kini sedang menyesap segelas jus stroberi dingin yang tadi di sediakan oleh salah satu maid-nya yang lain.     

"Apa nona tidak kedinginan?" tanya Clarrie sambil menatap ke arah langit malam yang hanya terdapat beberapa jejak bintang saja, bahkan bintang pun terlihat lebih sedikit daripada biasanya.     

Allea menoleh ke arah Clarrie dengan satu alis yang terangkat. Lalu ia dengan sangat terpaksa harus menolehkan kepalanya menatap Clarrie yang bahkan tidak menatap balik padanya. "Tentu saja tidak, memangnya kenapa?" ucapnya balik bertanya.     

Toh, udara malam terasa sangat segar saat menyapu permukaan kulit. Terlebih lagi jika di temani oleh jus stroberi beserta camilan kecil lainnya seperti cookies dan juga satu potongan cake red velvet berukuran sedang.     

Clarrie mengangkat kedua bahunya, sambil menggelengkan kepala pertanda ia tidaklah puas dengan jawaban yang Allea lontarkan padanya. "Bukan itu maksudku," ucapnya. Kini ia mulai mengarahkan pandangannya jatuh pada kedua manik mata milik Nona Muda-nya ini.     

"Lalu apanya yang dingin sih? Aku tidak paham." ucap Allea sambil bernada sedikit kesal. Oh ayolah, apa dirinya yang terlalu bodoh karena sulit mencerna apa yang di ucapkan oleh Clarrie? Atau memang gadis di sebelahnya ini mempunyai pemikiran lain yang sama sekali tidak dipahami oleh dirinya?     

Clarrie menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Eh? Maksudku itu, apa Nona tidak merasa dingin? Sudah di luar dan memakai pakaian terbuka, minum jus dingin pula. Aku kalau seperti itu pasti sudah beku." ucapnya diiringi dengan kekehan kecil. Dengan heboh, karena dirinya tidak terbiasa keluar malam hari untuk menghabiskan waktu seperti ini, ia mengenalkan celana tidur panjang dengan atasan yang di balut dengan selimut kecil. Hangat, itu yang ia rasakan.     

Sedangkan Allea, ia hanya memakai kaos oversize dengan bawahan hotpants saja. Tanpa tambahan bahan lainnya yang menutupi sapuan angin terhadap permukaan kulitnya.     

Mendengar hal konyol itu, Allea tertawa. "Apa-apaan, pertanyaan seperti apa itu? Pantas saja aku tidak mengerti," ucapnya. Selalu saja Clarrie seperti itu, berbicara hal yang tidak perlu untuk di bicarakan. Ada-ada saja.     

"Hanya bertanya," balas Clarrie sambil menaikkan pundaknya. Ia beranjak dari duduknya sambil memakai kembali sandal rumah yang tadi ia letakkan di samping kursi santai. "Ku rasa film drama Korea kesukaan ku sudah mulai." ucapnya sambil merekatkan selimut kecil yang menutupi bagian atas tubuhnya.     

Allea menganggukkan kepala karena sudah paham dengan kegiatan Clarrie yang pasti selalu saja tiap malam menonton drama. Padahal lebih baik waktu malam hari itu digunakan untuk bersantai seperti ini, melepas penat karena sudah bekerja keras yang tentu saja menguras banyak pikiran dan tenaga. Tapi gadis itu lebih memilih untuk menonton daripada beristirahat, terlebih lagi kadang sampai jam 2 pagi belum juga ingin memejamkan matanya.     

Apa kalau sudah hobi akan menjadi seperti itu?     

"Sana, nanti kelewatan." ucap Allea. Ia melihat Clarrie yang menganggukkan kepalanya lalu berjalan menjauhi dirinya sampai tubuh itu menghilang di balik pintu yang me menghubungkan halaman belakang dengan rumahnya.     

Bersantai, adalah salah satu kegiatan yang sangat penting untuk dilakukan. Lihat, sekarang dirinya sudah memejamkan kedua bola matanya seolah-olah membiarkan angin malam menyapa setiap sudut pada permukaan wajahnya.     

"Hai, Allea."     

Tunggu, tunggu sebentar.     

Merasa ada yang memanggil dirinya, Allea sama sekali tidak kunjung membuka matanya, karena ia tahu jika dirinya sendirian di halaman belakang rumah. Jadi, ia pikir panggilan tersebut hanya angan-angan belaka.     

"Buka matamu, bodoh."     

Nada suara itu...     

Dengan cepat, Allea membuka kedua bola matanya. Lalu, ia membulatkan mata saat melihat sosok gadis yang kini terlihat semakin cantik dan menawan. "Hana?!" pekiknya terlewat senang. Entah bagaimana caranya Hana menerobos masuk ke dalam sini. Ah iya lupa, gadis itu kan seorang pembunuh bayaran. Yang secara harfiah pasti bisa mengakses apapun secara mudah, tidak perlu banyak basa basi dan 'TING!' segalanya seperti tersihir oleh Hana..     

Melihat respon Allea yang selalu saja berlebihan saat bertemu dengannya membuat Hana tersenyum kecil. "Hai, apa kabar?" tanyanya sambil berjalan mendekati gadis yang masih menatapnya dengan tatapan berbinar itu. Ia berhenti tepat di samping Allea, yang sudah mengubah posisinya dari tiduran di kursi santai menjadi duduk tegak.     

"Tentu saja sehat, seperti apa yang kamu lihat." jawab Allea sambil menarik napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia berusaha untuk menghilangkan perasaan ini supaya tidak terasa terlalu terkejut dengan kedatangan Hana.     

"Baguslah,"     

Setelah itu, Hana merogoh tas selempang yang berada tepat melingkari pinggangnya. Mengambil sebuah benda berbentuk kotak seperti peralatan canggih mirip ponsel yang bisa di lipat. Ia membuka lipatan tersebut dan langsung menampilkan layar proyeksi yang terlihat jelas di udara.     

Sinar biru yang langsung menampilkan sosok yang sangat Allea kenali. "Erica?" ucapnya dengan bingung. Ia bahkan tidak mengerti kenapa gadis yang mulai menjadi temannya itu dikenali oleh Hana. Apa ada sesuatu yang benar-benar sudah ia lewatkan sejauh ini. "Apa kamu mengenalinya?"     

Hana menganggukkan kepalanya, lalu kembali menutup benda tersebut. Menjadi terlipat kembali, lalu menaruhnya ke tempat semula. "Cukup mudah, dekati dan buat dia tidak suka dengan Xena. Bagaimana?"     

Allea menggelengkan kepalanya. Sial, untuk dekat dengan Erica saja rasanya seperti ingin bunuh diri. Canggung dan bingung telah bercampur menjadi satu bagian nyata yang sangat membuat dirinya kelimpungan. Beradaptasi dengan Erica adalah hal yang mudah, tapi gadis itu saja yang terlalu kuat membangun dinding pertahanan supaya orang lain tidak masuk lebih jauh ke dalam hidupnya.     

"Tidak, itu adalah hal yang mustahil." ucap Allea.     

Hana menaikkan sebelah alisnya. Ayolah, apa berteman sangat sesulit itu? Oh iya, ia sama sekali belum pernah memiliki hubungan pertemanan selama dirinya lahir dan mulai menjalani kehidupan di dunia ini. "Apa susahnya?" tanyanya sambil duduk tepat di samping Allea. Ia menatap gadis itu dengan sorot mata yang entahlah terlihat sangat kebingungan.     

Sedangkan Allea, ia sudah menggeser tubuhnya sehingga menciptakan sebuah jarak agar Hana nyaman duduk tidak berhimpitan. "Erica itu dingin dan tidak tersentuh," ucapnya sambil menghela napas. Ia pikir sangat sedikit peluang untuk menjadi teman seorang Erica Vresila, terlebih lagi gadis itu menyandang status dekat dengan Sean.     

Tunggu,     

"Bukankah dia dekat dengan Sean?" tanya Allea sekali lagi berucap sebelum Hana dapat mengeluarkan suaranya.     

Hana menganggukkan kepalanya, membenarkan pertanyaan dari Allea. "Kamu sekarang memihak pada siapa?" tanyanya sebelum menjelaskan apa yang dirinya ingin lakukan untuk langkah selanjutnya. Percuma jika gadis yang bernotabene masih menjadi asistennya ini sudah memihak ke mereka, untuk apa dirinya meminta bantuan?     

Allea menaikkan sebelah alisnya. Ia kini merasa bimbang dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Hana untuk dirinya. Di dalam lubuk hati terdalam, ia sangat ingin kembali bekerja dengan Hana di balik layar. Tapi...     

Bagaimana tentang hubungan barunya bersama para temannya yang sekarang?     

Orlin si banyak bicara dan gemar sekali mengajaknya bicara dengan berbagai topik pembicaraan yang beraneka ragam.     

Xena yang dengan tingkah konyolnya seperti anak-anak mampu menciptakan suasana humoris yang membawa gelak tawa.     

Dan terakhir adalah Erica yang berpotensi memiliki hobi unik, yaitu jarang sekali tersenyum. Raut wajah datar yang selalu menjadi ciri khas.     

Apa dia akan segera mengakhiri pengalaman barunya di kantor dengan meninggalkan mereka?     

Hana yang melihat Allea mematung pun sudah tahu jawaban apa yang tertanam di benak gadis itu. Ia segera terkekeh, lalu mengambil tangan Allea untuk dielus dengan lembut. Entah kenapa, Allea sangat berjasa bagi hidupnya dan sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan waktu kepada gadis ini. "Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, aku tunggu keputusan mu tiga hari lagi." ucapnya sambil tersenyum simpul.     

Allea tertegun, lalu mengerjapkan kedua bola matanya berkali-kali. "Eh? Tidak, aku ingin bersamamu saja." ucapnya dengan cepat. Dalam hati, ia masih merasakan dilema. Tapi...     

"Kan ku sudah bilang jika tidak perlu terburu-buru." ucap Hana sambil terkekeh, ia beranjak dari duduknya lalu berdiri menghadap Allea.     

"Tidak, tapi aku ingin memiliki teman." ucap Allea yang pada akhirnya menyalurkan apa yang kini ia rasakan. Sebenarnya, ia sangat takut jika Hana tidak dapat menerima hal ini. Karena oh ayolah, seseorang yang bekerja untuk kriminal penting dunia pasti sangat sibuk dan tidak pernah memiliki waktu untuk banyak orang dan melakukan kegiatan seperti kebanyakan orang di luar sana.     

Jadi, memiliki seorang teman membuat hidupnya terasa seperti orang lain yang terkadang setiap malam ia dambakan.     

Hana menganggukkan kepalanya, "kalau begitu aku tidak jadi meminta bantuan mu." ucapnya. Ia mengarahkan tangan kanannya yang terbalut dengan sarung tangan kulit ke ranting besar pohon dekat tepian dinding tinggi pemisah antara halaman belakang dengan kondisi di luar saja.     

Tap     

Dan sebuah tali berhasil meraih batang pohon tersebut yang keluar dari sarung tangannya. "Sepertinya aku ingin pamit," ucapnya pada Allea yang kini menatap dirinya seperti meminta maaf.     

Allea menghembuskan napasnya dengan lelah. "Apa kamu ada ide lain untuk hal ini?" tanyanya. Bagaimanapun juga, ia masih menginginkan bekerja bersama dengan Hana.     

"Bisa saja, kamu bantu aku tapi kamu hanya kehilangan dua orang teman mu jika rencana ini berhasil."     

"Apa maksudmu kehilangan dua orang teman?"     

"Seperti biasa, aku akan bermain dengan dua pion."     

"Tolong jangan berbelit, Hana. Katakan saja apa inti dari semua ini?"     

"Aku ingin kamu membuat Erica benci dengan Xena. Kalau tidak bisa, buat gadis itu percaya pada mu dan bawa dia ke sisi ku. Bagaimana?"     

"Terdengar sulit, Hana."     

"Yasudah, aku tidak akan memberikan mu andil apapun untuk misi ku kali ini. Sampai jumpa," ucap Hana sambil melambaikan tangan. Ia menekan tombol pada sarung tangannya membuat tali pengait tersebut langsung menarik dirinya ke atas batang pohon. Sebelum ia menanjak dinding tinggi perumahan Allea, ia kembali menolehkan kepala ke gadis itu.     

"Hati-hati," ucap Allea.     

Hana menganggukkan kepalanya. "Ku tunggu keputusan mu, segera." setelah itu, ia kembali meluncurkan tali pengait pada dinding tinggi yang memang memiliki lubang-lubang kecil sebagai tempat untuk pengaitnya. Lalu, ia langsung menanjak dinding dan menghilangkan begitu saja dari pandangan Allea.     

Sedangkan Allea, kini gadis itu tengah memijat keningnya yang terasa berdenyut. Apa yang harus ia lakukan kali ini? Pasti semua ini ada hubungannya dengan Erica dan Xena. Sialnya, ia tidak akan pernah tahu apa rencana sekaligus maksud dari permainan kali ini. Terlebih lagi, Hana menggunakan dua pion manusia sebagai pemain.     

"Sepertinya aku harus segera mengambil keputusan," gumam Allea.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.