My Coldest CEO

Seratus tiga puluh



Seratus tiga puluh

001:00 PM     

Waktu makan siang di Luis Company dengan mengikuti jam makan siang ideal sudah berbunyi. Dengan beraturan, banyak karyawan yang mulai menghamburkan diri untuk pergi ke kantin atau berbelok ke arah toilet. Bahkan ada pula yang enggan meninggalkan ruang kerja mereka karena membawa bekal untuk makan siang dari rumah, atau pekerjaan yang menumpuk belum selesai untuk di kerjakan.     

Dan kini, disinilah Erica yang masih berdiam diri di depan layar laptop. Tadi Orlin, Xena, dan Allea mengajak dirinya untuk pergi makan siang di luar kantor. Katanya sih bosan memesan makanan cepat saji yang variasinya hanya itu-itu saja. Dan dengan mudahnya untuk mendapatkan izin dari Vrans, seorang Xena langsung saja menawarkan untuk makan di salah satu restoran terkenal di New York. Ah iya, gadis itu memang selalu mendapatkan segala akses di kehidupan sang bos dengan sangat lah mudah.     

Alasannya satu, Erica belum menyelesaikan tumpukan dokumen yang berada di atas mejanya. Tidak terlalu banyak sih, tapi mampu membuat dirinya harus mengeluarkan banyak titik fokus untuk segera menyelesaikan pekerjaannya.     

Si gila kerja, itu lah sebutan yang selama ini berhasil menyandang kepribadian Erica.     

Dengan hembusan napas yang perlahan di lepaskan, gadis itu langsung merenggangkan kedua jemari tangannya yang langsung saja berbunyi 'krek' pertanda mungkin dirinya memang harus beristirahat sejenak.     

Dengan tangan yang mulai menggenggam ponsel, ia melihat beberapa deret notifikasi pesan yang terlihat jelas di layar atas ponsel. Nama Sean adalah penyemangat yang diam-diam membangkitkan rasa hangat di dalam hatinya.     

"Laki-laki menyebalkan," gumamnya sambil terkekeh kecil. Ia membaca berbagai macam pesan yang diluncurkan Sean untuk dirinya. Dari mulai kalimat semangat dengan emoticon love merah sampai perhatian kecil seperti jangan sampai telat makan siang.     

Belum sempat untuk membalas satu per satu pesan tersebut, dering ponselnya berbunyi dan ya tidak perlu di tebak siapa yang menghubungi dirinya saat ini.     

Nama Sean lagi-lagi terlihat jelas di layar ponselnya. Ia beranjak dari duduknya dan mendaratkan bokong tepat di sofa untuk melepas high heels yang berada di telapak kaki, lalu meluruskannya di sofa panjang yang ia tempati.     

Lalu menggeser tombol hijau.     

Terlihat panggilan vidio yang menampakkan wajah Sean pada layar ponselnya, tertawa lebar seperti belum bertemu dengan dirinya setelah sekian lama. Bahkan baru beberapa jam saja mereka tidak bertemu tapi laki-laki itu sudah bertindak konyol seperti ini.     

"Apa?" tanya Erica dengan nada datar. Ia selalu hebat dalam menyembunyikan perasaan yang membuat hatinya berdebar, seperti ada ribuan kupu-kupu yang bersarang di hatinya. Menari-nari membuat dentuman lagu romansa, hal ini hanya bisa di dengar pada khayal yang terputar tepat di pikirannya.     

Sean di seberang sana menunjukkan ekspresi yang imut, tapi di sisi hati lain Erica ekspresi laki-laki itu saat ini terlihat sangat menyebalkan. Bayangkan saja, bibir mengerucut untuk wajah sangar seperti Sean bukanlah hal yang pantas. "Kangen..." gumamnya dengan nada pelan. Ia sudah tidak malu lagi untuk mengatakan segala perasaan yang bersarang di hati. Dari kemarin ia sudah melakukan segala aktivitas untuk menghalau perasaan akibat dari dimabuk asmara ini, dan mungkin kini saatnya untuk mengungkapkan segalanya.     

Erica mengulum sebuah senyuman, namun ia masih mempertahankan wajah datarnya yang terlihat sangat kaku. Ia menaikkan sebelah alisnya, lalu menidurkan diri di sofa dengan kepala yang di letakkan pada tangan sofa. "Sepertinya otak mu tengah mengalami masalah, masa iya pembunuh bayaran memiliki rasa kangen?" tanyanya sambil memancing Sean supaya mengutarakan ucapan manis yang tentu saja menambah dentuman musik di hatinya. Ia hanya ingin tahu, apa laki-laki itu serius kepada dirinya? Atau hanya main-main saja?     

Sean di seberang sana terkekeh kecil mendengar ucapan Erica. Sebenarnya, ia juga tidak tahu kenapa dirinya bersikap seperti ini. Yang notabenenya bukanlah sifat yang biasa berada di tubuhnya. Jika diingat-ingat apa yang ia katakan tadi kepada gadisnya, dirinya juga merasa jijik disertai dengan rasa malu. Astaga, kenapa efek cinta seperti ini?     

"Memangnya kenapa? Tidak boleh? Aku hanya kangen menjahili dirimu," ucap Sean di seberang sana sambil menaik turunkan alisnya.     

Erica yang mendengar hal itu langsung saja memutar kedua bola matanya. Tuh kan, pasti ada udang di balik batu. Tidak mungkin seorang Sean benar-benar kangen kepadanya. Hal itu sangatlah tidak masuk akan dan mustahil mengingat seorang Sean yang kesehariannya hanya bisa menggoda dirinya saja. "Seharusnya aku tidak percaya dengan mu," gumamnya. Nada kecewa yang sedikit terdengar pada kalimat yang sebelumnya ia ucapkan itu membuat dirinya langsung memasang dinding pertahanan kembali supaya tidak merasakan harapan yang musnah. Ia tidak ingin menaruh hati pada laki-laki yang hanya bisa memainkan hatinya saja.     

"Eh?" ucap Sean di seberang sana.     

Erica mengerjapkan kedua bola matanya, lalu menghembuskan napas dengan sangat teramat perlahan. "Terus, apa tujuan mu menelepon diri ku?" tanyanya dengan segudang penasaran. Kalau kalimat 'kangen' tadi hanyalah omong kosong semata, pasti ada alasan lain laki-laki itu menelpon dirinya. Atau lagi-lagi hanya untuk sekedar menjahilinya saja?     

Baiklah, Sean benar-benar menyebalkan.     

Di seberang sana, Sean tampak menyibakkan rambutnya ke belakang. Berharap hal itu adalah hal terkeren yang ia lakukan. Iya, memang sangat keren, bahkan ingin munafik pun Erica tidak bisa! "Aku hanya ingin memastikan keadaan mu," ucapnya yang sudah mengembalikan ekspresi wajahnya menjadi ekspresi yang biasa ia tunjukkan.     

Erica menaikkan sebelah alisnya, merasa bingung dengan ucapan Sean yang terasa berbelit-belit. Kebiasaan laki-laki itu memang selalu seperti ini, membawa topik pembicaraan yang sulit untuk dipahami supaya perbincangan mereka terasa lebih lama. Taktik klasik yang masih berlaku sampai detik ini. "Maksud mu? Aku merasa baik," ucapnya sambil menurunkan rok yang kini terlihat sedikit tersingkap karena dirinya tengah tiduran tepat di atas sofa.     

Iya, untuk kali ini ia memakai rok. Karena ia ternyata lupa membawa celana kerja favoritnya, dan mengharuskan untuk meminjam milik Xena. Sedikit risih karena tidak terbiasa, dan ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk mengganti bawahannya ini dengan celana hitam yang ia simpan di laci meja kerjanya. Masih baru dan berbau harum, hanya untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu pada celananya. Dan akhirnya hari ini berguna. Nanti ia akan menggantikan setelah selesai berbincang tidak jelas dengan Sean ini.     

"Hana menjadikan mu target, dan aku tidak akan membiarkan diri mu kenapa-napa." ucap Sean di seberang sana. Raut wajahnya menegang, menunjuk ekspresi yang membuat dirinya terlihat serius dan membuktikan perkataannya yang sangat bersungguh-sungguh.     

Erica yang mendengar itu pun langsung saja tersenyum miring. Tidak memiliki urusan, tapi terkena imbas. Hal itu sudah sangat biasa bagi dirinya. Hana belum pernah bermain dengan Erica, iya kan? Baiklah, mungkin ini adalah kesempatan untuk membuktikannya. "Biarkan saja," ucapnya dengan nada acuh. Memangnya siapa yang takut dengan Hana? Tidak, ia tidak takut sama sekali. Kalaupun karena hal ini nanti nyawanya terenggut, gadis itu tidak pantas untuk di salahkan. Karena mungkin saja sudah takdir jika dirinya harus pergi meninggalkan dunia.     

Sean menaikkan sebelah alisnya dan menghembuskan napas kasar. "Kenapa tidak khawatir dengan keselamatan diri mu sendiri? Bahkan kini aku sangat khawatir, Erica. Apa kamu tidak mengerti?" tanyanya dengan nada kesal.     

Baiklah, sedikit sensitif dengan keselamatan Erica membuat Sean khawatir. Lagi-lagi gangguan penyakit yang dialaminya muncul seketika tanpa disadari sedikit pun.     

Erica menatap Sean dengan datar, "Memangnya siapa kamu? Dan siapa aku di hidupmu?" tanyanya.     

Skakmat.     

Bagai petir yang menyambar pepohonan di siang hari, mulut Sean terbungkam begitu Erica meluncurkan pertanyaan itu.     

Sedangkan Erica, kini ia menelan salivanya dengan kasar. Jangan jatuh pada lubang perjanjian yang telah dirinya buat, dan jangan pernah menaruh harapan pada seorang laki-laki. Terlebih lagi jika laki-laki itu memiliki sifat seperti Sean. Jangankan berharap, terkadang menyajikan kenyataan yang sedikit menyesakkan.     

"Ya kamu adalah kekasih ku," ucap Sean di seberang sana dengan nada yang terdengar gugup. Tangan kanannya mulai meraih tengkuknya, dan langsung menggaruk bagian asal yang sama sekali tidak gatal.     

Erica memutar kedua bola matanya, lagi dan lagi. "Bukan siapa-siapa, iya kan? Jadi, berhenti cemas." ucapnya yang kini sudah kembali memposisikan tubuhnya untuk duduk di atas sofa, tidak tiduran. Ia merasa kupu-kupu yang tadi berada di rongga dadanya sudah beterbangan menjauh dan menghancurkan pesta meriah di dalam hatinya, berganti menjadi hawa hitam yang menyakitkan.     

Jangan terjatuh pada sebuah harapan...     

"Kalau begitu, nanti ada waktu yang tepat untum mengungkap segalanya." ucap Sean di seberang sana. Kini, nada gugup yang sempat terdengar pada ucapan sebelumnya laki-laki itu sudah sirna. Berganti menjadi nada tegas dengan kilatan mata yang tajam, ia memberikan sorot mata terbaik untuk membuktikan jika ucapannya kini tidak lah main-main.     

Erica terkekeh kecil, ia berusaha untuk tidak mempermasalahkan hal ini. Lagipula, semakin tahu kenyataan, semakin pahit. "Santai saja, lagipula aku hanya bercanda, Sean" ucapnya sambil mengubah raut wajah menjadi lebih tenang daripada sebelumnya. Ia bahkan sempat menunjukkan senyuman kecil untuk laki-laki si seberang sana.     

Sean yang melihat itu pun langsung mengerjapkan kedua bola matanya. "Eh? Bergantian untuk menjahili diriku?" tanyanya sambil menyertakan kekehan geli. Sial, dia adalah laki-laki yang paling tidak peka sedunia.     

"Iya lah, jika kamu bisa kenapa aku tidak?" ucap Erica sambil menaik turunkan alisnya seperti apa yang sering dilakukan Sean kepada dirinya.     

Sean di seberang sana memasang wajah sebal, "Aku merajuk dan kamu harus membujukku." ucapnya dengan nada yang terbilang menyebalkan. Dilembutkan, namun ada sedikit nada kesal.     

Erica yang mendengar itu pun langsung saja mengangkat bahunya seolah-olah tidak ingin melakukan hal itu. "Males banget, lebih baik minta D. Krack saja untuk melakukan hal itu."     

"Ih, tidak mau! Aku hanya ingin kamu yang merajuk ku." sargah Sean di seberang sana.     

"Dasar aneh," ucap Erica, merasakan sifat menyebalkan Sean yang berkali-kali lipat terlihat sangatlah menyebalkan.     

"Cepat, Erica." ucap Sean di seberang sana dengan tidak sabaran. Ia kan ingin mendapatkan kesempatan dalam kesempitan, seperti apa yang biasa ia lakukan jika gadis itu berada di dekatnya.     

Erica yang mendengar reaksi 'merajuk' yang akan dilakukan oleh Sean pun akhirnya menghembuskan napas dengan perlahan.     

Sabar, Erica...     

"Apa mau mu?" tanyanya sambil menatap laki-laki di seberang telepon yang kini tengah mengulum sebuah senyuman.     

Tuh kan modus! Seharusnya ia tidak perlu menuruti apa keinginan Sean toh sudah dapat di tebak dari senyuman yang tersembunyi itu jika laki-laki ini akan melakukan hal aneh lainnya.     

Dengan mata yang mengerling jahil, Sean di seberang sana menatap Erica dengan intens. "Cium dan berikan aku lumatan yang lembut," ucapnya dengan suara rendah. Ia berusaha untuk menggoda Erica dengan kalimat-kalimat yang mungkin saja tidak pernah di dapatkan oleh gadis itu. Karena menurut kejelasan masa lalu yang di selidiki dirinya, Erica sama sekali tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Dan baru dirinya seorang yang sedekat ini dan berani mengatakan hal ini.     

Pada detik selanjutnya setelah kalimat yang vulgar --menurut Erica-- masuk ke dalam telinganya...     

"DASAR SEAN MESUM, ASSASSIN ANEH!"     

Beruntung, ruang kerjanya kedap suara.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.