My Coldest CEO

Seratus tiga puluh satu



Seratus tiga puluh satu

0Vrans menatap lekat seseorang yang kini sedang melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang kerjanya. Postur tubuh yang ramping membuat dirinya sudah pasti langsung menebak jika orang itu adalah seorang gadis.     

Tanpa mengetuk pintu, wajah di tutupi dengan kacamata hitam yang membingkai kedua matanya. Ia menajamkan matanya sekali lagi, berharap jika apa yang ia liat bukanlah suatu hal yang kebetulan.     

"Hai, Vrans."     

Gadis itu menyapa dirinya ketika sudah duduk dengan santai di hadapannya --memang tersedia kursi khusus jika ada tamu yang ingin menemui dirinya dan berbicara langsung empat mata--, tanpa permisi atau apapun.     

Mendengar sapaan tersebut, Vrans memasang wajah datarnya. Apalagi mengetahui jika gadis ini adalah iblis yang ia incar. Untuk apa berani-beraninya masuk ke dalam Luis Company? Dan kemana semua orang saat gadis mencurigakan ini mulai memasuki ruang kantornya? Apa jam makan siang membuat banyak orang menjadi gagal fokus dan berpikir jika gadis ini adalah tamunya?     

Baiklah, banyak sekali pertanyaan yang menumpuk di kepalanya.     

Dengan tatapan yang masih sedingin es batu, Vrans tidak akan pernah memberikan gadis itu sebuah senyuman. "Ingin menyerahkan diri, heh?" tanyanya dengan nada meremehkan. Ia menatap gadis itu yang kini sudah membuka seluruh benda yang menutupi wajah cantiknya.     

Melihat kecantikan gadis ini, tentu saja Vrans tidak berminat untuk memuji. Bahkan, jika pun Xena belum ada dan menempati relung hatinya, ia tidak pernah rela memberikan hatinya untuk gadis iblis ini. Ia sangat tidak berminat untuk memberikan hatinya walaupun suatu saat nanti gadis yang berada di hadapannya ini merupakan satu-satunya gadis di dunia ini.     

"Mana ada seorang Hana Xavon menyerahkan diri," ucap Hana sambil terkekeh kecil menatap Vrans dengan tatapan yang sulit di artikan ini.     

Vrans yang mendengar hal itu langsung saja memutar kedua bola matanya, lalu mengambil sebuah ponsel untuk menghubungi Sean atau sekiranya Erica yang berada satu gedung dengannya --ya ini jika gadis itu menetap di ruang kerja, tidak ikut makan siang dengan kekasihnya--. "Jangan bergerak, atau aku akan menembak mu."     

Perlu diketahui, Luis Company memiliki sistem keamanan yang kuat dengan meletakkan sebuah pistol berpeluru yang dipergunakan jika keadaan darurat saja. Dan kini, Vrans patut puji Tuhan tentang apa yang sudah tersedia ini.     

Sedangkan Hana, gadis itu malah mengeluarkan sebuah bungkusan permen karet, lalu memakannya dengan membuang plastik luar ke sembarang arah. "Tidak takut," ucapnya dengan tenang. Ia menyebarkan tubuhnya, lalu menaikkan sebelah kakinya ke atas meja kerja milik laki-laki yang kini tengah menatapnya dengan sorot mata kesal seperti ingin menombak dirinya pada saat ini juga. Terdengar bringas memang, tapi ia tidak takut sama sekali. Toh keahliannya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan dia. Tidak, tidak berniat sombong tapi itulah kenyataannya.     

Vrans mengacak rambutnya dengan asal, ia mengurungkan niat untuk menelepon siapapun itu. Kini, Hana sudah berada dihadapannya. Tapi, ia sama sekali belum bertindak apapun untuk menghabisi gadis itu. "Apa tujuan mu kesini?" tanyanya karena memang tidak suka berbasa-basi seperti ini. Membuang-buang waktu saja!     

Hana terkekeh kecil, ia tetap menaikkan kakinya ke atas meja tanpa berniat untuk menurunkannya. "Ku bilang hanya berkunjung," ucapnya dengan tenang. "Oh iya, apa di dalam ruangan ini boleh merokok? Aku sangat bosan dengan topik pembicaraan mu." sambungnya sambil mengeluarkan pematik dari saku jaketnya.     

Vrans yang melihat itu tentu saja langsung merebut pematik milik Hana, untung saja kecepatan tangannya jauh lebih cepat daripada kecepatan tangan gadis itu yang tidak tanggap. "Jangan macam-macam," ucapnya dengan nada dingin sambil membuka laci meja kerja, meletakkan benda pipih panjang itu kesana. Ada-ada saja pertanyaan Hana yang terdengar sangat bodoh itu.     

"Memangnya kenapa sih? Payah banget perusahaan besar tidak bisa merokok di dalam ruangan." ucapnya dengan nada yang meremehkan. Ia bahkan sempat menatap Vrans seperti meneliti setiap penampilannya laki-laki itu dengan cara yang sangat intens.     

Vrans menghembuskan napas, "Bisa keluar dari ruangan ku?" tanyanya yang sudah kehabisan kesabaran. Ia ingin menyerang, tapai rasanya kalau seperti ini sama sekali tidak terasa perjuangannya. Iya kan? Hana yang tiba-tiba saja menghampiri dirinya membuat ia merasa jika nanti kepuasan tidak berhasil terbayarkan di dalam hati.     

"Tidak bisa, kenapa tidak membuatkan ku minuman? Jus? Kopi? Atau sejenis..?" tanyanya dengan meraih selembar dokumen yang berada di atas meja kerja milik Vrans. Membacakan sekian kata sebelum lagi-lagi, apa yang berada di tangannya telah terambil alih oleh laki-laki yang selalu menunjukkan wajah datar itu.     

Vrans berdecih kecil, "Katakan apa mau mu, Hana." ucapnya tanpa mengindahkan ucapan Hana yang meminta minum untuk kembali menyegarkan dinding tenggorokannya.     

"Ah dasar bos yang pelit," ucapnya sambil menampilkan smirk khas seorang Hana. "Aku hanya ingin--"     

Tok     

Tok     

Tok     

Vrans mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk, tapi tidak dengan Hana. Gadis itu masih duduk dengan tenang, dan kini tangannya sudah berhasil meraih sebuah majalah laki-laki yang terletak di atas meja kerja Vrans di sudut lainnya. Ia pikir, kenapa dunia perkantoran sangat suka sekali bermain-main dengan kertas dan buku? Baiklah, ini bukanlah bidang keahlian yang dimilikinya. Jadi, ia tidak pernah paham dengan hidup yang ternyata memiliki banyak arah dan arti yang berbeda.     

Yang ia tahu, ia berbakat menjadi seorang kriminal. Itu saja, tidak ada kemampuan spesial lainnya. Bahkan untuk sekedar memasak pun saja ia tidak bisa karena belum terbiasa. Sejak kecil ia di didik oleh sang Grandpa untuk memiliki pertahanan yang tangguh dan dalam seketika menjadikan dirinya seorang pembunuh bayaran yang tentunya sangat di kenal seluruh penjuru dunia. Sepertinya ia harus tahu satu hal, berterima kasih kepada sang Grandpa.     

Sosok Erica masuk ke dalam ruangannya dengan tangan yang memegang sebuah berkas, pasti berkas penting yang harus segera di tanda tangan olehnya. Jam masih menunggu waktu istirahat, dan gadis ini masih melakukan pekerjaannya? Baiklah, Erica mungkin adalah dirinya dalam versi seorang gadis.     

"Tuan bos, ini ada satu dokumen yang memerlukan tanda tangan mu deng--" ucapan Erica terhenti karena gadis itu baru menyadari ada orang lain yang satu ruangan dengan Vrans. Ia menatap dengan sangat meneliti siapakah gadis yang dengan tidak sopannya menaikkan kedua kakinya ke atas meja kerja milik Vrans.     

Xena? Tidak, ia yakin sahabatnya itu tadi masih berada di luar Luis Company bersamaan dengan Orlin dan juga Allea. Lalu, apa ini?     

"Maaf Tuan, aku tidak tahu kalau ada tamu." ucapnya menyambung ucapan yang tadi belum sepenuhnya ia ucapkan.     

Vrans mengisyaratkan dengan kedua bola matanya supaya Erica segera keluar dari ruangannya sekarang juga, urusan dokumen yang perlu di tanda tangani itu bisa nanti saja.     

Hana yang melihat hal itu pun hanya menaikkan sebelah alisnya, lalu terkekeh kecil melihat ekspresi Vrans yang terlihat... konyol?     

Mendengar suara tawa yang sangat familiar membuat Erica melanjutkan langkahnya untuk mendekati gadis itu.     

"Hai, Erica Vresila."     

Begitu sampai di samping gadis itu, kedua bola mata Erica membulat. Vrans pun hanya bisa menghela napasnya dengan sangat teramat gusar. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, ia tidak bisa memprediksi hal itu.     

"KAMU!" pekik Erica sambil menaruh berkas yang berada di tangannya ke atas meja Vrans. Ia menyambar leher Hana bergerak untuk mencekik gadis itu. Napasnya sudah memburu begitu melihat orang yang diincarnya kini sudah berada tepat di hadapannya.     

Vrans hanya menyaksikan hal itu, ia membiarkan Erica menyalurkan semua rasa amarahnya. Sedangkan ia, kembali pada pekerjaan yang mengharuskan dirinya untuk membaca dokumen yang tadi diberikan oleh Erica untuk dirinya.     

Sedangkan Hana, ia masih dalam kondisi tenang walaupun napasnya kian tercekat. Ia lupa jika dirinya tewas karna tercekik pasti alat nerve repair miliknya tidak akan bekerja karena tidak ada sel syaraf yang rusak akan hal itu.     

"Mau apa kamu kesini?" tanya Erica dengan sorot mata yang menampilkan kemarahan disana. Ia sangat ingin membuat perhitungan dengan gadis ini karena sudah membuang-buang waktunya untuk hal yang selalu melenceng.     

Menduga Allea adalah Hana yang melakukan operasi untuk mengubah bentuk wajah sampai segala macam kejadian yang jauh dari prediksinya seperti saat acara rusuh di restoran terkenal kota New York.     

Hana mencakar tangan Erica dengan sekuat tenaga, memberikan bekas luka memanjang di kedua tangan gadis itu.     

Erica meringis, lalu dengan cepat melepaskan tangannya yang mencekik leher Hana. Sial, dirinya menjadi lengah karena hal ini.     

Kuku Hana yang memang di rawat panjang tanpa menggunakan kuku plastik itu membuat lengan Erica terlihat bekas darah di setiap cakarannya.     

"Psikopat," gumam Erica yang langsung saja menyambar syal yang berada di leher Hana untuk menahan darah yang keluar dari tangannya.     

Hana hanya terkekeh kecil, lalu menurunkan kakinya dari atas meja, kembali memijakkan kakinya di lantai. "Jangan pernah berani-beraninya menyentuhku seperti tadi, freak."     

Erica menatap tajam ke arah Hana, ia melihat Vrans yang ingin ikut campur dalam hal ini tapi ia mengisyaratkan supaya laki-laki itu diam saja di tempat untuk tidak mengambil andil apapun. "Untuk apa kesini?" tanyanya.     

Hana membenarkan letak jaketnya, lalu menatap Erica dengan senyuman layaknya sedang merasa kepuasan terhadap suatu hal. "Ingin main," ucapnya yang di akhiri dengan tawa geli.     

Penyakit tawa itu lagi... ah selalu bisa menggambarkan sisi psikopat Hana untuk mendukung suasana yang dapat membuat bulu kuduk merinding.     

"Bermain? Aku sibuk, tidak punya waktu."     

"Memangnya siapa yang bilang aku ingin mengajak main diri mu?"     

"Lalu siapa?"     

"Xena."     

Dalam hitungan detiym selanjutnya, Erica maupun Vrans melayangkan tatapan elang kepada dirinya.     

"Tidak berguna," gumam Vrans dengan gerangan marah. Tangannya sudah berhasil mengambil pistol, lalu mengarahkannya tepat pada kepala Hana.     

Erica yang melihat itu langsung menyadarkan Vrans. "Tuan, lebih baik kita langsung pergi ke tempat Xena makan siang. Jangan meladeni Hana!"     

Sebelum iblis jahat menguasai hati Vrans, laki-laki itu langsung berdecih. Ia menyimpan kembali pistol yang berada di tangannya ke laci yang hanya bisa dibuka dengan sidik jarinya saja.     

"Kali ini, kamu selamat."     

Hana hanya tertawa geli lalu mengangkat bahunya dengan acuh. Ia melihat kepergian Erica dam Vrans yang semakin lama tercetak wajah khawatir.     

Ia akan terus bermain-main, dan tidak ada satu orang pun yang dapat menebak permainannya.     

Memiliki dua pion permainan, bukan berarti harus menjalankan keduanya secara bersamaan, iya kan?     

Taktik yang tidak pernah dipikirkan orang lain.     

Miris, semua lawannya kini memiliki sifat lengah dan juga sangatlah bodoh.     

"The name is also a game, and will never end until someone dies."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.