My Coldest CEO

Seratus dua puluh tiga



Seratus dua puluh tiga

0Breakfast time (American breakfast).     

07:00 AM     

Berbagai macam makanan seperti quiche, scrambled egg, muffin, omelette, hash brown potatoes, pancake dan egg benedict sudah tersajikan di atas meja makan yang telah disediakan secara apik oleh Chef Aldo untuk sang Tuan rumah, Nona muda, dan juga dua tamu yang menginap di rumah kelewat megah ini.     

"Kan kalau sarapan paginya kayak gini terus, bisa-bisa cacing di perut ku merdeka." celetuk Orlin sambil memasukkan potongan kecil hash brown ke dalam mulutnya. Ia mengunyah dengan nikmat setiap inci olahan kentang, melumatnya dengan sempurna sampai menyapa dinding tenggorokannya.     

Erica menatap Orlin dengan sebelah alis terangkat, padahal sahabatnya itu sering memakan berbagai menu yang terhidang di meja makan ini. Tapi entah kenapa gadis itu berekspresi sangat di lebih-lebih kan. "Biasanya juga makan enak, Lin. Jangan basa basi sama bos," ucapnya sambil terkekeh kecil.     

Begitu mendengar ucapan Erica, Orlin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu dengan seulas senyuman malu. "Eh? Ya supaya dapat gaji tambahan saja," balasnya dengan nada lelucon sambil menatap Xena dengan jari yang berbentuk 'peace' tanda berdamai.     

Erica hanya mengangkat bahunya dengan acuh sambil menikmati kembali makanan yang kini sudah ia ambil dan di letakkan ke piringnya. Ia selalu menjadi orang yang menyimak pembicaraan tanpa harus repot-repot untuk ikut memberikan pendapat apapun untuk masuk ke dalam obrolan.     

Sedangkan Xena, ia sudah terkekeh kecil lalu menoleh ke arah Vrans. "Bos, Orlin minta naik gaji tuh." ucapnya sambil mengerling jahil mengarahkan kembali pandangannya pada Orlin.     

Sejak awal, Orlin adalah pengagum seorang Vrans yang bernotabene CEO tampan. Bahkan dari awal juga sifat malunya belum kandas sampai pada detik ini. Entahlah, menurut sahabatnya itu, laki-laki ini terlalu mengintimidasi hanya untuk sekedar bertatap muka atau mengobrol ringan.     

Vrans hanya bergeming, ia tidak mengindahkan ucapan Xena tentang topik pembicaraan yang kini dibawakan oleh Orlin. Setengah jam lagi jam kantor akan berbunyi, menunjukkan jika para karyawan harus kembali ke pekerjaannya masing-masing sampai waktunya istirahat dan jam pulang kerja.     

"Lebih baik cepat selesaikan sarapan kalian, sebentar lagi jam masuk kantor." ucapnya sambil mengunyah makanan yang berada di mulutnya, lalu ia telan ketika sudah dirasa kelembutannya. Ia menoleh ke arah Xena yang dengan lugunya memotong-motong egg benedict di piringnya sampai potongan kecil-kecil lalu melahapnya dengan lumeran kuning telur menggunggah selera.     

Cup     

Satu kecupan manis berhasil mendarat tepat di pipi kanan Xena, lalu setelah itu ia kembali pada makanannya tanpa memperdulikan gadisnya yang sudah menyemburkan semburat merah jambu samar yang tercetak di kedua pipinya.     

Dengan kedua bola mata yang sedikit membulat, Xena menoleh ke arah Vrans dengan tatapan malu. Kan sudah ia katakan jika dirinya sedikit tidak nyaman jika diperlakukan manis di hadapan banyak orang. Tidak, bukan karena dirinya risih tapi... ASTAGA RASANYA SANGAT MALU!     

"Ada kedua sahabat ku, bosayang. Aku malu tahu!" protes Xena sambil menggelengkan kepalanya, berharap jika semburat merah jambu itu hilang dari wajahnya. Ia tidak ingin pagi ini sudah merasa meleleh dengan tingkah Vrans, lemah sekali jika di bayangkan kalau di bayangkan betapa mudahnya ia merasa jantungnya yang mulai berdetak tidak karuan seperti ingin terjun payung dari tempatnya.     

Erica yang melihat itu hanya diam saja dan masih menikmati sarapannya dengan sangat teramat tenang seperti hembusan udara pagi hari. Ia tidak pernah masalah jika Xena ataupun Orlin bertingkah seperti layaknya pengikut cinta. Selagi hanya sebuah kecupan atau ciuman dan beberapa tingkah sederhana lainnya, ia tidak masalah. Tapi jika sudah separah Orlin dan Niel saat dirinya selalu terselip di hubungan mereka... rasanya ia ingin kabur dan melenyapkan diri dari suasana terlewat manis menurutnya pada detik itu juga.     

Sedangkan Orlin, kini gadis itu tengah menggigit ujung sendoknya dengan sorot mata seperti ingin merasakan hal itu juga. Tidak dapat di pungkiri jika dirinya menginginkan sarapan manis yang manis. Ah iya, Niel tidak bisa di ganggu gugat mengingat laki-laki itu selalu menghabiskan waktu sarapannya di tempat kerja. Hal ini karena dirinya harus mengawasi setiap kinerja karyawannya yang dari pagi saja sudah memiliki banyak kegiatan penting. Tapi, ia sama sekali tidak pernah menuntut hal itu. Lagipula, kekasihnya bekerja keras untuk menghidupi dirinya saat sudah masuk ke dalam status pernikahan. Ia sangat memanjatkan puji syukur atas hal itu. Bangga, itu adalah pendeskripsian yang paling nyata untuk Niel.     

"Setidaknya jangan melakukan hal itu di depan pejuang LDR dong!" protes Orlin sambil menekuk senyumannya. Tapi tak ayal ia juga mengulum sebuah senyuman manis untuk memberikan tanggapan lainnya. Ayolah, semua orang berhak untuk mengekspresikan rasa sayang pada seseorang. Iya kan? Entah itu dalam bentuk nyata, ataupun pada bentuk yang tersirat. Lagipula kedua hal itu apa bedanya?     

Jika pasang hati sudah mulai menanamkan hatinya pada seseorang, ia akan merasakan hal itu untuk seterusnya.     

Xena yang melihat ekspresi Orlin hanya bisa terkekeh kecil, ia kembali memasukkan potongan egg benedict yang sudah ia lumuri lelehan kuning telur, ah iya jangan lupa lembaran salmon segar sebagai penambah isiannya. Menu pagi yang cukup mengandung protein untuk menambah tenaga saat bekerja nanti.     

"Nanti juga saat sudah jadi suami istri, pasti kalian akan sarapan bersama." ucap Xena. Kini, entah kenapa ia selalu berpikiran positif yang jauh terdengar lebih dewasa. Ya memang terkadang saja otaknya ini benar, jika tidak pasti sudah melontarkan deretan kalimat yang konyol.     

Vrans hanya mendengarkan pembicaraan Xena dengan Orlin, begitu juga yang dilakukan dengan Erica. Baiklah, mereka seperti memiliki ciri khas serupa dan yang membedakannya hanya gender.     

Orlin menganggukkan kepalanya, lalu meraih segelas susu kedelai dingin yang ia pinta tadi pada Chef Aldo. Rasanya, rumah Vrans memang sebelas dua belas dengan super market. Buktinya, ia minta makanan apa saja ada disini dan tersedia begitu cepat. Sekali ucap dan seperti ada sihir ibu peri yang memunculkan segala keinginan.     

Patut disebut dengan rumah impian setiap orang karena tidak pernah kekurangan bahan makanan yang di butuhkan pada tubuh. Jika habis tinggal di buang dan beli lagi yang baru. Astaga, mudah sekali menjadi anak dari seorang Luis.     

"Kalau begitu, kuncinya adalah kesabaran." ucapnya sambil menaruh kembali gelas berisi susu yang sudah ia teguk guna melancarkan kembali saluran tenggorokannya yang terasa serat.     

"Iya, memang harus sabar sama laki-laki. Maaf ya bos, ini bukan di tunjukkan untuk kamu."     

Celetukan tersebut berasal dari dalam mulut Erica membuat Xena dan Orlin secara bersamaan menatap ke arah gadis yang masih menunjukkan wajah tenangnya. Seperti kalimat tadi bukanlah apa-apa bagi dirinya.     

"Kenapa memangnya Sean?" tanya Xena sambil menyipitkan matanya ke arah Erica. Ia masih menjadi orang yang pertama mengawasi hubungan sahabatnya itu dengan seorang pelaku kriminalitas. Tapi sepertinya perasaan itu semakin menipis kala mengingat Sean yang menyelamatkan nyawanya dengan sangat berbaik hati tanpa meminta imbalan sedikitpun.     

Erica menolehkan kepalanya saat mendengar Xena yang membawa-bawa nama Sean. "Apa? Laki-laki itu tidak kenapa-napa." ucapnya.     

"Tidak, maksud ku, tadi kamu bilang harus sabar dengan laki-laki yang artiannya berarti secara tersirat kamu mengatakan jika diri mu tengah bersabar dengan tingkah Sean. Iya kan, Xena?" ucap Orlin yang sudah menyaring dengan teliti ucapan Erica tadi, membentuk pengakuan besar sahabatnya yang masih saja meninggikan rasa ego. Tidak lupa juga di akhir perkataannya, ia meminta persetujuan dari Xena.     

"Iya, sepertinya Sean sulit di atur." ucap Xena menyetujui ucapan Orlin dengan tangan yang mulai membersihkan sudut bibir, ia sudah selesai dengan sarapannya pada pagi ini. Dengan cepat, ia kembali meneguk smoothies yang terasa sangat nikmat dan pas untuk di minum pagi-pagi.     

Erica terkekeh kecil, lalu melihat Xena yang sudah menyudahi sarapannya, ia ikut menaruh pisau dan garpu yang berada di tangannya lalu meraih selembar tissue yang berada di atas meja makan. Ia ikut menyudahi sarapannya. "Sudah ah untuk apa membahas laki-laki menyebalkan itu," ucapnya sambil beranjak dari duduknya dan meraih tas jinjing kantornya. Ia langsung saja melangkahkan kaki meninggalkan mereka untuk segera pergi ke luar rumah, bagaimana pun jam berjalan sangat cepat menyebabkan jalan raya yang mungkin sudah tidak terlalu ramai memudahkannya untuk sampai di Luis Company sebelum jam masuk.     

Melihat Erica yang sudah beranjak dari duduknya, Orlin segera menyusul gadis itu dengan gerakan yang heboh karena kalau tidak berangkat bersama, bisa-bisa ia menjadi nyamuk di antara Xena dan Vrans. Tidak, ini tidak boleh terjadi sama sekali. Yang ada nanti dirinya semakin terlihat 'ngenes' yang biasa diucapkan dalam bahasa gaul.     

Vrans yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya dengan singkat. Kedua sahabatnya gadisnya itu memiliki ciri khas yang berbeda-beda, pantas saja mereka tidak pernah bertengkar yang sudah pasti saling menghidupkan suasana antara satu dengan yang lainnya.     

"Yuk, sudah selesai kan?" tanyanya menoleh ke arah Xena yang memang sedari tadi duduk di sampingnya. Tingkah yang manis jika dibandingkan dengan tengah malam tadi membuat dirinya menghembuskan napas lega. Seperti ini lebih baik daripada gadisnya terpuruk sedih tiada kunjung untuk berhenti.     

Xena menoleh ka arah Vrans, dan kedua manik mara mereka bertemu satu sama lain. "Eh? Sudah kok bosayang." ucapnya sambil menampilkan senyuman yang sangat manis.     

Vrans m menganggukan kepalanya, lalu menatap Xena dengan sorot mata jahil. "Mau jalan sendiri ke depan, atau aku gendong?"     

Tunggu, Xena tampak menyaring inti dari ucapan kekasihnya sampai pada akhirnya...     

"TIDAK MAU, JANGAN MENGGODA DIRIKU!" pekiknya dengan suara sangat nyaring sampai terdengar ke setiap sudut ruangan yang berdekatan dengan ruang makan. Astaga, siapa yang suruh membuat dirinya malu seperti ini?     

Rasakan akibatnya.     

Dengan pipi yang kembali memerah, Xena segera beranjak dari duduknya. Tunggu, tenggorokannya merasa kering setelah berteriak tadi membuat dirinya menunda sebentar kakinya yang ingin melangkah meninggalkan Vrans di ruang makan, lalu tangannya beralih kembali mengambil gelas miliknya yang masih tersisah smoothies.     

Melihat itu, Vrans terkekeh kecil. Lalu ia langsung beranjak dari duduk dan menepuk-nepuk tuxedo-nya, dan meraih tas kantor yang biasa ia gunakan. "Kalau begitu, ayo berangkat." ucapnya sambil menepis perasaan jahil yang belum puas tersampaikan untum Xena.     

Mendengar itu, tentu saja Xena menganggukkan kepalanya. "Katakan sayang pada ku dulu," ucapnya dengan mengulum senyuman. Tak lupa tangannya menaruh kembali gelas ke atas meja.     

Mengerling jahil, kini waktunya pembalasan.     

"Kenapa? Apa aku harus setiap saat memanggil mu dengan sebutan sayang?"     

"Tentu saja, aku kan kekasihmu! Supaya semua orang tahu kalau seorang Xena bisa meluluhkan CEO dingin kebangetan ini."     

"Bilang saja ingin modus, iya kan?"     

"Jangan banyak protes, katakan saja ak--"     

"Ayo sayang ku kita berangkat kerja,"     

Pada detik selanjutnya, senyuman Xena mengembang dan bibirnya maju mengecup rahang tegas milik Vrans.     

"I love you, bosayang. I need you, don't leave me alone, again."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.