My Coldest CEO

Seratus dua puluh dua



Seratus dua puluh dua

Hanya tersisah satu raga yang masih sibuk menatap langit tengah malam dari atas balkon kamarnya. Dia adalah, Xena. Gadis itu tampak duduk di kursi kayu yang memang sengaja di letakkan disana, berfungsi untuk sekedar duduk santai atau ingin menikmati matahari terbit dan terbenam. Tapi kali ini, beralih fungsi sebagai tempat ternyaman untuk menatap beberapa bintang di angkasa.     

Tidak, ini bukan membicarakan tentang bintang ataupun benda-benda angkasa yang terlihat indah. Ini tentang... suasana hatinya yang kian tidak terarah. Membentuk sebuah pikiran yang semakin membuat kepalanya terasa ingin pecah dengan taburan bumbu senyum kepalsuan.     

"Kenapa takdir selalu jahat pada ku?" tanya Xena pada dirinya sendiri. Ia memeluk lututnya, berharap menenangkan segala rasa gundah yang berada di hatinya. Ia benar-benar ingin hidup bebas layaknya orang lain di luar sana.     

Semenjak Erica dan Orlin memutuskan untuk tertidur karena hampir tiga jam mereka langsung menghabiskan waktu untuk mengadakan acara perang bantal serta membereskan bantal yang berserakan di setiap sudut kamar tamu, bahkan mereka masih sempat melakukan ritual malam seorang gadis. Apalagi kalau bukan memakai skin care yang menjadi andalan?     

Setelah itu, Xena kembali menjadi murung saat langkahnya pergi keluar dari kamar yang di tempati oleh Orlin dan Erica di rumahnya.     

Dengan wajah sendu bercampur bingung dan tidak ada sama sekali raut wajah yang menunjukkan kesenangan, ia memutuskan untuk merenungkan segalanya di balkon. Apa yang lebih menenangkan jiwa selain angin malam? Itu adalah pelukan seorang kekasih yang di sayangi olehnya. Sayang seribu sayang, Vrans kini sudah menjatuhkan wajahnya ke atas tumpukan dokumen dengan kedua mata yang terpejam. Artiannya, laki-laki itu sudah masuk ke dalam alam mimpi untuk melepas penat karena akhir pekan masih saja harus bekerja.     

Iya, mungkin dirinya sangat membutuhkan sebuah pelukan. Merasa jika semua yang ia lakukan tadi hanya hal yang sia-sia. Untuk apa tertawa lebar seperti tanpa beban untuk menutupi sebagian pikirannya yang tengah kacau? Kesendirian membuat ia sadar kalau keramaian lebih baik.     

Sesak di dadanya membuat dirinya semakin mencengkram kuat lengan baku tidurnya, ia hanya bisa berharap jika hal ini dapat menyalurkan rasa yang kini bersarang di harinya.     

"Lemah," gumam Xena sambil menertawakan dirinya dengan sangat miris. Iya bukan, dirinya terlalu pantas untuk di tertawakan karena tidak memiliki pertahanan tubuh yang kuat. Ia hanya gadis manja dan... cengeng. Jangan lupakan tingkah kekanakannya yang bisa saja membuat orang lain jengkel dengan sifatnya yang satu ini.     

Tes     

Satu kristal bening berhasil mendobrak pertahanan kelopak matanya, membuat sebulir air mata menetes dan mulai menyapa permukaan wajahnya. Ia sudah tidak bisa menahan perasaannya lebih jauh lagi, sudah cukup kepura-puraan dalam beberapa jam yang lalu. Kini, waktunya untuk mengatakan pada malam jika dirinya sudah lelah.     

Tidak, bukan lelah yang bertujuan untuk menyerah. Tapi ia lelah karena selalu menjadi orang yang dalam bahaya, tidak ada habisnya untuk hal yang satu ini.     

Tes     

Tes     

Tetesan lainnya mulai menyapa, meninggalkan jejak yang terlihat jelas karena warna putih kulitnya membuat jalur air mata tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Semakin ia pikirkan, semakin sesak di dadanya menohok. Bahkan, napasnya sampai tercekat karena hal ini.     

Katakan pada siapapun, karena memang dirinya hanyalah gadis lemah yang selalu meminta perlindungan dari banyak orang. Bahkan, ia tidak tahu harus membayarnya dengan cara apa. Semuanya selalu memberikan nyawanya hanya untuk orang seperti dirinya, iyakan?     

Contohnya Chef Dion yang terbunuh akibat Hana yang seharusnya menewaskan dirinya     

Dan juga mengenai Erica dan Vrans yang ikut masuk ke dalam jebakan Sean.     

Apa kini ia akan melibatkan lebih banyak orang lain daripada kejadian sebelumnya?     

Dan teruntuk Hana, apa gadis itu tidak bosan mengincar dirinya? Kegencaran seperti tidak ingin melepasnya adalah pemikiran seorang psikopat seperti yang berada di film thriller pada layar bioskop.     

Kenapa tidak mencari target yang lebih mudah? Kenapa dirinya masih menjadi si utama dari sekian banyaknya orang?     

Lagi dan lagi, berbagai pertanyaan bermunculan di pikirannya. Di awali dengan 'kenapa', 'apa', 'bagaimana', 'siapa', lengkap sudah.     

Takdir memang tidak pernah membiarkannya bahagia. Jika ada orang yang pantas di salahkan, ya itu adalah dirinya. Ia adalah kesalahan terbesar yang pernah terciptanya. Memang dari awal tujuan hidupnya hanya untuk di hancurkan oleh orang lain. Sejak kecil mempunyai kedua orang tua yang tidak akur, dan ketika hal itu sudah membaik, sampai saat ini ia menjadi incaran hangat seorang pembunuh bayaran.     

Kurang menyiksa bagaimana lagi?     

Mungkin, kini ia berada di posisi paling bawah dalam hidupnya. Pikiran negatif mulai menyapa setiap syaraf otak, membuat hal itu langsung merasuki kinerja pikirannya.     

Semakin lama, bahu yang selalu terlihat tegar itu terlihat sudah bergetar hebat. Pertahanan dengan cara memeluk dirinya sendiri ternyata tidaklah kuat. Ia tidak ingin munafik jika ia membutuhkan...     

"BOSAYANG!!"     

Pekik Xena dengan nada serat. Baiklah, kini suaranya menggelegar sampai terdengar ke luar rumah. Ia tidak peduli sama sekali, bahkan dengan nada tercekat dan terdengar serak, ia masih bisa menyerukan nama seorang laki-laki yang bisa membuat dirinya setenang ombak di tengah laut.     

Ia hanya membutuhkan bahu untuk bersandar, ditambah juga raga untuk berlindung dari kejamnya takdir. Ingin membuat perhitungan pada Hana? Untuk melawan saja ia payah! Yang ada, nanti gadis pembunuh itu akan dirinya ajak bermain ludo di layar ponsel.     

Apa ada yang ingin ikutan? Xena suka warna merah sebagai pion yang selalu ia jalankan, bagaimana dengan kalian?     

Warna merah terkadang mendefinisikan darah, dan ia benci dengan darah, tapi anehnya warna merah adalah favoritnya.     

"Stttt, sayang."     

Suara bariton yang menenangkan itu langsung saja menyapa indra pendengarannya. Xena mendongakkan kepala, lalu melihat wajah damai Vrans yang menatapnya dengan sorot mata lembut. Terlihat kilatan sayang dari kedua manik bola matanya.     

Pada detik itu juga, tangis Xena pecah seperti seorang anak kecil yang di tinggal oleh salah satu teman bermainnya sejak lama. Iya, memang sesedih itu. Tapi yang ini terasa berkali-kali lipat sakitnya. Ia hanya berharap jika nantinya kebahagiaan akan berpihak pada dirinya.     

Vrans yang melihat itu, terasa ikut tersayat. Tangisan pilu ditemani dengan angin malam, kesedihan itu tentu bisa di rasakan olehnya.     

Karena malam, adalah waktu yang paling tepat untuk mengekspresikan perasaan yang ditahan pada hari dengan matahari yang menyapa di angkasa. Jika bulan sudah bertugas, berarti itu adalah waktu yang cocok untuk menumpahkan segala penat pada hari-hari dengan segala macam aktivitas padat.     

"I'm here," ucap Vrans sambil melangkahkan kaki mendekati ke arah Xena yang kian gencar membuang-buang air matanya, lalu dengan segera memeluk tubuh mungil yang sangat pas berada di dalam dekapan tubuhnya. Menenggelamkan kepala gadisnya pada perut dengan cetakan hasil gym yang kini sudah terbalut kaos polos, dan langsung mengelus dengan lembut puncak kepala yang masih terlihat getaran tangisnya.     

Sangat jarang Xena menangis, sekalinya menangis seperti ini. Iya, seperti ikut mengajak orang yang mendengar tangisannya untuk merasakan apa yang tengah gadis itu rasakan.     

"Takdir jahat!" seru Xena di sela-sela tangisnya. Selama ini, ia sudah menyerahkan segalanya. Ia pikir semuanya akan segera berakhir dan dirinya memiliki akhir bahagia bersama laki-laki yang ia cintai, seperti pada drama yang suka sekali ia tonton di layar televisi atau kumpulan cerita romantis yang berada di dalam buku novel.     

Memang, kehidupan di dunia nyata terasa begitu berbanding terbalik dengan kehidupan yang terbentuk di dalam imajinasinya karena hasil dari halusinasi yang amat kuat.     

Mendengar ucapan Xena yang menyalahkan takdir membuat Vrans menghembuskan napasnya dengan perlahan. Ia semakin memeluk tubuh gadisnya semakin erat. Kini posisi mereka dengan dirinya yang berdiri, dan gadisnya yang duduk di kursi kayu yang telah tersedia di balkon.     

Entah berapa kalimat yang harus ia luncurkan supaya Xena kembali merasa tenang, ia terlalu kaku sebagai seorang laki-laki yang baru pertama kali merasakan percintaan tulus ini.     

"Aku sayang kamu, gadis Pluto. Jangan terpuruk lebih lama lagi, aku ikut bersedih." ucapnya tanpa berhenti untuk mengelus puncak kepala gadisnya. Ia bahkan tidak segan-segan untuk mengecup berkali-kali puncak kepala dengan helaian rambut yang menjuntai lembut itu.     

Xena menangis sesenggukan, namun kini suaranya sudah teredam karena ia menenggelamkan sangat dalam wajahnya pada perut Vrans.     

Laki-laki yang kini sudah menjadi tempat segala keluh kesahnya, membuat dirinya tidak pernah malu untuk menunjukkan segala ekspresi. Entah ekspresi tidak jelas saat awal berkenalan dengan CEO ini, ataupun kesedihan panjang yang beberapa bulan yang lalu pernah menghampirinya.     

Jika sudah seperti ini, Vrans lebih memilih untuk menenangkan gadisnya dengan gerakan lembut. Ia tahu betul jika sebenarnya Xena sudah lelah dan ingin sekali memejamkan kedua mata, tapi pikirannya seolah-olah menolak hal tersebut.     

Tarik napas yang terputus-putus, dan suara tangisan yang kian memudar membuat Vrans yakin jika sebentar lagi gadisnya ini akan segera tertidur nyenyak, masuk ke dalam alam mimpi yang memang memiliki fungsi untuk membangun imajinasi menjadi sebuah kenyataan.     

Dengan satu tarikan napas, Vrans menatap ke arah langit dengan tangan yang masih setia mengelus puncak kepala gadisnya.     

"Aku sangat yakin, pertemuan kita akan menjadi hal yang paling berkesan di dunia ini. Menjalin hubungan pertama kali dengan gadis humoris membuat laki-laki ini yang gila kerja menjadi luluh seketika. Takdir tidak buruk, dia tidak akan menguji melebihi batas kemampuan. Yang perlu diketahui adalah, banyak orang yang memanjatkan puji syukur akan kehadiran diri mu."     

Dengkuran halus mulai terdengar, tapi deru napas yang sesegukkan masih terselip disana. Vrans mengulas sebuah senyuman. Ia tidak pernah merasa keberatan dengan kedatangan Xena dengan segala kerumitannya. Anggap saja ini semua ujian supaya dirinya bisa bertanggung jawab dan membuktikan pada semua orang jika ia adalah pasangan yang pantas untuk gadisnya sendiri, bukan laki-laki lain.     

Tanpa banyak basa-basi lagi karena tadi dirinya terbangun dari tidur karena tersentak kaget mimpi buruk, berniat untuk mengambil minum malah melihat sosok Xena yang tengah menyalahi takdir. Tadi ia lebih memilih untuk berdiri di sudut ruangan dekat gadisnya, lalu bertepatan dengan pekikan yang menggema itu dirinya langsung saja hadir mendekat. Dan ya, ia menjadi penenang.     

Ia langsung saja mengangkat tubuh Xena ala bridal style, berjalan mendekati kasur king size-nya dan menaruh tubuh mungil itu di atas kasur bersamaan dengan dirinya.     

Menyelimuti tubuhnya dan tubuh Xena, lalu mengubah posisinya, berbaring miring ke arah gadisnya. "Good night, my strong girl."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.