My Coldest CEO

Seratus dua puluh sembilan



Seratus dua puluh sembilan

0"Tidak mungkin, target utamanya adalah Xena. Jadi, bisa saja Erica hanya pancingan untukmu." balas D. Krack sambil menunjukkan sorot mata kalau dirinya kini tengah bersungguh-sungguh untuk menjamin keselamatan Erica.     

Bagus, Sean tidak berpikir sampai kesana.     

Benar dengan apa yang di ucapkan oleh D. Krack, ia menampilkan smirk lalu mengusapkan telapak tangannya yang satu dengan yang lainnya secara bersamaan. "Kalau begitu, aku setuju." ucapnya sambil mengerling jahat.     

Memangnya siapa yang mudah terjebak di dalam sebuah permainan? Ingat kan kalau dirinya adalah pembuat permainan terbaik dan memiliki kemampuan luar biasa yang dapat mengubah gedung tua menjadi ruangan bercabang. Nanti, bukan dirinya lah yang masuk ke dalam permainan, tapi ia lah yang beralih memegang kendali.     

Tidak ada yang pernah bisa lolos dari permainannya, kecuali Hana. Bahkan pihak kepolisian pun tidak dapat memecahkannya. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk membuat gedung tua itu menjadi gedung dengan sistem kerja yang canggih. Butuh perhitungan, namun juga butuh otak supaya tidak asal-asalan dalam masa pengerjaannya.     

"Kau tampak begitu yakin," ucap D. Krack sambil merenggangkan kedua otot tangannya yang terasa pegal karena tadi malam ia berhasil membantu Sean untuk membunuh salah satu kolega besar yang 'nakal'. Dan ya tidak dapat dipungkiri lagi, ternyata menjadi seorang pembunuh bayaran memerlukan tenaga yang besar, kalau tidak pasti sudah lengah di tengah jalan. Tapi, hal ini membuat dirinya menjadi laki-laki berpengalaman yang sudah mencoba segala jenis kejahatan di dunia.     

D. Krack menjadi seorang kriminal yang tidak pernah memiliki tujuan yang jelas. Terkadang menjadi save criminals, arms smugglers, deadly rider, black market members, dan kini ia terasa seperti menjadi seorang assassin's assistant. Iya, memang hidupnya terlalu banyak percobaan yang mempertaruhkan nyawanya sendiri.     

Sean pun terkekeh kecil, "Aku yang lebih mengenal Hana sejak kecil sampai detik ini, dan aku paham setiap langkah kerja yang dia ambil." ucapnya dengan tangan yang merogoh saku celana, mengambil pematik beserta rokok. Candu penenang yang sangat mujarab.     

Melihat hal itu, tentu saja D. Krack ikut menyambar kotak rokok milik Sean lalu bergantian memakai pematik. Kepulan asap rokok mulai menyapa masuk ke dalam masing-masing indra penciuman mereka. "Kalau begitu, kenapa tadi cemas?" tanyanya dengan sebelah alis yang terangkat. Ia terkadang bingung dengan jalan pikir laki-laki yang kini sudah sibuk menyesap putung rokoknya itu, berada tepat di seberang tempat duduknya.     

Kalau Sean mampu mengalahkan kinerja Hana yang tidak terlalu pintar mengelola otak yang ber-IQ tinggi itu, kenapa rasa cemas masih suka menghampiri jalan pikir laki-laki itu yang terkadang membawanya ke rasa cemas berlebihan?     

Mungkin penyakit gangguan panik bersarang di tubuh Sean, yang biasanya akan menimbulkan rasa cemas berlebihan secara berulang-ulang kali.     

"Tidak tahu, hanya gangguan yang suka sekali aku alami." jawab Sean sambil mengepulkan asap rokok ke udara. Menyesapnya dengan pelan, lalu menghembuskannya dengan tenang. Astaga, kenapa rokok menjadi pelarian yang tepat untuk mengusir rasa beban di hidup?     

"Sepertinya kamu sakit." ucap D. Krack sambil menggelengkan kepalanya merasa prihatin dengan kondisi Sean. Padahal wajahnya rupawan, tapi memiliki gangguan psikis seperti layaknya seorang psikopat yang haus akan darah. Walaupun hanya datang saat melaksanakan aksi pembunuhan saja, tapi ya tetap Sean adalah pembunuh bayaran paling sadis yang pernah ada.     

Tidak, tidak ada aksi yang sampai parah menyangkut organ-organ tubuh manusia. Tapi jika Sean mau, ia menyiksa sang target dengan cara membuat ukiran manis di wajah targetnya. Ia masih memiliki cukup hati untuk tidak mengambil organ manusia dan menjualnya pada pasar gelap.     

Sean mengepulkan asap rokok ke udara untuk yang kesekian kalinya, lalu terkekeh atas apa yang di ucapkan D. Krack untuk dirinya. "Sakit? Iya, aku sakit karena Erica." ucapnya sambil merasakan jika ada candu yang lebih dahsyat daripada rokok, yaitu bibir manis Erica. Baiklah Sean... jangan melayangkan pikiran mu pada gadis sekretaris itu, karena kini D. Krack tengah menatap aneh ke arah mu yang sedang menampilkan sebuah senyuman manis, terlewat manis.     

D. Krack hanya menggelengkan kepala. Melihat Sean yang dimabuk asmara membuat dirinya paham kalau cinta bukanlah hal yang paling utama di dunia ini. "Kalau begitu, lebih baik sekarang kita kembali ke rumah mu." ucapnya mengatakan sebuah saran supaya Sean tidak terlihat konyol dan bodoh itu.     

Mengangguk setuju atas apa yang diucapkan oleh D. Krack, Sean mulai beranjak dari duduknya dan mengambil shotgun yang tadi ia letakkan bersandar pada dinding markas dengan cat yang sudah mulai memudar itu. Sengaja bangunan ini tidak di renovasi, membuat banyak orang beranggapan jika bangunan ini memang lah gedung kosong. Bahkan terkadang pihak kepolisian berpatroli setiap sebulan sekali dan melewati gedung ini, tapi tidak ada satu polisi pun yang berpikiran jika ini adalah markas para penjahat kriminal.     

Mereka dengan pintar membuat ruangan lain yang jauh lebih besar di dalam tanah, pintu akses untuk masuknya juga tersamar oleh pijakan lantai yang ditutupi karpet berbulu tua berwarna coklat. Markas atas hanya berisikan barang-barang tua yang memang sudah dari awal tersedia disini. Jadi, jikapun ada seseorang yang masuk ke dalam sini, tidak akan pernah menemukan apapun yang mencurigakan. Apalagi kalau pagi hari seperti ini memang semuanya berkumpul di markas atas, tapi setelah lewat dari jam sepuluh pagi sampai larut malam mereka akan bekerja di markas bawah tanah. Cukup sederhana, tapi sebenarnya hanya kepintaran otak yang selalu di andalkan.     

"Setuju." ucap Sean. Ia berjalan kembali memasuki bangunan tua ini, diikuti oleh D. Krack yang berada di belakangnya. Ia menatap beberapa orang yang masih sibuk bersantai dengan masing-masing kegiatan. Ada yang tengah memainkan catur, sarapan sambil bermain ponsel, bahkan ada juga yang masih tertidur di atas sofa yang sudah tidak lagi empuk dan lembut seperti baru. Maklum jika ini adalah barang-barang tua.     

"Yo, bro." suara bariton milik D. Krack itu memenuhi setiap sudut ruangan membuat semua pasang mata yang tengah sibuk dengan aktivitas mereka menjadi teralihkan.     

"Thank you for giving us a place to rest, we want to get back on the road." ucap Sean sambil menunjukkan ekspresi datar yang mengambil alih atmosfer ruangan menjadi ketegangan. Bahkan, ia tidak memberitahukan kemana dirinya akan keluar. Ia hanya menyebutkan 'jalan' untuk berpamitan dari bangunan tua ini. Bagaimana pun juga, rumahnya bukanlah akses umum yang dapat di ketahui semua orang teman kriminalnya.     

(*Terima kasih telah memberi kami tempat untuk beristirahat, kami ingin kembali ke jalan.)     

D. Krack menganggukkan kepalanya menyetujui apa yang diucapkan oleh Sean. Mereka semua menganggukkan kepalanya.     

"You're welcome, whenever you need us, we are here." ucap salah satu dari mereka sebagai perwakilan untuk menjawab ucapan Sean yang terlontar tadi.     

(*Sama-sama, kapan pun kamu membutuhkan kami, kami ada di sini.)     

Sean dan D. Krack sama-sama menganggukkan kepalanya. Lalu Sean berjalan ke arah mobilnya yang sudah ditutupi dengan kain berwarna coklat untuk berjaga-jaga saja bila ada orang yang masuk ke dalam markas karena tidak memungkinkan untuk parkir di depan halaman markas.     

"Sepertinya ada yang ingin melakukan misi berbahaya,"     

Sean dan D. Krack menoleh ke sumber suara. Di sana terlihat seorang laki-laki yang sudah berdiri di dekat mereka.     

"Eh? Emile." sapa Sean dengan wajah yang sedikit terkejut. Laki-laki bernama Emile itu adalah penjahat yang sangat menyukai jeruji besi. Melakukan aksi kejahatan, tertangkap FBI, dan di jebloskan ke dalam penjara. Tanpa bersusah payah untuk repot-repot keluar dari penjara, Emile lebih memilih untuk tetap di penjara. Sangat konyol memang, tapi itu lah kenyataannya.     

Dan sudah sejak 3 tahun yang lalu, dikabarkan Emile tertangkap pihak FBI karena berhasil membobol bank besar yang ada di USA. Bahkan laki-laki ini berhasil meretas sistem keamanannya.     

Emile menyunggingkan sebuah senyuman, lalu mengajak Sean untuk ber high five begitu juga pada D. Krack.     

"Tumben tiga tahun doang," ucap D. Krack sambil terkekeh kecil begitu sapaan seorang laki-laki --high five-- terlaksana padanya.     

Emile menganggukkan kepalanya, pertanda ia membenarkan ucapan D. Krack. "Penjaranya terlalu membosankan bagi ku, tidak ada sistem penyiksaan mental, payah." ucapnya sambil tertawa remeh. Pasalnya, ia sangat menyukai penjara karena dirinya bisa di siksa dengan senang hati. Ya entah kenapa dia senang ketika ada orang lain yang menyiksa dirinya, bahkan ketika sedang sendirian pun ia sangat suka menyakiti diri sendiri dengan peralatan yang berada di sekitarnya.     

Mengidap penyakit self-injury adalah hal yang paling ia syukuri keberadaannya. Bahkan terkadang ia memanjat puji syukur pada Tuhan yang memberikan dirinya kelebihan seperti ini.     

//Fyi; Self-injury adalah perilaku menyakiti dan melukai diri sendiri yang dilakukan secara sengaja. Ini merupakan salah satu bentuk dari gangguan perilaku yang terkait dengan sejumlah penyakit kejiwaan.//     

"Dan bagaimana cara mu lolos?" tanya Sean dengan penasaran. Pasti Emile tidak akan melakukan hal yang terlalu membuang-buang tenaga hanya untuk keluar dari penjara. Pasti laki-laki itu akan melakukan sesuatu yang perlahan tapi pasti kejelasannya.     

Emile mengeluarkan tangannya yang sedaritadi masih berada di dalam saku celana. "Mudah saja, aku menyisihkan air minum untuk di siram pada besi jeruji pada jendela penjara ku." ucapnya dengan tenang.     

3 tahun lamanya dan keluar dari penjara dengan cara sederhana adalah hal yang perlu di berikan 2 ibu jari, karena hal ini benar-benar keren!     

Teringat dengan ucapan Emile yang sebelumnya, Sean pun terkekeh kecil. "Misi berbahaya? Apa maksud mu?" tanyanya yang memilih untuk berpura-pura tidak tahu menahu.     

D. Krack menyambar kunci mobil yang berada di tangan Sean. Ia memilih untuk menjadi sang pengemudi dan masuk ke dalam mobil, membiarkan kedua laki-laki yang memang cukup akrab berbincang satu sama lain.     

"Jangan berpura-pura, Hana kan?" tanya Emile tanpa perlu basa basi lebih jauh lagi.     

Kenapa semua orang berpikiran hal yang sama jika Hana masih hidup? Gadis itu memang mengambil alih pikiran semua orang kalau dia benar-benar seorang pembunuh bayaran yang tidak tersentuh.     

Sean akhirnya menganggukan kepala, "Tentu aku selalu punya misi untuk menewaskan kakak ku itu."     

"Benci sekali," ucap Emile sambil terkekeh. Ia masih paham dengan obsesi Sean yang ingin sekali menghabisi Hana dengan kedua tangannya. Sayang sekali saat laki-laki itu berhasil, ternyata kakaknya itu bangkit dari kematian.     

Sean hanya terkekeh, lalu menepuk pundak Emile dengan pelan. "Aku pamit dulu ya."     

Begitu melihat Emile menganggukkan kepalanya, Sean langsung masuk ke dalam mobil di samping kursi pengemudi yang telah di tempati D. Krack.     

"Pasti membahas Hana," tebak D. Krack yang mulai menyalakan mesin mobil.     

Sean hanya terkekeh. "Biasa, penggemar kakak ku." ucapnya dengan tenang sambil memasang seatbelt ke tubuhnya.     

D. Krack mendengus kecil. Ia tidak suka dengan sebutan 'penggemar' yang lebih cocok dibelokkan menjadi 'haters'. "Bagaimana pun, semua orang juga tetap mendukung diri mu."     

"Ya itu tidak penting, banyak manusia bermuka dua di bumi ini. Tidak perlu terlalu percaya dengan dukungan orang-orang." Lagi dan lagi, Sean mengucapkan hal ini dengan sangat tenang. Toh dukung tidak dukung, hidupnya terasa sama saja.     

D. krack selalu suka dengan pemikiran Sean yang simpel dan tidak banyak tuntut ini itu. "All right then, destroy the highway again."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.