My Coldest CEO

Seratus tiga puluh tujuh



Seratus tiga puluh tujuh

0"Aku tidak tahu akan menjadi seperti ini," ucap Orlin dengan nada sesal yang menyeruak kental. Ia benar-benar menatap Erica dengan sorot mata sendu. Memangnya siapa yang kepikiran ada seorang penjaga jika salah satu dari mereka memiliki penyakit yang tidak memungkinkan untuk masuk ke dalam toko bunga sana?     

Erica menghembuskan napasnya dengan sangat teramat perlahan. "Kalau begini salah siapa?" tanyanya sambil memijat pangkal hidungnya yang terasa sangat pening.     

"Lagipula alergi Allea tidak bisa di pertaruhkan, bagaimana jika menimbulkan dampak yang parah?" sargah Orlin. Ia memang merasa salah, tapi di satu sisi ia tidak akan pernah membiarkan Allea jelek di mata Erica. Toh, ia bukannya membela, tentu saja tidak. Tapi kan ia mengatakan kebenaran yang tidak mungkin menjadi alasan untuk dapat di salahkan.     

"Tapi--" ucapan Allea yang baru saja ingin mengatakan jika dirinya tidak perlu di bela, karena yang ada nanti kedua gadis ini malah beradu lidah lebih panjang lagi. Ternyata sebelum dirinya berhasil berbicara pun Erica langsung memutusnya.     

"Tidak ada yang pantas untuk di salahkan, lagipula sudah terjadi dan tidak bisa mencegahnya." ucap Erica yang mulai bisa mengontrol emosinya. Jangan sampai kelepasan...     

"Lalu, bagaimana?"     

Vrans hanya mendengarkan percakapan ketiga orang gadis yang tengah membicarakan tentang hilangnya Xena secara misterius. Ia mengacak rambutnya berkali-kali merasakan tidak tahu lagi harus bagaimana, menghubungi polisi pun baru akan di layani setelah 24 jam kehilangan gadisnya ini. Jadi, ia tengah menunggu kedatangan Sean yang mungkin saja sudah menjadi pembalap profesional menuju ke lokasi yang saat ini ia injak.     

Sesuai dengan pengakuan salah satu pelayan toko bunga yang tadi melayani Xena, bernama Alexis. Gadisnya tengah berbicara pada seorang laki-laki dengan tubuh yang kekar seperti layaknya seorang pemain tinju dan gemar gym. Mendengar pernyataan itu, tentu saja Vrans langsung merasa bingung. Setahu dirinya, Xena tidak mengenal laki-laki manapun kecuali yang berada di ruang lingkup dia. Terlebih lagi setelah Alexis mengatakan jika gadisnya di bawa ke jalan gang samping toko bunga yang mengarah ke taman.     

Dan benar saja, setelah Vrans melakukan pencarian di sekitar taman itu, ada bekas tetasan oli yang masih basah di jalan. Belum lagi jejak ban mobil yang masih tercetak jelas, membuat dirinya langsung berpikir kejadian ini belum lama setelah kedatangannya dengan Erica. Sayang sekali karena mereka telat bertindak dan membuat firasat semua orang langsung terwujud.     

Siapa yang patut untuk di salahkan? Ya, lagi-lagi tidak ada yang pantas untuk di salahkan.     

"Lebih baik hubungi ponsel Xena supaya bisa di lacak keberadaannya." saran Erica yang sudah berdirinya di hadapan Vrans. Sorot matanya menampilkan kilatan yang entahlah terlihat seperti ingin membasmi siapapun yang berhasil menyentuh sahabatnya.     

Sudah di katakan berkali-kali, JANGAN ADA YANG MENINGGALKAN XENA SENDIRIAN. Tapi hal itu tidak memberikan pengaruh apapun, masing-masing orang memang pernah lalai.     

Vrans mengusap wajahnya dengan kasar. Peluh sudah membanjiri tubuhnya karena begitu sampai di lokasi, ia segera berlari dan menyeberangi jalan dengan hati-hati lalu langsung saja menuju ke toko bunga yang di arahkan oleh Orlin. Iya, tentu saja kedatangannya mengundang beberapa pusat mata. Setelah membayar dan membatalkan segala pesanan bunga yang di pesan Xena disini, ia segera bertanya lebih detail karena disinilah tempat terakhir gadisnya berada.     

"Tidak bisa, mati ponselnya." ucap Vrans yang sudah menunjukkan nada suara lesu. Menyerah? Tentu saja tidak! Ia hanya bingung dengan keadaan ini. Bagaimana bisa setelah merencanakan pesta pernikahan, ancaman yang sangat merusak kestabilan hidup mereka langsung muncul tanpa di duga sama sekali.     

Mendengar itu, Erica menghembuskan napasnya dengan perlahan. Kalau sudah seperti ini, Sean harus turun tangan untuk menegur Hana. "Kalau begitu, sepertinya kita harus bertindak." ucapnya sambil mengambil spy camera sport sunglasses, lalu menekan tombol yang terletak di gagang kacamatanya.     

Ia melihat dari pandangan Sean yang sedang berkendara, sudah tidak jauh lagi dari sini. "Segeralah kesini, atau ingin bagi tugas dengan ku?" ucapnya.     

Vrans menoleh ke arah Erica yang berbicara sendiri, ia menyipitkan kedua bola matanya. Gadis di sampingnya ini tengah menatap lurus ke dapan, tapi berlagak seperti sedang berbicara 4 mata dengan seseorang. Ia diam saja, dan memilih untuk tidak banyak tanya.     

"Jalanan sepi, gas saja."     

"Ah, baiklah. Dasar laki-laki berisik,"     

"Iya nanti kita ikut bersama mu."     

"Apa? Memangnya kamu tahu dimana Xena?"     

"Kalau begitu, diam lah, Sean."     

Mendengar beberapa deretan kalat yang keluar dari mulut gadis di sampingnya ini, pada detik itu juga, Vrans tersadar satu hal. Kacamata yang di pakai oleh Erica, ternyata tersambung dengan kacamata yang di pakai Sean di seberang sana. Membuat mereka bisa saling berkomunikasi tanpa harus mengeluarkan ponsel, bahkan ia yakin kini Erica bisa melihat apa yang sedang di lihat oleh Sean. Canggih sekali.     

Ia menyandarkan tubuhnya di badan mobil, lalu kembali mengusap wajahnya, dengan perlahan. "Astaga Xena... kamu kemana?" tanyanya dengan raut wajah sangat frustasi. Ingin melacak keberadaannya tanpa harus menunggu Sean yang sangat lama ini pun tidak bisa, selalu gagal karena satelit telepon milik Xena di matikan oleh orang di sana yang sedang bersama dengan gadisnya.     

Ancamannya kali ini tidak hanya seorang Hana Xavon, tapi juga beberapa teman gadis itu yang memiliki beragam kemampuan untuk mendukung semua rencananya. Sampai belum bisa berhasil membunuh Xena, pada saat itu juga Hana belum ingin berhenti melaksanakan rencananya yang sudah pasti tersusun sangat detail.     

"Tuan, sebaiknya kita tanyakan hal ini pada Allea."     

Vrans menolehkan kepalanya ke arah Erica yang sepertinya sudah tidak terhubung dengan Sean. "Maksudnya?" tanyanya dengan raut wajah yang berkali-kali lipat lebih datar dari sebelumnya.     

Erica menaikkan sebelah bahunya, merasa saran yang ia lontarkan barusan bukanlah hal buruk yang patut di coba. "Dia kan pernah menjadi asisten Hana, mungkin saja ia tahu sesuatu."     

Setelah mencerna ucapan Erica lebih dalam lagi, Vrans langsung saja menegakkan tubuhnya. Ia mengalihkan pandangannya pada Allea yang kini sedang menenangkan Orlin kalau keadaan ini bukanlah hal yang patut untuk diratapi berkepanjangan. "Allea, kemarilah."     

Mendengar namanya di panggil, Allea langsung saja melangkah kakinya ke arah Vrans. Sebelumnya, ia sudah memberitahu Orlin supaya tetap berdiri disana.     

"Iya, Tuan?"     

Vrans meneliti Allea dari atas sampai bawah. Ia tidal percaya telah mempekerjakan mantan kaki tangan sang pembunuh bayaran yang terkenal. "Apa hubunganmu dengan ini semua?" tanyanya dengan tatapan yang menusuk langsung kedua manik mata Allea yang berkilat tidak tahu menahu.     

Erica juga ikut meneliti Allea dari atas sampai bawah, lalu dirinya langsung saja bersuara menggantikan Vrans. "Apa rencana Hana untuk, Xena? Aku tahu kamu adalah asisten gadis tersebut." gumamnya sambil sedikit berdesis. Ia tak mau Orlin mendengar kebenaran ini karena gadis itu masih syok dengan hilangnya Xena. Tahu sendiri siapa orang yang paling heboh dari dulu saat sahabatnya yang satu itu sudah berada di posisi seperti ini saat kedua kalinya? Dan ini yang ketiga, tentu saja berdampak kecemasan juga.     

Allea membelalakkan kedua bola matanya. "Apa? Tidak, aku sama sekali tidak tahu mengenai hal ini." ucapnya sambil menggerakkan kedua telapak tangannya ke udara, bergerak ke kanan dan ke kiri.     

"Lalu?" tanya Erica meminta penjelasan lebih.     

Sedangkan Vrans, lagi-lagi ia hanya menjadi pendengar saja.     

Allea menghembuskan napasnya dengan perlahan. Ia sebelumnya sudah menebak jika hal ini akan terjadi. Ternyata dunia se-sempit ini ya?     

"Semenjak Hana bekerja sama dengan Sean, aku hanya bayangan di balik Hana. Dan untuk masalah ini, aku hanya diberikan satu kata kunci. Xena dan Erica adalah pion permainannya yang selanjutnya. Ia menawarkan diriku untuk kembali, tapi belum aku jawab. Dan ternyata jawabannya sudah ada di depan mata." jelas Allea dengan kedua alis yang menurun. Tatapannya benar-benar mengisyaratkan tentang apa yang ia katakan ini tidaklah main-main.     

Erica menganggukan kepalanya, "Terimakasih sudah jujur." ucapnya.     

Ia sudah tahu segalanya dari robot pengintai yang dari awal sudah menjadi mata di dalam kediaman Allea tanpa berniat untuk menonaktifkannya.     

Vrans menaikkan sebelah alisnya, ia bersiap untuk meluncurkan kalimat pertanyaan tentang mengapa Erica bisa langsung percaya dengan penjelasan itu. Tapi belum sempat dirinya mengeluarkan beberapa kata itu, klakson mobil membuat titik fokusnya langsung teralihkan.     

Tin     

Tin     

Sebuah mobil yang di modifikasi itu sudah pasti punya Sean. Di dalamnya juga terlihat satu orang laki-laki yang entahlah hanya dikenali oleh Allea dan juga Erica saja.     

"Sean datang," gumam Erica.     

Begitu mobil tersebut sudah terparkir tepat di samping mobilnya Vrans, Sean dan juga D. Krack langsung saja turun dari mobil.     

Karena belum kenal dengan D. Krack, Allea dan juga Vrans langsung saja berjabat tangan.     

"Hai, kalian sudah datang?"     

Tidak, tidak. Itu bukan suara mereka yang tadi ada disini. Semuanya mengalihkan pandangan pada satu sosok gadis yang sudah kembali ceria, dia adalah Roseline Damica. Biasa, memiliki sifat yang sok akrab sudah melekat di dalam tubuhnya.     

Mereka semua menyunggingkan senyuman untuk Orlin, kecuali Sean dan Vrans. Laki-laki yang sebenarnya memiliki satu sifat kesamaan itu.     

"Jadi?" tanya Sean.     

"Begini,"     

Erica mulai membisikkan rencana yang berada di dalam kepalanya. Semua mengalir begitu saja tanpa adanya kesalahan dalam berbicara sedikitpun, ia tak lupa memberikan alasan kenapa dirinya berpikir untuk melakukan setiap saran yang diluncurkan.     

Mendengar hal itu, Sean dalam diam mengulum sebuah senyuman. Dan lagi-lagi, hal tersebut terlihat di pandangan D. Krack. Ia sempat menggelengkan kepalanya dengan singkat. Kalau hanya dirinya berdua dengan Sean saja, sudah dipastikan ia akan tertawa lebar.     

Dasar laki-laki yang memiliki rasa gengsi ternyata sedang mabuk cinta.     

"Bagaimana?" tanya Erica meminta pendapat.     

Semua yang berada di sini hanya menganggukkan kepalanya, merasa semua rencana yang di susun oleh Erica adalah jalan satu-satunya yang mungkin bisa membawa mereka ke jalan keberhasilan.     

"Bergerak!" seru Sean.     

Erica menatap ke arah Allea dengan tatapan tajam. Ia benar-benar berharap supaya gadis itu bisa bersifat netral, setidaknya kalau tak ingin berada di pihaknya.     

"If you spoil this plan, I'll kill you." gumam Erica.     

Mendengar nada ancaman itu tentu saja membuat Allea meneguk salivanya dengan kasar. Barulah saat suara bariton milik Vrans yang memanggil dirinya supaya bergerak cepat pun langsung membuat Erica masuk ke dalam mobil, begitu juga dengan dirinya.     

Mereka semua yang mendengar itu kembali masuk ke dalam mobilnya. Sean satu mobil dengan Erica, Allea bersama dengan Vrans, dan D. Krack bersama dengan Orlin. Tiga mobil dengan jumlah penumpang yang setara, bagus.     

"I hope it works."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.