My Coldest CEO

Seratus dua puluh



Seratus dua puluh

0Chicago, Illinois, Amerika Serikat.     

1 jam 50 menit perjalanan dari New York ke Chicago menggunakan pesawat jet yang kini sudah di titipkan pada salah satu kerabat D. Krack yang rumahnya berada di pelosok, jauh sekali dari keramaian kota yang padat aktivitas.     

Dan kini jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan D. Krack sudah menunjukkan pukul tepat tengah malam. Ia menggulung lengan kemejanya sampai siku, lalu menatap ke arah Sean yang kini sedang duduk di atas mobil dengan jemari yang terselip sebatang rokok.     

"Kapan pergerakan di mulai?" tanyanya karena sudah tidak sabar ikut menjadi bagian terpenting dalam misi Sean kali ini. Ya tidak juga sih, ini semua karena dirinya meminta untuk ikut karena merasa bosan di rumah yang di penuhi dengan para gadis. Ia bisa saja berlatih segala macam kemampuan yang di kuasai olehnya, tapi namanya juga bosan ya mau sekeras apapun dirinya menahan pasti tidak akan pernah bisa berubah.     

Sean menoleh ke arah D. Krack, lalu setelah itu membuang putung rokoknya yang masih tersisa setengah dengan asal.     

Kini, mereka tengah berada di luar halaman belakang salah satu gedung pencakar langit.     

Targetnya masih sama, para kolega besar. Pasti alasannya karena persaingan atau bisa saja karena targetnya ini melakukan kesalahan yang disembunyikan secara rapat.     

"Nanti saja, aku masih ingin bersantai." ucap Sean sambil menidurkan dirinya di atas mobil. Kini sorot matanya menatap ke arah langit malam yang terlihat indah dengan sapuan angin sejuk. Tadi, ia melihat senyuman Erica yang benar-benar mampu menyihir kinerja otaknya sampai saat ini.     

Throwback     

Vrans menatap sengit ke arah Sean. "Kalau begitu, sebaiknya kamu memberikan koper itu kepada gadis mu." ucapnya sambil mengarahkan pandangan ke koper kecil berwarna hitam yang tadi di bawa oleh Erica. Ia menatap Sean yang seperti enggan beranjak dari kursinya, namun tak ayal laki-laki itu langsung saja meninggalkan bokongnya pada sofa.     

Sean menganggukkan kepalanya, lalu meraih pegangan koper. "Sebaiknya aku menjauh saja dari mu yang seperti es batu," ucapnya sambil melangkahkan kaki meninggalkan Vrans yang masih memfokuskan pandangan kepadanya.     

Sudah hampir sepuluh menit gadisnya dibawa oleh Xena untuk menghabiskan waktu malam bersama-sama, entahlah ia sendiri juga tidak pernah mengerti tentang rutinitas malam seorang gadis. Terkadang, Erica memakai banyak produk kecantikan yang menurut sudut pandangnya sangat aneh. Untuk apa produk satu dengan produk yang lainnya di gabung menjadi satu wajah dengan tahapan yang berbeda?     

Ah iya, laki-laki tidak akan pernah paham tentang ini semua. Yang kaumnya tahu hanya bekerja saja.     

Sean menoleh terlebih dulu ke lantai dua, astaga sebenarnya ia malas sekali bertemu dengan Xena. Gadis aneh yang waktu di ancam olehnya malah di ajak bermain ludo.     

Namun dengan hembusan napas panjang, ia segera melangkahkan kakinya dan mulai menaiki satu persatu anak tangga untuk bisa mencapai ke lantai dua. Setelah pijakan terakhir selesai, ia langsung saja pergi ke salah satu pintu coklat yang bertuliskan 'kamar tamu'. Ia dengan malas mengetuk secara perlahan pintu kamar tersebut.     

Tidak ada jawaban.     

Karena ia tidak ingin berlama-lama disini, ia langsung saja memutar knop pintu untuk membukanya dan segera masuk ke dalam sana.     

"XENA ADALAH RATU BANTAL TERKEREN DI SELURUH DUNIA!"     

Pekikan Xena langsung saja menyapa indra pendengarannya tanpa permisi sedikit pun membuat dirinya mengernyitkan dahi. Sepertinya kedua orang gadis di dalam sana belum menyadari dirinya yang sudah berhasil masuk ke dalam kamar dan berdiri tepat setelah pintunya kembali tertutup. Ia tidak dapat menjamin jika nanti telinganya akan berfungsi dengan baik.     

Lihat, kini pemandangan kekanak-kanakan langsung menyapa kedua bola matanya. Xena dan Erica yang berlari-larian mengejar satu sama lain dengan bantal yang berada di masing-masing tangan.     

"Jangan lari, pokoknya kali ini harus kamu yang kalah."     

Itu suara Erica, gadisnya. Ia memusatkan perhatian pada gadis yang ternyata tertawa lebar itu seperti melepas beban pada wajah dinginnya. Pikirannya kembali menelusur jauh, apa Erica kerasukan jika Xena? Atau bagaimana? Pasalnya kini ia tengah melihat gadisnya dengan sifat dan ekspresi yang jaug sangat berbeda dari biasanya.     

Terlihat Xena yang berlari ke arah sofa, menjadikan mereka seperti saling berlarian mengitari benda yang berfungsi untuk duduk atau sekedar berbaring santai.     

"Enak aja, nanti siapa yang beliin aku taco?!" protes Xena, masih dengan nada lantangnya. Baiklah, gadis satu itu memang tidak pernah mengubah sifatnya lebih lama. Sekalipun berubah, pasti akan kembali seperti awal lagi.     

Jika saja ada Vrans, pasti laki-laki itu tengah mengejek Xena dengan sebutan 'gadis aneh' atau 'gadis pluto'. Entah mendapatkan julukan darimana tapi yang jelas memang benar-benar cocok untuk menggambarkan diri gadis itu.     

Sean masih saja melihat tingkah mereka berdua, tapi bedanya koper yang tadi ia bawa sudah diletakkan di samping nakas dekat tempat tidur king size yang berada di kamar ini.     

Dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada, ia masih asyik menyaksikan pemandangan yang terbilang sangat jarang di suguhkan ini. Gadisnya itu benar-benar terlihat sangat manis. Siapapun tolong sadarkan dirinya yang mulai terpaku dan ingin membuat Erica seperti gadis yang periang saja.     

Terlihat Erica yang tengah memukul tubuh Xena, namun meleset. "Enak aja, kamu ada Tuan Bos yang kaya raya! Apa bedanya dengan ku." kalimat protes itu terucap pada bibir gadisnya.     

Jika biasanya gadis itu akan merasa marah dan merajuk jika di jahili, namun kini terdapat ukiran senyuman yang lebih dari 'seulas senyuman' itu.     

Niatnya ia tidak ingin merusak suasana, namun dirinya teringat akan pekerjaan penting yang harus di lakukan pada malam ini.     

Ia menarik napasnya, lalu berdehem untuk menginterupsi keadaan. "Ekhem,"     

Yang tadinya ruangan ini terdengar berisik karena pekikan heboh dari Xena dan juga gelak tawa dari Erica langsung lenyap sudah. Mereka berdua langsung menoleh pada suara bariton yang memecahkan suasana seru.     

"Eh Sean," ucap Xena sambil memberikan senyuman manis untuk Sean, tak ayal juga tangannya melambai ke arah laki-laki itu.     

Sean menganggukkan kepalanya, lalu mengibaskan tangan kanannya ke udara memberikan perintah supaya kini Erica mendekat ke arahnya.     

Dengan sihir yang mungkin saja tengah mengambil alih jalan pikir gadisnya itu, Erica langsung berjalan nurut ke arahnya tanpa pertanyaan sinis ataupun beberapa deretan kalimat yang menunjukkan sebuah protes sebal.     

"Apa?" tanya Erica yang sepertinya lupa menurunkan senyumannya.     

Hal itu membuat Sean mengulum sebuah senyuman, lalu membenarkan letak kerah jaketnya yang padahal masih tertata rapih. Ah tidak, jangan berpikiran jika seorang Sean malu saat berhadapan dengan Erica dan senyuman manisnya.     

"Aku ingin pulang dan melanjutkan pekerjaan ku," ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk mengelus lembut puncak kepala gadisnya itu. "Dan itu koper mu." sambungnya dengan tangan yang menunjuk letak koper milik Erica yang tadi ia bawakan dan sudah diletakkan rapih.     

Erica menganggukan kepalanya, lalu mulai ingat untuk menurunkan senyuman. "Oh yasudah, hati-hati." ucapnya dengan kalimat yang terdengar seadanya. Ia tidak tahu harus merespon apa toh kalau pulang ya tinggal pulang, iya kan?     

"Kenapa hanya seperti itu?" tanya Sean dengan satu alis yang terangkat. Ia benar-benar mengharapkan pengekspresian kata 'hati-hati' dengan cara lain. Mungkin kecupan singkat sudah cukup, iyakan? Padahal di lubuk hatinya yang paling dalam ia menginginkan sebuah lumatan.     

Astaga, jangan banyak berharap.     

Erica ikut menaikkan sebelah alisnya, lalu melempar bantal yang berada di tangannya sampai tepat mendarat di atas kasur. Pandangannya melihat ke arah Xena yang pura-pura tidak menolehkan wajah ke arah mereka. Takut disuguhkan pemandangan dewasa, katanya.     

"Mau apa lagi emang?" tanya Erica yang menaruh bubuk kesabaran lebih banyak lagi supaya tidak merasakan kekesalan. Mungkin sekali-kali ia harus berperilaku manis pada Sean, ya hitung-hitung sebagai imbalan saja. Lagipula laki-laki itu sudah bertahan sejauh ini dengan sifatnya yang terbilang cuek, ah bahkan terlewat cuek sampai tidak merasa manusiawi.     

Sean mengerling jahil, lalu menunjuk bibirnya yang sudah ia sedikit majukan. "Ini, dan sebuah senyuman mu yang seperti tadi." ucapnya.     

Erica memutar kedua bola matanya. Mumpung Xena sedang tidak melihat ke arah mereka dan supaya laki-laki ini segera pergi dari hadapannya, ia mulai mendekatkan wajahnya untuk menempelkan bibir manisnya dengan bibir sexy Sean.     

Cup     

Satu kecupan manis mendarat.     

Dan ya, sesuai dengan permintaan Sean, Erica langsung saja mengulas sebuah senyuman manis. "Hati-hati di jalan, Tuan pemaksa." gumamnya.     

Pada detik itu juga, Sean merasakan hatinya tengah melayang sampai ujung langit yang paling atas.     

Throwback off     

"Kenapa? Jangan senyum-senyum sendiri," ucap D. Krack yang melihat Sean menyunggingkan sebuah senyuman geli. Entah apa yang tengah di pikirkan oleh laki-laki itu, sudah pasti berhubungan dengan seorang gadis bernama Erica.     

Sean mengerjapkan kedua bola matanya, lalu menoleh ke arah D. Krack yang menatapnya sambil geleng-geleng kepala. Tunggu, sudah berapa lama ia kembali memutar kejadian beberapa jam yang lalu saat berada di kamar tamu rumah Sean?     

Ia langsung saja menatap ke arah jam tangannya, dan ya sudah sepuluh menit ia bertingkah seperti ini. "Percintaan sangat menjijikan," ucapnya sambil beranjak dari tidurnya di atas mobil. Ia kini sudah menapakkan kakinya pada permukaan tanah yang masih di tumbuhi oleh rerumputan hijau.     

D. Krack yang mendengar itu langsung saja menaikkan sebelah alisnya. "Kalau menjijikkan, kenapa kamu terjebak di dalamnya?" tanyanya seolah-olah menyadarkan Sean tentang apa yang sebenarnya sudah terjadi dengan kisah percintaan laki-laki itu. Menjadi pengikut cinta bukanlah masalah yang besar asalkan memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga sang gadis yang masuk ke dalam hidupnya.     

Sean terkekeh kecil, ia sekarang merasa seperti orang bodoh yang telah dibutakan cinta. "Sudahlah lupakan saja, kita beraksi sekarang sebelum ke target pulang ke rumahnya." ucapnya sambil mengutak-atik jam tangan yang sama seperti milik D. Krack. Jam tersebut mengeluarkan laser yang dapat memotong kawat baja yang menjadi pelapis dinding.     

"Hati-hati, kalau kawatnya menyentuh mu sudah di pastikan akan tersetrum." peringat D. Krack setelah laser yang keluar dari jam tangan milik Sean sudah berhasil membuat lobang besar yang bisa di masuki oleh manusia untuk memasuki area halaman belakang gedung.     

Bersama Sean, semua pekerjaan akan terasa sangat mudah karena ada saja cara untuk meretas sistem keamanan ataupun hal lainnya yang biasa sulit di lakukan para kriminal lainnya.     

Sean menganggukkan kepalanya, merasa mengerti dengan apa yang di peringatkan D. Krack pada dirinya. "Tentu saja," ucapnya sambil menganggukkan kepala.     

D. Krack bergeming sambil mengaktifkan mode keamanan pada baju khusus yang kini ia pakai.     

"Murder started, get ready."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.