My Coldest CEO

Seratus dua puluh lima



Seratus dua puluh lima

0Entah kenapa, ia tiba-tiba merasa jika...     

Apa sebaiknya ia memilih untuk kembali bersama Hana dan membuang pertemanan yang terlihat seperti sampah dari sudut pandangnya ini? Ayolah, ia sudah berusaha untuk bersikap baik dan apa adanya. Tapi, apa hal itu tidak lah cukup?     

Kalau usahanya sia-sia, pasti secara tersirat takdir tidak mengizinkan dirinya untuk menginjak fase baru yang ia rasakan dalan hidupnya.     

Karena tidak di anggap keberadaannya, seketika membuat rasa terkesan lenyap seketika.     

"Kenapa? Kamu belum sarapan? Kok lemas?" tanya Orlin sambil menaikkan kedua alisnya sambil menatap ke arah Allea yang tampak tertunduk lesu ke arah laptop yang berada di hadapan dia.     

Allea yang mendengar pertanyaan singkat yang berbondong itu pun langsung kembali mengangkat wajahnya, ia menggelengkan kepalanya. "Belum, sebaiknya aku pergi ke toilet untuk mencuci muka." ucapnya sambil tersenyum kecil.     

Merasa jika kehadirannya mungkin hanya angan-angan di hubungan persahabatan mereka, apa ini pertanda jika dirinya harus keluar? Tapi jika bekerja dengan Hana, pasti berhubungan dengan mereka lagi karena kini target sasaran gadis pembunuh bayaran itu adalah Xena dan juga Erica.     

Apa dirinya nanti tidak di anggap teman makan teman? Heh, teman? Bahkan dirinya tidak terlihat di pandangan mereka. Berteman boleh, tapi bersahabatan tidak. Iya, mungkin itu yang benar. Ia juga ingin merasakan kesenangan bersama sahabat. Menghabiskan waktu malam bersama mereka seperti yang di ceritakan Orlin barusan pada dirinya.     

Orlin hanya ber oh ria, lalu menganggukkan kepalanya seolah-olah menyetujui ucapan Allea. Toh memang benar tiba-tiba saja gadis itu menunjukkan wajahnya yang pucat. "Iya, jangan lupa bawa tas mu untuk touch up wajah." ucapnya sambil memberikan saran. Tidak lupa, ia juga menunjukkan senyuman yang sangat manis.     

Melihat kebaikan yang masih di tampilkan oleh Orlin, ia cukup bernapas lega. Setidaknya, dari awal memang hanya gadis itu lah yang lebih akrab padanya jika di bandingkan dua orang gadis lainnya yang menjabat posisi tinggi sebagai kedua orang sekretaris andalan.     

Allea menganggukkan kepalanya, lalu menyambar tas jinjing sesuai dengan saran Orlin. Ia mulai beranjak dari duduknya, lalu segera melangkahkan kaki menuju ke pintu ruang kantor. Sebelum itu, ia kembali menolehkan kepalanya ke arah gadis yang kini ternyata sudah larut ke dalam layar laptopnya. Pertimbangan yang berat tadi malam, mungkin saja sudah terasa ringan saat ini. Memilih keputusan adalah sebuah tanggung jawab yang sangat besar, dan ia harus tahu konsekuensinya.     

Ia langsung saja membuka pintu ruang kerja, dan melangkahkan kakinya keluar. Bertepatan dengan itu, seorang doorman dengan sebelah tangan tang terkepal melayangkan tangannya ke arah pintu sambil menampilkan raut wajah yang terkejut karena belum sempat mengetuk pintu tapi yang empunya sudah berada di hadapannya.     

"Eh?" ucapan refleks tersebut keluar dari mulut Allea yang juga merasa terkejut dengan kehadiran sang doorman. Ia membaca name tag yang berada tepat di dada kanan laki-laki tersebut, Derrino Tanshon. Nama yang bagus dengan perawakan yang cukup tampan. Mungkin memang benar seseorang yang bekerja berhadapan dengan tamu sangat diperlukan dari segi fisik yang enak di pandang.     

Rino tersenyum ramah, lalu menyodorkan kunci mobil milik Allea yang tadi gadis itu suruh parkiran pada dirinya. "Di tempat biasa, Nona." ucapnya.     

Allea meraih kunci mobilnya, lalu di masukkan ke dalam tas yang kini bertengger di tangan kirinya. "Tempat biasa? Memangnya kamu tahu?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alis.     

Mendengar nada kebingungan dari Allea, justru hal itu membuat Rino terkekeh kecil. "Aku melihat parkiran mobilmu yang kemarin dari CCTV basement." jelasnya sambil membenarkan topi khusus seorang doorman yang berada di kepalanya, menutupi bentuk rambut yang mungkin saja akan terlihat jauh lebih tampan.     

Astaga... seniat itu?     

"Seharusnya parkir asal saja," ucap Allea yang cukup takjub dengan kinerja Rino. Kalau semua doorman seperti ini, ia benar-benar merasa beruntung. Karena biasanya para doorman akan memarkirkan mobil dengan asal, lalu tidak memberitahu dirinya lokasi mobil membuatnya harus muter-muter setiap sudut basement kalau rasa malas untuk menemui sang doorman tersebut karena terlanjur kesal melihat wajahnya.     

Tapi, doorman di Luis Company ini berbeda.     

Rino menggelengkan kepalanya. "Tidak, supaya Nona nyaman dan mudah mencari letaknya. Dan ah iya, ku pikir diriku harus segera kembali bekerja. Sampai jumpa," ucap Rina sambil membungkukkan tubuhnya dengan sopan. Setelah melihat kepala mengangguk yang di gerakkan Allea untuk merespon ucapannya, ia langsung saja pamit undur diri menjauh dari gadis yang kini tengah menatapnya sampai hilang di balik pintu lift.     

Allea yang melihat itu pun langsung saja melangkahkan kakinya ke tujuan awal. Tidak, ia tidak ingin pergi ke toilet. Langkah demi langkah, dan akhirnya sampai tepat di depan pintu ruang kerja milik Xena dan Erica. Ia hanya ingin memastikan jika dirinya mungkin saja masih berhak berada di antara mereka. Ya mungkin saja mereka tidak mengundang dirinya karena tidak tahu perumahan Vrans. Tapi hei, siapa yang tidak mengetahui rumah dari seorang Luis itu? Baiklah, daripada menerka-nerka lebih jauh yang tidak berujung, lebih baik ia langsung saja mengetuk pintunya terlebih dahulu.     

Tok     

Tok     

Tok     

"Masuk," suara Erica dari dalam langsung saja menyapa ke indra pendengarannya.     

Allea langsung saja membuka pintu tersebut dan langsung menutupnya kembali ketika kakinya sudah berhasil di pijak pada lantai di dalam ruang kerja sang sekretaris. Terlihat Erica yang masih fokus melempar tatapannya secara bergantian ke arah laptop dan juga berkas di tangannya. Tapi, Xena tidak berada disini.     

Kemana gadis itu? Kenapa hari ini banyak sekali orang-orang yang tidak terlihat oleh matanya?     

Ia langsung saja melangkahkan kakinya menuju ke arah sofa yang berada di ruangan ini, lalu menatap ke arah Erica lagi. "Hai, Erica. Apa kamu punya waktu luang untukku?" ucapnya dengan nada yang sedikit takut karena sudah mengganggu pekerjaan gadis yang terlihat sangat gila kerja itu.     

Mendengar suara Allea tentu saja langsung membuat Erica mengalihkan pandangannya dari segala pekerjaan yang ia miliki. "Eh? Ada perlu apa?" ucapnya malah bertanya balik pada gadis yang sudah duduk manis di sofa. Pandangannya menyorot ke arah jas formal yang di pakai Allea. "Tentang jas yang kamu pakai? Tidak masalah kok, lagipula Tuan tidak ak--"     

"Sebenarnya aku siapa sih?" tanya Allea memotong ucapan Erica yang justru membahas jas kerjanya.     

Erica yang bingung dengan kehadiran Allea yang tiba-tiba, di tambah lagi pertanyaan tidak jelas itu. Ya kombinasi yang sangat tepat untuk merasakan kebingungan luar biasa. "Kamu Allea lah, amnesia mendadak?" ucapnya sambil beranjak dari duduknya. Ia melangkahkan kaki, mengarah ke sofa tempat gadis itu duduk dan langsung saja mendaratkan bokongnya disana.     

"Bukan itu, maksudku... kamu menganggap ku apa?" ucap Allea sambil memusatkan perhatiannya pada Erica yang kini sudah duduk di sampingnya. Ia adalah gadis yang tidak pernah bisa untuk menyembunyikan kegelisahan, pasti harus di ucapkan pada orang yang membuatnya seperti ini.     

Erica menaikkan sebelah alisnya, "Seperti Allea yang bekerja menjadi staff baru." ucapnya sambil menaikkan pundaknya karena ia tidak memiliki alasan lain yang mendukung dirinya untuk mendeskripsikan lebih dari itu.     

Dan ya, tidak perlu di katakan seberapa kecewanya ia di pandang seperti itu. "Ku pikir kita bisa bersahabatan," ucapnya sambil menyunggingkan sebuah senyum tipis.     

Erica menaikkan sebelah alisnya, lalu dengan pikiran yang selalu nyambung dengan berbagai situasi, ia mulai merutuki Orlin yang sudah pasti cerita-cerita hal yang mereka lakukan tadi malam. "Dengar ya Allea," ucapnya sambil membenarkan posisi supaya lebih mudah untuk menatap ke Allea yang berada di sampingnya ini. "Persahabatan itu butuh waktu supaya dari pertemanan biasa saja, bisa mengubah status teman menjadi sahabat di otak. Itu terjadi murni karena faktor kebiasaan. Jadi, untuk hal ini kamu bukanlah siapa-siapa."     

Oke, pembicaraan ini mulai sensitif terdengar di telinga Allea.     

"Jadi, beberapa hari ini pendekatan ku tidak berhasil?" tanyanya dengan lesu.     

Erica menggeleng kecil, "Bukan tidak berhasil, tapi belum terbiasa hadir di antara kita." ucapnya membenarkan kalimat yang penuh dengan nada kecewa itu.     

Ia sebenarnya tidak ingin mengatakan hal ini, yang bisa saja membuat rencana 'pendekatan' pada Allea menjadi sia-sia dan tidak mendapatkan hasil apapun untuk mendapatkan informasi tentang Hana. Lagipula robot pengintai kecilnya itu tengah beristirahat karena sudah hampir 3 hari mengintai gadis ini tiada henti.     

Allea yang baru mengerti itu pun hanya menganggukkan kepalanya. Mungkin dirinya memang pribadi yang terlalu perasa, membuat segala perasaan tidak enak harus segera tersalurkan supaya mendapatkan jawaban atas pemikirannya yang kian negatif.     

"Kalau begitu, apa ada kesempatan?" tanya Allea dengan sorot mata yang berbinar, ia menatap penuh harap ke Erica. Astaga, sebenarnya ia adalah gadis lugu yang kebetulan memiliki kemampuan hebat sampai dulu bisa membantu segala tindak kriminalitas yang dilakukan oleh Hana. Selebihnya, ia adakah gadis yang tidak pernah paham dengan pertemanan. Jadi, sekali ia merasakan membuat dirinya semakin penasaran.     

Erica menganggukan kepalanya, lalu memberikan Allea senyuman kecil. Bagaimana pun, ia harus membuat gadis ini kembali mempercayai adanya dirinya. "Kenapa tidak?" tanyanya.     

"Dan apa aku boleh memeluk mu?" Allea rasanya ingin memekik bahagia dan ingin menyalurkannya supaya Erica bisa merasakan apa yang ia rasakan.     

"Terdengar menjijikkan, Allea." ucap Erica sambil mengernyitkan dahi, menatap sedikit aneh ke arah Allea. Jika Xena memeluk dirinya, itu tanpa aba-aba dan persetujuan sedikitpun. Jadi, ingin menolak pun percuma toh sudah terjadi. Tapi jika ada yang bertanya seperti itu, rasanya sangat... ah bahkan ia tidak bisa mendeskripsikan apa yang dirinya rasakan saat ini.     

Allea menekuk senyumnya, "Ayolah Erica, sekali saja." ucapnya sambil mengguncang lengan Erica dengan pelan.     

Daripada hal ini berlanjut lebih lama, sebaiknya Erica segera menuruti apa kemauan gadis ini. "Hm, iya." ucapnya yang menyetujui permintaan konyol Allea. Astaga...     

Allea langsung saja memeluk tubuh Erica. "Terimakasih ya, Erica." gumamnya.     

Pada saat itu juga, Erica terasa sedang membuat kesalahan saat mendengar ucapan terimakasih yang tulus itu. Ia mengerjapkan matanya untuk mengembalikan kesadaran.     

1     

2     

3     

4     

5     

"Selesai," ucap Erica sambil melepaskan pelukan Allea. Ia beranjak dari duduknya, lalu menurunkan pandangannya pada Allea. "Sebaiknya kamu kembali bekerja " ucapnya sambil melangkahkan kakinya kembali ke meja kerja.     

Allea yang melihat itu hanya mengulas senyuman, lalu beranjak dari duduknya. "Kalau begitu, sampai jumpa Erica." ucapnya sambil mengarahkan kaki untuk keluar dari ruang kerja.     

Kini, perasaan Allea sudah tenang.     

Sedangkan Erica, justru kini kegundahan tengah bersarang di hatinya. Entah bagaimana, ia berpikir jika Allea mungkin saja bagian dari Hana, tapi tidak dapat di pungkiri jika perilaku mereka sangat beda jauh seperti langit dan bumi.     

"Lebih baik bekerja daripada memikirkan hal yang tidak penting ini,"     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.