My Coldest CEO

Seratus tiga puluh tiga



Seratus tiga puluh tiga

0Hana masih mempertahankan posisinya, duduk di kursi yang berada di dalam ruang kerja milik seorang Vrans Moreo Luis. Ia mengitari pandangannya ke setiap sudut ruangan. Furniture yang datar dan ciri khas seorang laki-laki menggambarkan ruangan ini seperti sang pemilik. Ia juga melihat ada beberapa barang yang sepertinya milik Xena.     

Kenapa mereka satu ruangan? Apa karena ini ada sangkut pautnya dengan ancaman yang akhir-akhir ini ia luncurkan? Kalau iya, berarti sebentar lagi rencananya akan berhasil. Saksikan saja bagaimana nanti dirinya dengan perlahan merusak kebahagiaan orang lain. Kalah di awal tentu bukanlah hal yang mampu membuat semangatnya pudar. Ia bahkan sudah menyusun rencana sesuai dengan alfabet A sampai dengan Z. Iya, memang seniat itu dirinya yang bertujuan hanya untuk membunuh satu orang gadis saja.     

Rasa bosan tak kunjung hadir mengisi atmosfer di sekitarnya. Begitu dirinya mengingat letak laci yang tadi Vrans pakai untuk meletakkan pematik miliknya, ia langsung saja beranjak dari duduknya.     

"Great, lebih baik merokok saja." ucapnya sambil melangkahkan kaki mendekati sisi seberang meja kerja Vrans dari yang tadi ia tempati. Dengan tangan yang mulai menjulur ke laci tersebut, ia melihat ada akses keamanan yang menggunakan sidik jari. Seberapa canggih Luis Company sampai-sampai laci saja memiliki laci yang memiliki tingkat yang cukup canggih? Bahkan ia tidak pernah berpikir total keseluruhan harga perusahaan ini beserta isinya.     

Seorang Luis memang tidak boleh di anggap remeh, karena selain berkuasa, Vrans memang lah sosok yang tidak tersentuh. Ia mungkin harus mengacungi kedua ibu jarinya untuk Xena yang berhasil merebut perhatian laki-laki ini.     

Sensor sidik jari adalah hal yang paling sangat mudah untuk di retas. Hana terkekeh kecil, lalu menerka-nerka benda apa yang paling sering di pegang oleh Vrans. Dan ya, ia menemukan mouse laptop yang bisa jadi adalah hal yang paling dominan terdapat sidik jari laki-laki itu.     

"Baiklah, peretasan di mulai." gumamnya sambil menyunggingkan sebuah senyuman miring.     

Dengan hati-hati, Hana berjalan ke arah kursi kebesaran milik Vrans dan mendudukinya. Ia menarik mouse tersebut supaya lebih dekat ke arahnya, tentu saja jemarinya hanya memegang tepi mouse supaya tidak merusak sidik jari milik kekasih dari targetnya. Ingin mengambil pematik yang bisa saja ia beli lagi lebih dari ratusan tapi sampai melakukan peretasan seperti ini. Ah, anggap saja dirinya tidak ada kerjaan sekaligus untuk melatih kemampuannya.     

Kali ini, cukup dengan cara yang sederhana saja yang ada di sekitarnya.     

Setiap ruang kerja milik Vrans terdapat sachet an kecil seperti bubuk coklat, gula, gula aren, dan lain sebagainya untuk di nikmati bersama teh atau kopi, bisa juga untuk minuman lainnya. Dengan itu, Hana langsung saja mengambil bubuk coklat yang berada di sana, lalu dirinya mengambil wadah kecil yang selalu ia bawa kemana-mana di dalam jaketnya. Bungkusan bubuk coklat tersebut ia buka, lalu di buang tepat pada tempat sampah kecil bersamaan dengan permen karet yang sudah tidak memiliki rasa di dalam mulutnya lagi.     

Ia langsung saja mengambil sebuah kuas dengan bulu yang lembut, lagi dan lagi dari dalam jaketnya. Ia adalah pembunuh bayaran, tapi terkadang memiliki peralatan yang beralih fungsi.     

Hana mulai mengarahkan kuasnya ke bubuk coklat, dan langsung di olesi pada atas mouse. Setelah cukup dengan hal itu, ia langsung saja mengambil isolasi bening yang berada di atas meja milik Vrans.     

"Dan ya, hasil yang cukup memuaskan." ucapnya sambil menatap apa yang telah berhasil ia lakukan dengan perasaan bangga. Ia pikir tidak akan berhasil karena media mouse yang sulit untuk lihat bekas sidik jari Vrans yang tertempel di sana, tapi ternyata dirinya berhasil hanya dengan sekali percobaan. Hebat, itu adalah penggambaran yang selalu tepat untuk dirinya.     

Setelah itu, ia menggeser kursinya ke arah laci yang langsung saja memindai sidik jari milik Vrans yang telah ia ambil dari sebuah benda.     

Terlihat tanda ceklis dengan lingkaran hijau, memberi pertanda jika pemindaian yang dilakukan dirinya tersebut berhasil. Lalu laci tersebut terbuka, dan dirinya langsung mengambil pematik rokok yang tadi di curi sang pemilik perusahaan.     

"Sudah pelit, mengambil barang orang lain." gumamnya sambil menutup lacinya kembali. Ia membereskan segala peralatan yang ia gunakan tadi ke tempatnya masing-masing.     

Dengan tangan yang sudah menggenggam sebuah pematik, ia langsung saja mengambil bungkusan rokok yang memang selalu dibawa dirinya kemana-mana. Hidup tanpa rokok sepertinya ada suatu hal yang kurang, iya kan?     

Dengan tenang, ia langsung saja beranjak dari duduknya dan mulai melangkahkan kakinya untuk membuka kaca bergeser yang mengarah ke balkon. Bisa di bilang, setiap karyawan yang memiliki posisi tinggi punya balkon tersendiri. Untung saja cuaca tidak terlalu terik.     

Hana duduk di kursi santai, lalu menyandarkan tubuhnya. "Menunggu Alard menjemputnya dengan helikopter adalah hal yang membosankan."     

...     

"Sebaiknya cepat injak pedal gas,"     

Erica menatap Vrans dengan jengkel. Pasalnya, sedari tadi laki-laki itu malah sibuk menghubungi nomor ponsel Xena yang terus menerus tidak aktif. Kini, mereka tengah berenti di halaman depan Luis Company. Tentu saja hal ini membuat dirinya merasa tidak sabar untuk cepat sampai ke lokasi.     

Vrans menatap ke arah Erica dengan sorot mata yang dingin. "Aku khawatir, apa kamu tidak merasakan hal itu?" tanyanya dengan napas yang tidak beraturan. Ia menatap layar ponsel karena panggilan telepon yang diluncurkan olehnya hanya di jawab operator telepon yang mengatakan jika Xena tidak menjawab panggilan.     

"Tuan, kalau khawatir secepatnya kita menuju ke tempat mereka berada. Tadi Orlin sudah mengirimkan lokasi kepada ku." ucap Erica dengan nada yang datar, ia pun tidak pernah bisa menunjukkan ekspresi lain kalau dirinya berkali-kali lipat khawatir. Dengan membuat Vrans tenang, bukan berarti ia juga bisa membuat hatinya ini ikut tenang.     

Mampu menenangkan orang lain tapi tidak dengan dirinya sendiri, itulah Erica.     

Vrans mendengus kecil, bisa-bisanya Erica memiliki rasa tenang yang begitu terkontrol. 'Tapi tetap saja tidak tenang," ucapnya.     

"Kalau seperti ini, kapan selesainya, Tuan?" tanya Erica dengan nada bicara yang semakin memelan. Ia hanya ingin Vrans sadar jika mereka sudah membuang-buang banyak waktu sejak pergi meninggalkan Hana sendirian di ruang kerja Vrans. Biar saja deh gadis itu ingin berbuat apa, toh juga tidak ada yang penting di ruang kerjanya itu.     

Benar juga, Vrans mengacak rambutnya dengan kasar lalu memberikan ponsel miliknya ke Erica yang sedari tadi sabar menghadapi dirinya yang terus menerus seperti orang kelimpungan. "Tolong telepon nomor Xena terus menerus," pintanya.     

Dengan seatbelt yang sudah terpasang apik di tubuh keduanya, Vrans segera mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan sangat perlahan. Ia mulai menginjak pedal gas, dan melajukan mobilnya dengan kecepatan standar, langsung masuk ke jalan raya.     

Erica yang sudah meraih ponsel milik Vrans pun melakukan hal sesuai dengan perintah sang bos yang sudah sangat cemas itu.     

Tadi, ia sudah menghubungi Orlin. Dan ternyata Xena sedang pergi ke toko bunga yang entah untuk apa. Ia sangat tahu jika sahabatnya yang satu itu suka sekali menginginkan sesuatu secara random. Jika ada sesuatu yang menarik perhatian, pasti gadis itu selalu ingin memilikinya pada detik itu juga. Tidak boleh ada bantahan apapun yang bisa melarangnya untuk membeli hal itu. Dan terlebih lagi, Xena belum kembali dengan perjanjian 10 menit yang gadis itu katakan pada Orlin dan juga Allea. Tapi sampai detik ini juga batang hidung gadis itu belum terlihat sama sekali. Hal ini lah yang membuat seorang Vrans menjadi laki-laki dengan emosi yang tidak terkontrol.     

Kalau boleh memilih, ia bisa saja tinggal dengan Hana di dalam ruang kerja milik Vrans. Menyalurkan segala bentuk amarahnya. Tapi kini, gadis itu bukanlah yang paling penting untuk diurusi. Kini, Xena adalah seseorang yang paling berharga untuk dijaga ketat keberadaannya.     

Kini, mereka semua menyesal karena sudah lalai.     

"Kenapa gadisku sangat keras kepala?" gumam Vrans dengan sorot mata yang masih fokus menatap ke arah jalan raya. Kini, tidak ada lagi kilatan khawatir yang berlebihan. Mungkin saja laki-laki ini sudah dapat mengatur kinerja jantungnya yang memompa sangat cepat.     

Erica yang sedari tadi masih sibuk mengutak-atik ponsel Vrans untuk meluncurkan beberapa pesan dan misscall ke Xena pun langsung saja menolehkan kepalanya ke arah laki-laki yang sibuk mengendarai mobil. "Memang seperti itu, dari dulu. Kalau semisalnya di larang, nanti malah merajuk." ucapnya yang memang sudah cukup mengenal Xena dari awal pertemuan mereka. Ia yang notabenenya tidak peduli terhadap orang lain pun, ternyata sangat paham setiap inci sifat milik seseorang yang sudah beranjak menjadi sahabatnya.     

Vrans yang mendengar penjelasan Erica pun mengangguk setuju, tapi dirinya masih tidak habis pikir saja. Ada waktu lain, kenapa harus sekarang-sekarang juga? "Tapi kenapa tidak menundanya dan pergi bersamaku nanti saat pulang kerja?" tanyanya.     

Erica mengangkat bahunya, seolah-olah ia tidak tahu menahu akal hal itu.     

"Yang ku tahu dari Xena, katanya Tuan membuat perjanjian pada dirinya sepulang kerja nanti, mungkin itu alasannya." jelasnya dengan perhatian yang kembali terfokus untuk mengirimkan Xena berbaris pesan yang bahkan tak kunjung di baca.     

"Tapi kan bisa mampir sebentar," ucap Vrans yang masih tidak mau kalah menyalurkan pikirannya yang memang terlihat lebih datar daripada pemikiran kekasihnya yang terlewat banyak sekali tingkahnya itu.     

"Xena berbeda, dan perbedaan itu memang benar-benar beda, Tuan."     

Vrans bergeming. Apa yang dikatakan oleh Erica, sepenuhnya adalah sebuah kebenaran yang nyata. Ia mau tidak mau harus kembali menelan kalimat protes lainnya yang belum sempat keluar dari mulut. "Kalau begitu, apapun yang terjadi selanjutnya, pasti sudah memasuki level sulit."     

Mengingat tentang permainan yang dikatakan oleh Hana, mungkin saja kemarin-kemarin adalah rintangan yang masih masuk ke dalam fase mudah. Semakin kesini, kebingungan semua orang mulai di permainkan. Tidak tahu kemana tujuan Hana, tapi yang mereka tahu gadis itu tetap akan menjalankan pion milik Xena terlebih dahulu.     

Erica menghembuskan napasnya dengan perlahan, bahkan untuk kasus kasus kali ini ia merasa sangat kewalahan. Banyak hal yang menjadi pemicu, seolah-olah semua orang yang memiliki sangkut paut dengan Xena merasa di permainkan juga. Bahkan, mungkin saat ini Hana sedang tertawa jahat dengan fantasi menyiksa seorang Xena yang menjadi obsesinya.     

Berbulan-bulan hanya untuk menyusun strategi membingungkan seperti ini, patut di acungi jempol. Jika saja gadis itu memilih untuk melepas Xena, sudah pasti kini Hana bertambah kaya raya karena sudah pasti banyak yang menawarkan dirinya 'pekerjaan kotor'. Tapi, sepertinya rasa penasaran gadis itu terhadap Xena tidak pernah luntur.     

"Getting into the assassin game, it feels like suicide."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.