My Coldest CEO

Seratus tiga puluh lima



Seratus tiga puluh lima

0Parking area     

12:40 PM     

Sudah lebih dari sepuluh menit sejak Xena berpamitan, tapi gadis itu belum juga menunjukkan batang hidungnya untuk kembali ke dalam mobil khusus yang di belikan Vrans untuk dia.     

Kini, dengan perasaan cemas, Orlin mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil. Ia berharap sosok yang menjadi alasannya kecemasannya ini ada di luar sana dan dari kejauhan terlihat mendekat ke mobil ini. Tapi nihil, gadis cantik dengan sifat lugu dan konyol itu tidak ada untuk memenuhi harapannya.     

Sedangkan Allea yang sudah bersikap normal akibat sedari tadi membayangkan serbuk bunga yang masuk ke hidungnya, ia mengelus pundak Orlin dengan lembut yang tubuh gadis itu tepat berada di sampingnya. "Tenang, Lin. Paling Xena sedang mengobrol santai." ucapnya sambil mengulas sebuah senyuman yang simpul.     

Walaupun ia belum lama masuk ke dalam kehidupan pertemanan mereka, tapi tak ayal jika dirinya sangat lah paham dengan apa yang di rasakan oleh Orlin. Mungkin kecemasan terhadap seorang sahabat terasa lebih sakit daripada kecemasan dengan kekasih, apa iya seperti itu? Ah, bahkan dirinya belum pernah merasakan bagaimana rasanya di cintai dan dipenuhi dengan perhatian oleh seorang laki-laki. Iya, ia bukanlah gadis yang memiliki pengalaman dalam banyak hal. Bahkan, ia masih tidak mengerti saat diposisi seperti ini, apa yang harus ia lakukan selain menenangkan perasaan Orlin yang kian gelisah?     

Drtt...     

Drtt...     

Kedua pasang mata Orlin dan Allea dengan serempak langsung saja menoleh ke arah ponsel milik salah satu dari merekalah yang berada di atas dashboard.     

"Ponsel ku," gumam Orlin sambil menjulurkan tangannya untuk mengambil benda pipih yang bergetar, memberitahu pada sang empunya jika ada seseorang yang menghubunginya.     

Nama Erica tercetak jelas di layar ponselnya, ia sempat menaikkan sebelah alisnya. Lalu setelah pikirannya sampai --pasti ada sesuatu hal penting yang ingin di bicarakan oleh sahabatnya ini--, ia langsung saja menyeret tombol hijau untuk mengangkat panggilan tersebut. Sedangkan Allea? Ia kini hanya menjadi mendengar manis yang diam di samping Orlin. Toh ingin ikut bicara pun bukan hak nya, iya kan?     

Dengan tangan yang langsung saja mengarahkan ponselnya ke telinga, Orlin membuka percakapan. "Halo, Erica. Ada apa?" tanyanya untuk memastikan kembali kebenaran yang kini telah bersarang di otaknya. Xena yang tak kunjung kembali dan Erica yang tiba-tiba menelpon, justru hal itu bukanlah kebetulan.     

Di seberang sana, seorang Erica berdehem kecil untuk menghalau segala nada gugup yang mungkin saja bisa membuat gadis tersebut hilang kendali. "Dimana kalian? Aku mencari Xena,' ucapnya di seberang sana dengan nada yang masih terdengar tenang, setenang gelombang air yang berada di tengah laut.     

Orlin menolehkan kepalanya ke arah Allea, ia menatap gadis di sampingnya dengan sorot mata kebingungan. Ayolah, ia tidak tahu ingin menjawab apa! Bisa-bisa Vrans nanti memaki dirinya karena meninggalkan sang kekasih begitu saja.     

Allea yang paham dengan kode Orlin pun langsung mengangkat tangannya untuk memberitahu gadis itu supaya lebih tenang. "Ucapkan saja yang sejujurnya, " bisiknya dengan volume yang sangat kecil. Bagaimana pun juga, ia tidak ingin ikut campur dengan apa yang terjadi. Netral adalah posisi yang paling menguntungkan saat ini.     

"Orlin? Kemana lama sekali menjawab pertanyaan ku? Ada apa?" tanya Erica kembali tepat do seberang sana. Ia yakin seratus persen jika tatapan gadis itu, kini sudah setajam silet. Bahkan aura mengintimidasi bisa saja menyeruak dari dalam tubuhnya. Kalau sudah seperti ini, siapapun tidak akan pernah bisa berkutik, termasuk Orlin dan juga Allea yang justru tengah menggigiti jemari kuku.     

Orlin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan tangan miliknya yang bebas tidak melakukan apapun. "Eumh, Xena sedang pergi ke toko bunga." cicitnya sambil meringis kecil.     

Mendengar hal itu, Erica di seberang sana langsung menggumamkan kata 'what the hell' nyaris tanpa suara. "Dan kalian kini tidak bersama dengan Xena?" tanyanya di seberang sana. Sepertinya ia heran dengan apa yang dilakukan kedua orang gadis tersebut yang membiarkan Xena yang bernotabene tidak terbiasa menghabiskan waktu sendiri walaupun hanya sebentar.     

Allea ikut meringis ngeri mendengar nada bicara Erica yang terdengar dingin, datar, dan... menyeramkan? Anggap saja berlebihan memang, tapi seperti itulah kenyataannya.     

Sedangkan Orlin, dengan beberapa kalimat berderet untuk merutuki dirinya sendiri pun langsung saja menepuk keningnya. "Astaga, Allea alergi bunga. Dan Xena menyuruh kami untuk menunggu di mobil." ucapnya memberikan penjelasan yang sangat terperinci, lebih lagi ia mengatakan segalanya dengan kejujuran.     

Di seberang sana, terdengar hembusan napas milik Erica yang panjang. "Kirim lokasi kepada ku, sekarang." ucapan dengan nada yang terdengar sedikit tenang daripada sebelumnya. Lagipula, ia tidak pernah bisa untuk menyalahkan apapun jika suatu kejadian sudah terjadi begitu saja tanpa bisa di cegah. Mungkin memang tidak bisa di cegah, tapi masih bisa di perbaiki.     

"Maaf, Erica." ucap Orlin dengan nada sesal. Ia menatap pantulan samar wajahnya pada kaca mobil yang terdapat tepat dihadapannya.     

"Tidak masalah, diam saja kalian di dalam mobil. Aku takut kalian kenapa-napa, kirim lokasi." ucap Erica yang sepertinya tidak ingin membahas tentang kenapa Xena bisa pergi sendirian ke toko bunga, ia tidak ingin memperluas rasa emosinya dan tentu saja supaya tidak terjadi pertengkaran yang bisa saja menjadi sesal di kemudian hari.     

"Baiklah," ucap Orlin dengan pasrah. Beruntung jika ia mempunyai sahabat seperti Erica yang pemaaf. Walaupun kesalahan yang di lakukan dirinya mungkin kini terdengar fatal, tapi tak ayal pula jika gadis itu dalam hitungan menit langsung bisa memaafkan kesalahannya.     

Salut? Tentu saja. Karena tidak ada gadis yang seperti Erica, hanya satu di dunia dan menjadi sahabatnya yang cuek namun paling peduli. Walaupun seperti itu, Erica adalah sosok yang paling bisa melindungi kedua sahabatnya. Xena dan Orlin seolah-olah berada di baliknya. Pasti, jika sudah mengutamakan keselamatan kedua sahabat, pasti gadis ini tidak main-main sampai rela untuk memberikan nyawanya.     

Pip     

Telepon dimatikan secara sepihak oleh Erica di seberang sana. Lalu, ia menaruh kembali ponselnya di atas dashboard mobil. Ia bahkan memegangi keningnya yang terasa pening.     

Allea yang melihat wajah lesu Orlin pun langsung menaikkan sebelah alisnya, ia bertanya-tanya tentang apa yang dikatakan Erica pada gadis tersebut. "Kamu kenapa?" tanyanya sambil mengalihkan seluruh perhatiannya pada Orlin. Baiklah, ia adalah gadis yang mempunyai tingkat kepercayaan yang sangat tinggi.     

Orlin mengangkat bahunya, ia sendiri juga tidak tahu perasaan apa yang kini tengah membingkai di hatinya. "Kita di suruh menetap di mobil," ucapnya menyampaikan kembali apa yang tadi diucapkan Erica pada dirinya.     

"Kenapa? Bukankah lebih baik kita menyusul Xena di toko bunga?" ucapnya yang menatap Orlin dengan heran. Kalau sudah seperti ini, ia tidak masalah kok mempertaruhkan alergi serbuk bunga yang diidapnya.     

Orlin yang mendengar ucapan Allea pun langsung membelalakkan kedua bola matanya. "ARE YOU CRAZY?! Kamu alergi dan hal itu bukanlah sesuatu yang sepele!" serunya dengan heboh. Bagaimana bisa gadis di sampingnya ini dengan enteng berbicara seperti itu? Kalau nanti alerginya parah, bisa-bisa membuatnya masuk ke dalam rumah sakit, bahkan bisa saja menimbulkan gejala yang sangat parah.     

Allea terkekeh kecil melihat ekspresi Orlin yang justru menggemaskan dengan kedua pipi memerah seperti layaknya sebuah tomat yang baru saja di panen dari perkebunan subur. "Apa sih kamu terlalu berlebihan, dan untuk apa juga Erica menyuruh kita untuk menetap di mobil?"     

Orlin menghembuskan napasnya dengan perlahan. Ia sudah ketinggalan jauh tentang apa yang terjadi pada Xena. Dirinya terlalu sibuk mengurus rencana pernikahan bersama dengan Niel, sampai melupakan jika salah satu sahabatnya tengah dilanda masalah yang sama seperti bulan-bulan sebelumnya. "Ada masalah besar, kamu tidak akan pernah paham. Ceritanya sangat panjang sekali, mungkin jika dijadikan novel, pasti lembaran yang tercetak akan ada beratus-ratus halaman."     

Merasa tertarik dengan hal itu, Allea pun semakin memfokuskan seluruh perhatiannya pada Orlin. "Dan apa itu? Bolehkah aku tahu inti masalahnya? Apa yang dimaksud dengan masalah besar?" tanyanya dengan rasa penasaran yang semakin menyeruak kental di dalam pikirannya.     

Berusaha untuk menyatukan pikiran tentang apa yang pernah Hana ucapkan mengenai Xena dan Erica, ia sangat berharap hal ini tidak ada hubungannya dengan itu semua. Kalau iya, dirinya bisa-bisa sulit memilih hal yang seharusnya ia pertahankan saat ini.     

Orlin menatap lekat kedua manik mata Allea, ia sedikit memiliki tingkat keraguan untuk mengatakannya. Tapi, ia segera menepis perasaan itu. Karena hei, sangat tidak sopan memberikan prasangka buruk pada orang lain. "Beberapa bulan yang lalu, Xena sudah dua kali menjadi target sasaran dua orang pembunuh bayaran. Pertama menyebabkan gadis itu mengalami trauma berat bahkan amnesia dan yang kedua menimbulkan bekas luka samar di wajahnya akibat dari sayatan yang di pahat oleh salah satu pembunuh bayaran itu. Dan ini adalah kali ketiga," ucapnya dengan volumenya suara yang rendah.     

Bercerita seperti ini membuat dirinya merasakan kembali apa yang terjadi di masa lalu. Pahitnya melihat seorang Xena yang melupakan semua orang --kecuali kedua orangtuanya--, menatap mereka semua dengan sorot mata yang tajam, terlebih lagi membuang status 'persahabatan' yang terkait di antara mereka. Semua itu adalah kejadian pahit yang tidak diinginkan lagi keberadaannya.     

Allea terkejut dengan bola mata yang membesar. Ia berpikir jika mungkin saja kini apa yang dia pikirkan adalah sebuah kebetulan. "Siapa kah pembunuh bayaran itu? Apa sehebat itu membuat rencana besar sampai yang ketiga kalinya seperti ini?" tanyanya untuk benar-benar memastikan kinerja otaknya. Memangnya siapa yang tidak tahu dengan seorang best assassin?     

"Hana dan Sean Xavon," gumam Orlin.     

Pada detik itu juga, Allea membelalakkan kedua bola matanya merasa pikirannya yang melayang tadi akhirnya sudah terkonfirmasi kebenarannya. Kini, tanpa ia sadari dirinya kembali masuk ke dalam kehidupan Hana, tapi dari sisi yang berbeda. Dan juga, untuk pertama kalinya ia sama sekali tidak tahu harus berbuat apa.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.