My Coldest CEO

Seratus empat puluh satu



Seratus empat puluh satu

0Disinilah Erica, bersama dengan Sean.     

Sedari tadi, tatapan membunuh yang dilayangkan Erica tidak kunjung sirna. Bagaimana ingin tenang jika bisa saja, menit selanjutnya adalah detik-detik ketewasan Xena? Tidak, ia tidak boleh berpikir seperti itu. Namun, ingin mengarahkan kinerja otaknya ke hal positif lainnya pun tidak bisa.     

"Jangan terlalu tegang, Erica." ucap Sean sambil terkekeh kecil, kedua bola matanya melirik ke samping tempat seorang gadis yang menatap datar lurus ke dapan. Ia memang berniat untuk mencairkan suasana, jangan terlalu membawa semua ini beban. Karena jika masalah bertemu dengan rasa amarah, pasti tidak akan berjaya. Dinginkan dulu kepala, cari hiburan, itu yang lebih baik dari segalanya.     

Erica yang mendengar ucapan Sean pun hanya memutar kedua bola matanya, selalu saja laki-laki pengganggu itu melontarkan sederet kalimat guyonan yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap dirinya. "Apa sih, siapa juga yang tegang?" balasnya dengan malas. Ia sudah banyak menghabiskan waktunya untuk mencari jalan keluar dari kerumitan yang dibawa Hana, tapi hasilnya pun sama saja.     

"Kalau kamu seperti ini, nanti tambah manis." ucap Sean yang masih belum bisa berpaling dari sifat menyebalkan, selalu mengganggu seorang Erica yang bernotabene sangat teramat dingin melebihi kepingan es. Terlebih lagi gadis ini juga bahaya seperti hutan Amazon yang memiliki banyak spesies mematikan, iya seperti itulah Erica.     

Astaga, jangan beri tahu pemikiran yang keluar batas milik Sean ini. Nanti kalau Erica tahu, sudah pasti akan terjadi perang kesekian kalinya. Ya pikir saja, mana ada gadis yang ingin disamakan dengan hutan Amazon? Tidak ada.     

Erica memutuskan untuk menatap Sean dengan sorot mata yang penuh terarah pada laki-laki yang kini sudah kembali menatap jalan raya dengan sangat serius, padahal dapat dipastikan jika Sean masih mengulum sebuah senyuman jahil. "Apa maksud mu? Tidak perlu merayu, basi!" serunya. Ia sudah sangat malas menanggapi seorang pembunuh bayaran yang sialnya pun menjadi laki-laki yang dekat dengan dirinya.     

Sean hanya terkekeh kecil, lalu meraih tangan Erica untuk dielus dengan lembut. Tiba-tiba saja, ia merasakan jika Hana saat ini sangatlah konsisten. Xena sudah berhasil masuk ke dalam genggaman dia, dan kini ia tidak akan membiarkan gadis tersebut untuk masuk ke dalam kehidupan Erica-nya. Tidak, ia tidak akan pernah menginginkan hal itu terjadi begitu saja. "Jangan kemana-mana, tetap di sampingku." ucapnya dengan volume suara yang lebih mirip dengan nada yang melirih.     

Mendengar apa yang dikatakan Sean justru berhasil membuat Erica kebingungan, ia menaikkan sebelah alisnya pertanda tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh laki-laki tersebut. "Apa? Memangnya aku kemana? Aku ada disini, di samping kamu kok daritadi." ucapnya dengan ekspresi yang masih terlihat biasa saja.     

"Bukan, bukan itu maksud ku." sargah Sean sambil terkekeh kecil, ia tidak habis pikir dengan kinerja otak yang berjalan seperti itu. Astaga bagaimana bisa deretan kalimat penuh keluguan itu keluar dari mulut Erica? Sangat lucu sekali karena biasanya gadis itu selalu berbicara dengan nada dingin, ketus, bahkan seperti ingin mengajak seseorang untuk berkelahi alias menyebalkan.     

"Lalu apa?" tanya Erica yang mulai penasaran dengan topik pembicaraan yang dibawa oleh Sean.     

"Aku takut Hana berhasil menyentuhmu," ucap Sean dengan sangat lesu. Kini, sorot matanya berubah menjadi teduh karena apa yang diucapkan memang selalu berasal dari lubuk hati yang paling dalam, tidak akan main-main.     

Pada saat itu juga, gelak tawa Erica terdengar jelas. Ia menarik tangannya yang di genggam oleh Sean, lalu menepuk-nepuk pundak laki-laki itu dengan pelan. "Jangan berhalusinasi, Hana tidak akan pernah bisa menangkap ku." ucapnya sambil mengambil napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan, ia menghalau rasa geli yang masih ingin menertawakan Sean.     

Jangankan untuk di tangkap, kalaupun tertangkap saja ia bisa dengan mudah melarikan diri. Kode rahasia? Atau akses keamanan yang dibuat canggih sedemikian rupa? Ia bisa menaklukkannya. Tidak, bukannya sombong. Tapi ayolah, memangnya siapa yang ingin di pandang rendah dengan orang lain?     

"Kalau bisa?" tanya Sean, memutar posisi yang sudah sangat di ramal dengan penuh kepercayaan diri oleh Erica. Toh namanya takdir pasti tidak ada yang tahu, iya kan?     

Erica mengangkat bahunya acuh, lalu menyipitkan kedua bola matanya untuk menatap lebih intens setiap pahatan sempurna yang terdapat tepat di wajah cukup tampan Sean. Ah tidak, bukan cukup tampan, tapi memang sangat tampan. Tidak perlu di deskripsikan lagi bagaimana ketampanan sang pembunuh bayaran ini, nanti meleleh...     

"Apa? Kamu menantang diri ku?" tanya Erica sambil mendekatkan wajahnya pada tubuh Sean, beruntung seatbelt yang menjaga tubuhnya ini tidak di pasang terlalu ketat.     

Sean pun hanya mengangkat bahunya dengan acuh, ia hanya mengeluarkan pertanyaan ringan namun bisa membuat sang lawan bicara kebingungan, iya kan?     

"Tidak, hanya bertanya supaya kamu punya plain B." ucapnya sambil terus fokus menatap ke arah jalanan yang sudah memasuki daerah sepi, jauh dari perkotaan. Lagi dan lagi memang seperti inilah ciri khas seorang pembunuh bayaran dalam menempatkan targetnya jika ingin di bawa untuk bermain-main, pasti jauh dan terpelosok.     

Mendengar hal itu, Erica mendengus kecil dilekukan leher Sean. "Bilang saja hanya menyanggah ucapan ku," ucapnya dengan nada rendah. Kalau Sean bisa menggodanya, berarti ia juga boleh menggoda laki-laki ini kan?     

"Jangan sok tahu." balas Sean sambil menahan napasnya. Ia merasakan hembusan napas hangat yang tadi selama beberapa detik menyapa permukaan kulit lehernya. Ia menampilkan smirk, lalu menolehkan kepalanya sebentar ke arah Sean. "Jangan menggoda atau kamu akan tau konsekuensi," sambungnya. Sean menekankan kata 'konsekuensi' yang tadi keluar dari mulutnya.     

Merasa kalau ucapan yang mengarah ke zona berbahaya itu mulai menyapa seluruh atmosfer di sekitarnya, Erica langsung saja menjauhkan wajahnya dari Sean. Sial, ia tentu saja tidak ingin melihat Sean yang bertindak vulgar terhadap dirinya. Jangan sampai. Lumatan kecil saja mampu membuat dirinya naik pitam dengan rasa seperti ingin menendang bokong laki-laki tersebut.     

"Eh iya jangan, belum sah." ucap Erica, menepis pemikiran Sean yang dewasa. Tidak, jangan di bahas berkelanjutan karena pasti akan membuat laki-laki di sampingnya ini memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat.     

Sean menolehkan kepalanya dengan singkat ke arah Erica, lalu terkekeh melihat ekspresi membunuh saat dirinya tadi berkata seperti itu. Menggemaskan sekali, rasanya ia ingin melumat bibir mungil itu. "Hei, berarti kamu ingin di sah kan dulu dengan ku?" tanyanya sambil melirik Erica lagi untuk mengetahui ekspresi apa yang tengah di tampakkan gadis tersebut.     

Erica yang mendengar hal itu tentu saja membuat semburat merah di pipinya terlihat, walaupun hanya samar-samar saja. "Belum pernah di bom dengan rudal ya?" tanyanya dengan wajah datar. Kini ia rasanya ingin melempari laki-laki itu dengan bom atom atau setidaknya benda lainnya yang memiliki daya ledak.     

Baiklah, sepertinya kini pemikirannya sudah di racuni menjadi sadis karena satu ruang lingkup dengan sang pembunuh bayaran.     

"Belum, lempar dong." ucap Sean sambil menjulurkan lidahnya. Entah meledek siapa, padahal sorot matanya lurus ke depan.     

Sial, semakin di ladeni, Sean semakin menjadi-jadi. Dengan mengalihkan pandangannya ke luar jendela, Erica berusaha menetralisir suasana hatinya. Namun, kini justru kedua matanya merasa terpukau dengan pemandangan yang tersuguh. Bukannya dulu ia juga pernah melewati jalanan ini? Kenapa justru pepohonan yang semakin rindang ini membuat pemandangannya terlihat membuat dirinya sangat terkesan?     

"Kapan terakhir kita kesini?" tanyanya sambil kembali menoleh ke arah Sean. Kini, rona merah tersebut sudah tidak terpancar lagi berganti menjadi decak kagum. Ini semua karena laki-laki yang tengah mengemudi itu, selalu saja membuat peperangan mulut di antara mereka. Membuat dirinya sedari tadi tidak menyadari sekeliling.     

Sean menyatukan kedua alisnya sampai membentuk kerutan, pertanda sedang berpikir menelusuri kejadian beberapa bulan yang lalu. Ia mengangkat bahunya, lalu mengacak rambut dengan sok keren --salah, sangat keren--. "Entah, lupa. Sepertinya beberapa bulan yang lalu." ucapnya. Ia memang sosok yang terkadang gemar sekali melupakan sesuatu. Berbicara pada dirinya dan bertanya akan masa lalu tentu bukanlah hal yang benar, jangan mengharapkan apapun dari dirinya.     

Erica langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi sangat dingin. Salah dirinya bertanya dan mengharapkan jawaban dari Sean. "Dasar aneh, masa tidak ingat." ucapnya masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan laki-laki tersebut.     

Sean terkekeh kecil, toh ingatan adalah miliknya masa Erica berkata seperti itu. "Kan aku yang punya ingatan, Erica." ucapnya.     

Erica memutar kedua bola matanya. "Kita kenapa kesini sih? Bukankah sangat tidak mungkin jika Hana berada di sana?" tanyanya. Ia mulai mengubah obrolan menjadi lebih serius daripada Sean selalu bertindak seadanya seperti ini. Sangat tidak memberikan kenyamanan.     

"Bagaimana tidak mungkin? Justru persentase kebenarannya sangat besar." sargah Sean. Ia menganggukkan kepalanya dengan yakin.     

Dirinya adalah pembunuh bayaran sekaligus adik dari seseorang yang tengah dibicarakan itu juga. Jadi, ia sangat tahu dengan langkah apa saja yang akan di ambil Hana. Sayangnya, akhir-akhir ini memang sering kali terjadi hal seperti itu. Ya penimbangan rencana yang melenceng, sampai keberhasilan Hana yang sebelumnya sangat di remehkan.     

Dengan uang, pasti Hana bisa menyewa pekerjaan bayaran yang memiliki keahlian tinggi. Jadi, tidak dapat di pungkiri jika para laki-laki menerimanya tawarannya karena mendapatkan imbalan yang besar. Bahkan ia yakin walaupun gadis ini sudah menghabiskan uangnya hanya untuk membayar mereka, tapi susah dapat di pastikan harta Hana tidak akan habis begitu saja.     

"Kenapa seperti itu? Bukankah terlalu mudah untuk menebak posisi mereka jika Hana menggunakan lokasi yang sama?" tanya Erica yang masih belum mengerti dengan jalan pikiran orang-orang dengan IQ tinggi ini, sangat berbeda dengan jalan pikirannya dan juga manusia biasa.     

Sean menyunggingkan sebuah senyuman yang entahlah berarti apa. "Sekarang begini logikanya, sayang. Kalau dia memakai gedung yang sudah aku ubah dengan kecanggihan, itu justru lebih memudahkan rencananya. Dengan menambahkan beberapa fitur seperti kecanggihan yang lebih hebat lagi buatan Hana, tentu saja memungkinkan gadis itu untuk membangun sistem keamanan yang lebih canggih dari milikku sebelumnya." ucapnya memberikan penjelasan yang sangat detail. Ia tidak mengurangi sedikitpun, atau apapun. Semuanya ia katakan berdasarkan dengan jalan pikiran yang sama dengan milik Hana.     

"Kalau begitu..."     

Sean memotong ucapan Erica yang sengaja menggantung itu "Iya, dia bisa saja mengubah gudang tua tersebut menjadi sistem keamanan yang kuat." ucapnya sambil menganggukkan kepalanya, seolah-olah sudah mengerti dengan kalimat tak berlanjut gadis itu.     

"Lalu, bagaimana nantinya? Apa bisa di retas?" tanya Erica dengan raut wajah yang khawatir.     

Sean menolehkan kepalanya untuk menatap gadis manis sekaligus dingin yang berada tepat di sampingnya ini. "Aku percaya pada mu, Erica. Ku harap kamu bisa meretas sistem keamanannya karena aku sendiri pun tidak tahu apa saja yang diubah oleh gadis itu." ucapnya dengan nada yang teramat lembut.     

"Bagaimana kalau aku gagal, Sean?" tanya Erica dengan nada rendah. Ia tidak tahu harus bagaimana kalau sampai kemampuannya tidak dapat di andalkan karena kalah canggih dengan jalan kerja pikiran Hana.     

"Kuatkan hati untuk berduka,"     

Erica menggelengkan kepalanya dengan kuat. Ia cukup paham dengan maksud 'berduka' yang di lontarkan oleh Sean. "Tidak, jangan sampai seperti itu! Aku tidak ingin siapapun tewas."     

"Kalau begitu, tetap optimis jangan pesimis."     

Kini, hati Erica kian memanjatkan berbagai harapan supaya apa yang terjadi selanjutnya bukanlah mala petaka.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.